Terdakwa kasus dugaan suap terkait pengurusan proposal dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia ( KONI) dan gratifikasi, Imam Nahrawi (kedua kiri) menyimak keterangan saksi dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (21/2/2020). | PUSPA PERWITASARI/ANTARAFOTO

Nasional

Ada Aliran Suap Rp 7 Miliar ke Kejakgung?

Terdakwa kasus suap Kemenpora mengkalim aliran dana ke BPK dan Kejakgung.

 

JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) membantah terlibat dalam kasus suap mantan menteri pemuda dan olahraga (menpora) Imam Nahrawi. Dalam sidang pada Jumat pekan lalu, asisten pribadi Imam Nahrawi, Miftahul Ulum, mengungkap mantan jaksa muda pidana khusus (jampidsus) Adi Toegarisman menerima suap Rp 7 miliar. Selain Kejakgung, uang Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) juga mengalir ke pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebesar Rp 3 miliar.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejakgung Hari Setiono menjelaskan, uang suap itu tidak jadi digunakan karena ada surat peringatan dari Inspektorat Kemenpora yang meminta KONI menyampaikan pertanggungjawaban atas pengeluaran pada dana hibah tahap pertama. "Inspektorat belum menerima pertanggungjawaban dana Rp 7 miliar. Inspektorat mengancam jika tidak bisa dipertanggungjawabkan penggunaannya, dana hibah berikut tidak akan dicairkan," ujar Hari pada Republika, Ahad (17/5).

Pada persidangan Jumat, 17 April 2020, Endang Fuad Hamidy (eks sekjen KONI) menerangkan, ada arahan dari Ulum agar menyiapkan uang Rp 7 miliar sebagai penghibur Kejakgung. Ketika menjadi saksi dalam sidang Imam Nahrawi Jumat (17/5), Ulum akhirnya mengakui selama ini ingin menyelamatkan tiga pihak dalam persidangan kasus suap dana hibah KONI. Ketiganya adalah Imam Nahrawi, BPK, dan Kejakgung.

Miftahul Ulum dalam persidangan akhir pekan lalu juga mengakui menerima uang dari mantan Bendahara Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Johnny E Awuy. Ulum juga mengungkap aliran uang ke pejabat BPK dan Kejakgung.

"Dulu dalam BAP (Berita Acara Pemeriksa) saudara mengelak, sekarang saudara mengakui menerima ATM dari Jhony, kenapa dulu saudara mengelak?" tanya Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Prasetya dalam persidangan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (15/5).

"Karena waktu itu kejadiannya Pak Jhony memang memberikan saya ATM, lalu saya akui di persidangan ini, saya berniat untuk berkata jujur," jawab Ulum, di Gedung KPK.

Ulum menjadi saksi untuk terdakwa mantan Menpora, Imam Nahrawi yang didakwa menerima suap sebesar Rp11,5 miliar dan gratifikasi Rp8,648 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI. Dalam dakwaan, Bendahara KONI Johnny E Awuy disebutkan mengirimkan Rp10 miliar.

photo
Terdakwa kasus dugaan suap penyaluran pembiayaan skema bantuan pemerintah melalui Kemenpora kepada KONI, Miftahul Ulum (kiri) bersama penasehat hukum mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/3/2020). - (ANTARAFOTO)

Sesuai arahan Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, uang Rp 9 miliar diserahkan kepada Imam melalui Miftahul Ulum. Yaitu, sebesar Rp 3 miliar diberikan Johnny kepada Arief Susanto selaku suruhan Ulum di Kantor KONI Pusat; Rp 3 miliar dalam bentuk 71.400 dolar AS dan 189.000 dolar Singapura diberikan Ending melalui Atam kepada Ulum di Lapangan Golf Senayan; dan Rp3 miliar dimasukkan ke amplop-amplop diberikan Ending ke Ulum di lapangan bulu tangkis Kemenpora RI.

Tujuan pemberian suap itu adalah agar Kemenpora mencairkan proposal pengawasan dan pendampingan sejumlah Rp51,592 miliar, sehingga cair Rp30 miliar.

"Di BAP 53 huruf c, saudara mengatakan 'saya tetap di sini enggak papa yang penting dia lolos, saya akan mengakui uang yang belasan juta, saya akui yang 10 juta, 20 juta yang gede-gede enggak akan saya akui, di luar itu enggak saya akui, yang penting dia lolos', kalimat yang anda maksud siapa?" tanya jaksa Agus.

"Dia itu karena yang bermasalah KONI dan Kemenpora, dia itu sebenarnya ada Pak Menteri, ada Kejaksaan Agung, ada BPK, ada tiga orang ini yang perlu dilindungi waktu itu," jawab Ulum.

"Maksud saudara biar kasus ini sampai Pak Mulyana saja?" tanya jaksa Agus.

"Ya memang begitu, karena urusan BPK dan Kejaksaan Agung di Pak Mulyana dan KONI," jawab Ulum.

"Jangan sampai Pak Menteri?" tanya jaksa Agus.

"Ya, karena ada temuan di sana yang harus segera diselesaikan, Kejaksaan Agung sekian, BPK sekian dalam rangka pemenuhan penyelesaian perkara," jawab Ulum.

"Saudara saksi saudara saksi saudara saksi detail ya, untuk BPK berapa?" tanya hakim Rosmina.

"Untuk BPK Rp3 miliar, Kejaksaan Agung Rp7 miliar yang mulia, karena mereka bercerita permasalahan ini tidak ditanggapi Sesmenpora kemudian meminta tolong untuk disampaikan ke Pak Menteri, saya kemudian mengenalkan seseorang ke Lina meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan itu dulu," jawab Ulum.

"Saudara saksi tolong detail, seseorang itu kabur, siapa sebut saja namanya," kata hakim Rosmina.

"Saya meminjamkan uang atas nama saya mengatasnamakan Lilik dan Lina untuk meminjam uang Rp7 miliar untuk mencukupi kebutuhan Kejaksaan Agung kemudian Rp3 miliar untuk BPK, itu yang harus dibuka," jawab Ulum.

photo
Terdakwa kasus dugaan suap penyaluran pembiayaan skema bantuan pemerintah melalui Kemenpora kepada KONI, Miftahul Ulum (kiri) bersama penasehat hukum mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/3/2020). - (ANTARAFOTO)

Menurut Ulum, pihak KONI dan Kemenpora sudah punya kesepakatan untuk memberikan sejumlah uang ke BPK dan Kejaksaan Agung untuk mengatasi sejumlah panggilan ke KONI oleh Kejaksaan Agung.

"Yang menyelesaikan dari Kemenpora itu salah satu Asdep Internasional di Kejaksaan Agung yang biasa berhubungan dengan orang kejaksaan itu, lalu ada juga Yusuf atau Yunus, kalau yang ke Kejaksaan Agung juga ada Ferry Kono yang sekarang jadi Sekretaris KOI (Komite Olimpiade Indonesia)," jawab Ulum.

Menurut Ulum, ia membantu mencarikan uang Rp3 miliar -Rp5 miliar dari kebutuhan Rp7 miliar - Rp9 miliar.

"Karena permasalahan itulah, KONI meminta proposal pengawasan dan pendampingan itu," ujar Ulum.

Ulum pun menyebutkan uang tersebut diberikan ke beberapa oknum di BPK dan Kejaksaan Agung. "BPK untuk inisial AQ yang terima 3 miliar itu, Achsanul Qosasi, kalau Kejaksaan Agung ke Andi Togarisman, setelah itu KONI tidak lagi dipanggil oleh Kejagung," ujar Ulum.

Dalam sidang sebelumnya terungkap bahwa BPK menemukan sejumlah anggaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Kemenpora, KONI maupun cabang olahraga lainnya terkait dana Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima).

Temuan BPK ada anggaran Satlak Prima tidak sesuai peruntukan, misalnya akomodasi yang nilainya beda dengan jumlah dicairkan, lalu penggunaan nutrisi dan seterusnya, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sesmenpora Gatot S Dewa Broto mengetahui kondisi tersebut dari anggota BPK Achsanul Qosasi yang memaparkan audit internal tersebut pada Agustus 2019.

Hari Setiono, kapuspen Kejakgung mengatakan, sejak adanya kasus suap di Kemenpora, jampidsus telah memerintahkan tim penyelidik untuk mengumpulkan data dan keterangan dari pihak terkait. Ia mengeklaim tim kejaksaan belum menemukan bukti dugaan tindak pidana sehingga belum dapat ditingkatkan ke tahap berikutnya.

"Dan untuk diketahui bahwa penyidikan perkara dugaan tipikor dana hibah KONI tahun 2017 oleh penyidik pada Direktorat Penyidikan Jampidsus masih tetap berjalan dan dalam proses pengumpulan bukti," kata Hari. 

Pihak yang disebut Ulum, kata Hari, sudah mengatakan tidak terjadi penyerahan uang itu. Maka, keterangan Ulum tidak memiliki nilai pembuktian. "Dengan demikian, keterangan Ulum sifatnya hanya dugaan, tidak didukung bukti," ujar Hari.

Anggota BPK, Achsanul Qosasi, juga membantah memperoleh suap tersebut, bahkan mengeklaim tak mengenal Miftahul Ulum. "Saya tidak kenal Ulum dan tidak pernah bertemu dan tidak pernah sekali pun berkomunikasi dengan dia," kata Qosasi dalam keterangannya pada Sabtu (16/5).

Qosasi menjelaskan, kasus Ulum ialah kasus dana hibah KONI yang diperiksa BPK pada 2016. Sedangkan, Qosasi belum ditugasi memeriksa Kemenpora pada periode tersebut. "Surat tugas pemeriksaan bukan dari saya. Saya memeriksa Kemenpora pada 2018 untuk pemeriksaan laporan keuangan," ujar Qosasi.

Qosasi tak keberatan jika nantinya dikonfrontasi dengan Ulum. Ia meminta Ulum menyampaikan kebenaran dan jangan melempar tuduhan tanpa dasar. "Saya mendukung proses hukum kasus KONI ini berjalan lancar dan fair, tanpa ada fitnah pada pihak lain, termasuk kepada saya sendiri," kata Qosasi menegaskan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat