Anggota TNI saat menghimbau penumpang KRL di Stasiun Manggarai, Jakarta, Kamis (28/5). (ilustrasi) | Republika/Putra M. Akbar

Nasional

Draf RUU Pemilu tak Larang TNI/Polri Memilih

Pemberian hak politik bagi aparat TNI/Polri akan menimbulkan kontroversi baru dan kecurigaan di masyarakat.

JAKARTA – Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mempertanyakan tidak adanya ketentuan larangan TNI/Polri menggunakan hak memilih dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu tertanggal 6 Mei 2020 yang beredar di publik. Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 200.

"Pengaturan bahwa TNI/Polri tidak menggunakan hak pilihnya itu tidak ditemukan di dalam RUU Pemilu kita yang sekarang sedang dibahas, draf versi 6 Mei," ujar Titi dalam diskusi virtual “RUU Pemilu Mau Dibawa ke Mana”, Kamis (25/6).

Pasal 200 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, berbunyi, "Dalam pemilu, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih." Titi berharap, penyusun draf RUU Pemilu hanya lupa memasukkan ketentuan tersebut. Ia mendukung TNI/Polri dapat menggunakan hak pilihnya, tetapi tidak untuk saat ini.

Menurutnya, kondisi objektif baik secara politik, kultural, dan kelembagaan serta infrastruktur untuk memberikan hak pilih kepada TNI/Polri belum tersedia. Titi mengatakan, kepercayaan publik terhadap pemberian hak pilih bagi anggota TNI/Polri belum sepenuhnya hadir saat ini. "Bisa dikatakan, trauma politik kita akibat dwifungsi ABRI itu belum sepenuhnya pulih," tegas Titi.

 
Mudah-mudahan, (tidak tercantum ketentuan di RUU Pemilu) karena itu tercecer begitu ya. Karena kalau betul-betul tidak diatur bisa menimbulkan kontroversi baru dan kecurigaan di masyarakat kita.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini
 

Ia juga khawatir pemberian hak politik bagi aparat TNI/Polri akan menimbulkan kontroversi baru dan kecurigaan di masyarakat. Misalnya, beberapa waktu lalu, pejabat atau pelaksana tugas gubernur, bupati, atau wali kota diisi polisi aktif, kontroversinya luar biasa terjadi di publik karena menempatkan TNI/Polri ke dalam jabatan sipil.

"Mudah-mudahan, (tidak tercantum ketentuan di RUU Pemilu) karena itu tercecer begitu ya. Karena kalau betul-betul tidak diatur bisa menimbulkan kontroversi baru dan kecurigaan di masyarakat kita," ujarTiti.

Sementara, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung enggan mengomentari pasal per pasal draf RUU tentang Pemilu. "Saya tidak akan menjawab spesifik teknis pasal per pasal seperti itu. Karena memang isu soal TNI dan Polri ini kan sesuatu yang memang bisa dikatakan sensitif juga, terutama bagi kami-kami di DPR," ujar Doli, Kamis (25/6).

Ia menjanjikan, wakil rakyat sangat berhati-hati soal bagaimana atau kapan waktu yang tepat TNI/Polri dapat menggunakan hak pilihnya. Komisi II DPR akan menunggu pandangan-pandangan terkait ketentuan tersebut. Menurut politikus Partai Golkar ini, DPR juga akan mendengarkan aspirasi anggota TNI/Polri terkait hak pilih dalam pemilu.

"Saya kira, kita akan mendengarkan aspirasi dari bapak-bapak Polri dan TNI dalam kaitan itu," tegas Doli. Diketahui, Komisi II DPR tengah menggodok draf RUU Pemilu. Revisi UU Pemilu masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2020. N ed: agus raharjo

Larangan Hak Pilih TNI/Polri:

Pasal 200 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu

"Dalam pemilu, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih."

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat