Istana Yogyakarta | Nico Kurnia Jati

Halaman 9

Bendera Putih di Pagar Istana

Oleh Bendera Putih di Pagar Istana

 
"Robek-robeklah badanku, potong-potonglah jasadku ini, tetapi jiwaku yang dilindungi benteng Sang Merah Putih akan tetap hidup, tetap menuntut bela, siapa pun lawan yang aku hadapi (1948)."
Panglima Jenderal Soedirman
 

RO Permadipura, eks kepala rumah tangga presiden di Yogyakarta, menulis kesaksiannya saat detik-detik Belanda menyerbu Istana Negara Yogyakarta, 19 Desember 1948. Kesaksian ini dimuat di harian Abadi, Yogyakarta, pada 18 Desember 1954, dan dikutip oleh AH Nasution dalam bukunya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 2A (1989).

..."Pada malam minggu itu saya dengan wakil sekretaris Mr Iksan sibuk ngepak-ngepak untuk oleh-oleh ke India. Jam 12.45 berhenti, lalu tidur. Jam 02.00-03.00 saya belum juga bisa tidur. Antara jam 04.00-05.00 baru bisa tidur, tetapi tidak lama saya bangun oleh karena di atas kota ada suara kapal terbang. Saya tidak perhatikan kapal terbang itu karena pada sangka saya pesawat itu sedang latihan, saya menarik selimut, kemudian tidur lagi. Ketika jam 06.00 pagi saya bangun lagi karena kapal terbang kedengaran makin banyak suaranya, di antaranya ada yang melayang-layang di atas Istana. Ketika saya bangun, itu waktu Ibu Karno pun sudah bangun. Saya lihat Bu Karno sedang duduk bersama-sama Guntur di atas sebuah batu besar, sambil menunjuk-tunjuk kepada kapal terbang yang sedang melayang-layang di atas lapangan Maguwo.

 

 
"Pak Dirman ada di tengah-tengah kita! Pak Dirman mimpin kita! Hidup Pak Dirman!"
Pembawa Siaran RRI
 



 

 

 

 

 

 

photo

Waktu saya lihat kapal itu menurun-nurunkan tentara payung, barulah saya tahu itu pesawat musuh. Dengan tidak suci terlebih dahulu saya segera lari ke kamar tidur Bung Karno. Belum juga sampai ke kamar Bung Karno, saya lihat Pak Sayid baru keluar dari kamar Bung Karno dan lari mendekati saya. Dengan suara yang putus-putus Pak Sayid bilang: "Saudara, musuh sudah turun di Maguwo. Inilah seberkas surat rahasia kepunyaan Paduka Yang Mulia Presiden harap saudara selamatkan, jangan sampai jatuh ke tangan musuh."

..."Ketika saya masuk lagi ke Istana, saya melihat dua tiga orang menteri masuk berjalan kaki. Saya lihat Bung Karno berunding dengan para menteri yang telah datang itu. Malah Bung Syahrir pun waktu itu kebetulan ada di Istana, sudah ada setengah bulan meninggalkan Jakarta.

Sementara itu saya perintahkan supaya mobil-mobil disiapkan, lebih lebih mobil yang biasa dinaiki Bung Karno sudah siap pada tempatnya, karena saya sangka pasti Bung Karno akan meloloskan diri meninggalkan Istana, memimpin gerilya seperti yang sudah dijanjikan kepada rakyat. Saya sendiri sudah siap sedia, untuk turut ke gunung bergerilya. Kepada anak istri saya sudah pamitan, kalau-kalau harus ikut Bung Karno ke gunung.

..."Kira-kira jam 09.00 benteng yang letaknya di hadapan Istana dijatuhi bom pembakar. Api makan kiri-kanan gedung dengan enaknya, karena tidak ada pemadam api.

Kira-kira jam 10.00 saya dengar kabar bahwa pengawal Istana diperintahkan bubar. Atau kalau tetap tinggal di Istana supaya sekali-kali jangan mengadakan perlawanan.

..."Adapun para pemimpin yang waktu itu sudah datang di Istana ialah Bung Syahrir, H Agus ASalim, Prof Asikin, MR Assaat, MR Nazir Pamuntjak, dan MR AG Pringgodigdo. Kira-kira jam 12.00 siang Sri Sultan pun datang ke Istana berjalan kaki. Tidak lama Jenderal Soedirman pun datang. Sebetulnya beliau itu belum begitu sehat, lama juga menderita sakit.
Sampai sekarang masih terbayang di hati saya, Pak Dirman itu waktu jalan pun belum begitu tegak, pada lehernya melilit halsdoek merah dan kaos kakinya menutupi kedua ujung celananya. Tetapi sungguh pun dalam keadaan kurang sehat itu, semangat Pak Dirman untuk mengabdikan diri kepada tanah air dan bangsa tetap besar.

Berkali-kali saya dengar Pak Dirman bilang: "Mari...kita keluar kota, saat ini masih ada jurusan untuk keluar."

Mungkin sekali atas nasehat Bung Syahrir agar Bung Karno tetap tinggal di Istana. Itulah sebabnya maka kira-kira jam 13.00 Pak Dirman meninggalkan Istana, akhirnya menuju ke luar kota. Kebetulan supir yang turut bergerilya dengan Pak Dirman itu ialah supir Kasmi, yang membawa saya menyelamatkan surat rahasia Bung Karno.

..."Oleh karena Istana terus menerus diintai, maka saya memerintahkan kepada pelayan agar membuat lubang perlindungan diadakan untuk Bung Karno sekeluarga di belakang Istana, yaitu di bawah pohon timbul. Sedang saya membuat lubang perlindungan itu, kapal terbang makin banyak terbang di atas Istana.

Akhirnya Bung Karno sekeluarga lagi ke belakang, ke dekat lubang perlindungan yang sedang dibuat itu. Di tempat itu Bung Karno tak merasa aman, akhirnya pindah lagi ke kamar di belakang podium.

..."Lewat jam 15.00 rupa-rupanya musuh makin dekat ke Istana, dan ketika saya dan Bung Karno ada di kamar itu, tiba-tiba terdengar tembakan di depan Istana, entah siapa yang memulai,

..."Sedang ramai-ramai tembakan itu Bung Karno keluar dari kamar, sedang Bu Karno dan putra tinggal di kamar bersama saya. Bung Karno itu keluar saya kira hendak mencari Bung Syahrir. Kira-kira 10 menit sejak Bung Karno keluar, maka tiba-tiba tembakan berhenti.

Saya mencari Bung Karno ke depan. Dengan hati-hati saya mengintai dari kaca jendela. Saya lihat Bung Karno berdiri di depan dekat tangga Istana. Di samping Bung Karno berdiri saudara Tobing dari PT memegang bendera putih diikat pada sebatang kayu kecil. Lalu saya didekati Bung Karno, saya lihat Bung Karno memberi isyarat agar pengawal Istana menyimpan senjatanya di halaman depan di bawah tiang bendera. Sudah itu lari ke belakang mendapati Bu Karno yang masih di kamar itu.

..."Rupa-rupanya ketika saya lari ke belakang itu, ada opsir Belanda masuk ke pekarangan Istana memanggil Bung Karno, agar menyongsong komandan tentara Belanda yang ada di luar Istana. Ketika saya balik lagi, Bung Karno turun dari tangga melalui rumput halaman depan.

..."Kami dan Bung Karno menuju ke depan kantor pos Yogyakarta. Setelah saya sampai di taman depan kantor pos itu, saya lihat serdadu-serdadu NICA naik dari sepanjang selokan di pinggir jalan Secodiningratan.

..."Saya bertemu dengan komandan Belanda Kolonel van Langen itu persis di depan pos Yogyakarta di jalan Secodiningratan. Yang ikut ke situ ialah Bung Karno, MR AG Pringgodigdo, ajudan Sugandhi, Mangil, Tobing yang membawa bendera putih, dan saya. Ketika Bung Karno bertemu Van Langen biasa saja berjabatan tangan, juga dengan Syahrir.

Ketika itu tentara juru potret sibuk memotret Bung Karno dan kami sekalian. Juga tentara yang memegang pesawat radio memberitahukan bahwa Bung Karno sudah tertangkap.

Kira-kira ada lima menit bicara dengan Van Langen, lalu kembali ke Istana.

..."Sampai di Istana ,Van Langen diajak ke kamar tamu di depan. Waktu itu berkumpul para pemimpin di situ. Semua pemimpin diabsen satu per satu oleh Van Langen. Juru potret sibuk lagi mengambil gambarnya beberapa kali. Sudah itu Van Langen menanyakan Bung Hatta ada di mana. Dijawabnya mungkin ada di rumahnya atau masih di Kaliurang.

..."Bung Karno menyuruh MR AG Pringgodigdo memanggil Bung Hatta di rumahnya.

..."Selagi menunggu Hatta datang, maka Kolonel Van Langen diajak ke belakang menuju kamar Bung Karno menyelamatkan diri. Tiba-tiba di situ kebetulan Bu Karno masih ada di dalam. Dibukanya pintu oleh Bung Karno, kemudian Bu Karno diperkenalkan kepada Kolonel Van Langen. Sampai sekarang masih terbayang di muka saya, bagaimana dengan berlinang air mata Bu Karno berjabatan tangan dengan Kolonel Van Langen."


AH Nasution, di dalam buku yang sama, mengisahkan pisah jalan antara pemerintah dan tentara rakyat membuat Belanda memainkan strategi pecah belah. Setelah mengumumkan dengan luas lewat pamflet bahwa Yogyakarta telah jatuh, pemimpin republik sudah ditahan, Belanda mengatakan Jenderal Soedirman pun tertangkap. Padahal, ini hoaks belaka. Namun, rombongan Soedirman tak bisa mengonfrontasi cepat propaganda Belanda ini karena sedang bergerilya di selatan Jawa Tengah.

"Esoknya Belanda mengumumkan pula bahwa Jenderal Soedirman telah juga tertangkap. Berita terakhir ini sungguh mengejutkan. Saya masih ingat bagaimana kami sampai jauh malam membicarakannya. Saya masih ingat betapa Kolonel dr Pratignji, dokter pribadi Pak Dirman, meyatakan perasaannya. Cerita itu dianggap cukup logis, mengingat beliau dalam keadaan sakit. Beberapa pekan kita dalam keresahan karena tiada kabar yang pasti tentang keberadaan Pak Dirman. Dan sistem kurir kita, jaringan Pos X memerlukan waktu beberapa pekan pula sebelum beroperasi secara wajar. Akhirnya melalui jaringan perhubungan inilah kita terima di posko Markas Besar Komando Djawa surat yang pertama dari beliau. Hal ini amat penting. Anggota posko merasa terharu dengan adanya surat dari beliau pribadi."

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat