Seorang muadzin mengumandangkan takbir untuk menandakan waktu shalat tiba. | EPA-EFE / FAZRY ISMAIL

Opini

Dari Takbir Mulut Menuju Takbir Hati

Takbir menyadarkan hati, bahwa yang layak diagungkan hanya Allah semata.

 

Oleh Ubaydillah Anwar 

Heart Intelligence Specialit 

 

Pada setiap awal Syawal, Rasulullah SAW bertakbir sampai habis shalat Id pada hari esoknya. Setelah beliau wafat, sunnah ini juga dilanjutkan oleh para sahabat dimana mereka semua keluar rumah, laki-laki dan perempuan, termasuk juga yang sedang haid untuk bertakbir.

Tradisi ini terus dilestarikan hingga detik ini. Umat Islam di berbagai penjuru dunia memperbanyak bacaan takbir, seperti yang sudah jamak kita hafal. Allahu akbar, Allahu akbar, la ilaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar walillahil hamdu.  Tempatnya boleh di rumah, di kendaraan, di masjid, di pasar, di lapangan, atau di mall. Selain karena ada perintah langsung dari Allah untuk bertakbir (QS. al-Baqoroh: 185).

Anak kecil dan dewasa, orang kaya dan miskin, semuanya sama-sama mengagungkan asma Allah, merendahkan diri mereka, bersimpuh di hadapan Ilahi untuk memohon ampunan dan keberkahan selama 30 hari menjalani riyadhah batiniyah berupa puasa. Ibadah ini dijalani bukan semata-mata menahan lapar dan dahaga, tapi juga menjauhkan sikap dan sifat tercela dan mendawamkan dzikrullah baik di dalam hati maupun lisan.

 

Takbir dan pengingat hati

Sudah pasti bahwa takbir yang kita gaungkan bukan untuk menambah keagungan Allah di mata manusia. Sebab, manusia mengagungkan-Nya atau mengecilkan-Nya, Dia tetaplah Maha Agung. Karena itu, takbir sejatinya harus kita maknai sebagai reminder (penyadar) hati yang sering melupakan kebesaran Allah, terutama ketika manusia berada dalam situasi dan posisi yang ekstrim saat melawan realita.

Bagi yang merasa lemah di hadapan realita, harus mengingatkan hati tidak boleh putus asa atau merasa kecil dan hina karena memiliki Allah yang Maha Besar. Putus asa dalam berbagai bentuk seperti pesimis habis, merasa tak berdaya karena terperdaya realita, kreativitas sudah menthok, tak ada jalan keluar, dan semisalnya adalah larangan keras dan termasuk tanda orang sesat. Orang yang mudah putus asa dari rahmat Allah dihukum dua kali: di dunia hina dan di akhirat mendapat siksa. 

Alquran mengingatkan: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman,” (QS. Ali Imrah: 139).

Sebaliknya, bagi yang merasa hebat di hadapan realitanya, karena banyak uang, relasi, tehnologi, strategi, skill, kompetesi, dan seterusnya, ingatlah jangan sampai terkena penyakit istighna (sudah merasa tidak butuh Allah).  Sebab, begitu penyakit ini bersemayam di dada, kita pasti akan bertindak kebablasan (la yathgho). 

Hati harus segera diingatkan jangan sampai kita menjadi “qorun-qorun” yang berkesimpulan bahwa Tuhan tidak ada peranannya dalam hidup kita. Atau merasa bahwa semua yang kita dapatkan karena kehebatan yang kita miliki. Sosok yang mendewakan harta benda, menimbunnya sebanyak mungkin dan membiarkan kaum dhuafa di sekitarnya hidup dalam derai air mata.

Hati harus ingat bahwa yang Maha Besar itu bukan kita dengan segala resources dan atribut kita, melainkan Allah yang Maha Akbar. Kehebatan yang kita miliki, harta yang diatasnamakan kita, sejatinya adalah milik Allah. Tak secuilpun dari itu semua adalah milik seorang hamba yang fana. Ketika mati, seorang hamba tak akan membawa kepintaran ataupun harta yang bernilai tinggi kedalam liang lahatnya. 

Fakta membuktikan bahwa seluruh hidup ini kontrolnya bukan di manusia, mulai dari gerakan anggota badan, gerakan organ jiwa, apalagi peristiwa di luar dirinya. Salahlah orang yang berkesimpulan bahwa dia bisa ngomong karena punya mulut, sebab ada masanya mulut tidak bisa ngomong meskipun dia menginginkan. Salahlah orang yang berkesimpulan bahwa dia bisa berpikir karena punya otak, sebab ada masanya dimana orang tidak bisa berpikir meskipun punya otak. Dan seterusnya.

Covid 19 telah membuktikan bahwa sejak kemunculannya di dunia, maka hanya negara yang kurang rasa malu yang  mengklaim dirinya negara super power, super canggih, atau super modern.  Seperti kata Bill Gates, dalam pertandingan antara virus melawan manusia, gawang manusia selalu kebobolan berkali-kali. 

“Pede” yang membumi

Takbir perlu kita gunakan untuk mempuk rasa percaya diri (Pede) yang membumi. Maksudnya, rasa percaya diri itu berangkat dari penilaian dan penemuan hal-hal positif yang kita miliki, seperti kekuatan, kemampuan, tekad, dan seterusnya lalu kita gunakan untuk mewujudkan hal-hal positif yang kita inginkan. 

Begitu sudah ada buktinya bahwa kita mampu dan hasilnya ada, maka rasa percaya diri yang kita miliki menjadi akurat, bukan sekedar merasa mampu. Kita tidak merasa minder dan merasa over. Jika ditambah dengan takbir yang menancap di hati, maka takbir itu akan memunculkan the infinitive power (kekuatan yang tidak terbatas pada realitas yang kita lihat) karena kita kapan saja bisa menengadahkan tangan untuk mendatangkan pertolongan-Nya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat