Jamaah Indonesia yang batal berangkat umrah telantar di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, seturut pelarangan Kerajaan Saudi pada Februari lalu. | AP

Kisah Mancanegara

‘Insya Allah Saya Berangkat Haji’

WNi di Saudi masih menunggu kepastian regulasi haji.

OLEH FITRIYAN ZAMZAMI, ZAHROTUL OKTAVIANI

Sepekan belakangan, Aa Abdul Hadi (50 tahun) sudah bersiap-siap. Rencananya, pada Selasa (23/6) kemarin, ia harus mengikuti penataran petugas haji di kantor Urusan Haji Indonesia di Jeddah, Arab Saudi. Kemudian datang kabar tersebut, Kerajaan Saudi secara resmi hanya mengizinkan pelaksanaan ibadah haji secara terbatas bagi jamaah dalam negeri.

“Ya, akhirnya bubar jalan kita,” ujar Abdul Hadi ketika dihubungi Republika, kemarin. Pria asal Kuningan, Jawa Barat, tersebut sudah belasan tahun tinggal di Jeddah. Ia sehari-hari bekerja sebagai sopir salah satu keluarga warga setempat di sana. Tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, ia sudah lolos tes petugas haji.

Terlepas dari kemungkinan diperbolehkannya WNI yang sudah bermukim di Saudi melaksanakan haji, Abdul Hadi tak tertarik berangkat tahun ini. Selain sudah berkali-kali melaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya, ia memperkirakan tahun ibadah haji tak meriah. “Yang bikin meriah haji kan jamaah pendatang. Orang Saudi sendiri jarang yang ikut haji, apalagi masih ada ketakutan soal Covid,” kata dia. “Lagi pula sekarang yang mau haji persyaratannya superketat,” kata dia.

Mula-mula, menurut Abdul Hadi, mukimin yang hendak pergi haji harus mendapatkan izin dari pihak yang mempekerjakannya. Ia mendengar bahwa kawan-kawannya ada yang diberi izin berangkat haji, dengan syarat tak kembali bekerja di majikan yang sama. “Kamu ibadah haji asal jangan balik lagi ke saya,” ujar Abdul Hadi menirukan komentar sang majikan. Ketakutan itu menurutnya beralasan karena mereka khawatir pekerja bersangkutan tertular Covid-19 jika berhaji.

photo
Pemandangan masjidil Haram. - (EPA/MAST IRHAM)

Walapun sudah mendapat izin dari pihak yang mempekerjakan, mukimin yang hendak berhaji masih harus mengurus izin ke kepolisian setempat atau baladiyah. Perkaranya jadi lebih pelik jika mukimin yang hendak berhaji tinggal secara ilegal di Saudi. “Yang boleh memang hanya mukimin yang legal,” kata Nur Muhammad, mukimin yang sehari-hari tinggal di Madinah. Saat ini, tercatat ada 472.400 WNI yang tinggal secara legal di Saudi menurut otoritas statistika setempat.

Abdul Hadi memperkirakan, warga Saudi juga tak antusias berhaji tahun ini. “Saya pernah tanya ke orang tua Arab di Makkah. Dia jawab sudah cukup sekali berhaji waktu kecil. Apalagi, sekarang pada takut kerumunan,” ujar dia.

Ia mengatakan, karantina 24 jam di Jeddah sudah sejak Sabtu (20/6) lalu dilonggarkan. Kendati demikian, warga yang beraktivitas di luar rumah belum seramai biasanya.

Berbeda dengan Abdul Hadi, Sukarjo (55) yang tinggal di Jarwal, Makkah, sekitar dua kilometer dari Masjidil Haram, berencana tetap melakukan haji tahun ini. “Insya Allah (berangkat), tawakkal alallah,” ujar dia soal potensi penularan Covid-19 saat pelaksanaan haji nanti.

Sehubungan rencananya tersebut, pria asal Solo, Jawa Tengah, itu mengatakan akan segera berburu tasreh alias surat izin berhaji bagi warga Saudi maupun ekspatriat di sana.  Surat izin itu harus dibeli di Kantor Urusan Haji dan Umrah Saudi secara daring setelah syarat-syarat lain dipenuhi.

Harga tasreh tersebut merentang dari yang termurah 3.645 riyal Saudi atau sekira Rp 13,8 juta untuk paket ekonomis, 8.161 riyal Saudi (Rp 31 juta) untuk paket tamu, sampai 11.905 riyal Saudi (Rp 45 juta) untuk paket VIP. Tahun lalu, Kerajaan Saudi menetapkan kuota tasreh sebanyak 230 ribu dengan 180 agen (maktab) penyedia layanan haji. 

Sementara Turki Attamimi (27), warga asal Condet, Jakarta Selatan, yang tinggal di Jeddah menuturkan ia kebagian jaga rumah tahun ini. Kedua orang tuanya dan beberapa anggota keluarga lain yang berencana berangkat haji. “Takut sih. Tapi, mereka bilang 'mau ibadah kok harus takut',” ujarnya soal potensi penularan pada pelaksanaan ibadah haji.

Terkait rencana itu, keluarganya masih menunggu kepastian dari Kerajaan Arab Saudi. Pasalnya, menurut pria keturunan Hadramaut itu, ada kabar bahwa mukimin yang dibolehkan berhaji hanya warga Khalij alias Teluk Arab, seperti Bahrain, Qatar, Yaman, Oman, dan Yordania. Selain itu, ada kabar juga bahwa hanya mukimin di Makkah yang boleh berhaji. “Saya sekeluarga masih WNI semua, kecuali ada ipar orang Saudi,” kata penduduk Jeddah tersebut.

Selain itu, mereka juga masih menunggu kepastian soal prosedur pemenuhan syarat berhaji nanti. Ia memperkirakan, Kerajaan Saudi akan sangat ketat memeriksa kesehatan para pemohon izin berhaji. 

Konsul Haji KJRI Jeddah, Endang Jumali, mengatakan, Arab Saudi sejauh ini telah menyiapkan beragam aspek pelaksanaan haji secara terbatas. "Arafah sudah disiapkan, begitu juga Muzdalifah dan Mina. Karena ini jumlah terbatas dan juga aturan social distancing, maka jamaahnya tidak akan terlalu banyak," ujar Endang Jumali saat dihubungi Republika, Selasa (23/6).

Selain itu, ia menyebut persiapan di Makkah dan Madinah pun telah dilakukan. Di Masjidil Haram, Kerajaan sudah melakukan persiapan dengan menerapkan sejumlah protokol kesehatan.

Terkait mukimin warga Indonesia yang tinggal di Saudi dan ingin menjalankan haji, ia menyebut ada aplikasi pendaftaran E-Hajj tersendiri yang sifatnya lokal. Jumlah jamaah nantinya bisa terkontrol menggunakan sistem ini.

KJRI tidak bisa mengintervensi atau ikut campur dalam proses pendaftaran ini. Pasalnya, semua proses dilakukan secara integrasi dengan sistem aplikasi tersebut. "Kita (KJRI) tidak banyak terlibat karena ini lokal. Sehingga, mereka (Saudi) yang menyiapkan paket layanan bagi mereka yang mendaftar," katanya menambahkan.

Sebagai contoh, Endang menyebut pada tahun-tahun sebelumnya, bagi warga lokal yang ingin menunaikan ibadah haji harus membayar sekira 7.000 riyal Saudi atau sekitar Rp 26,5 juta tergantung paket layanan. "(Jumlah jamaah) Belum tahu. Pengumuman baru semalam jam 21.30. Belum ada koordinasi dengan instansi terkait, mungkin pagi ini kami akan melakukan koordinasi," ujar Endang.

Meski tidak bisa terlibat banyak untuk pelaksanaan haji tahun ini, Endang menjanjikan pihak KJRI akan tetap memberikan perlindungan dan pemantauan terhadap jamaah warga negara Indonesia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat