
Nasional
Pendanaan Proteksi Ekosistem Kunci Masa Depan Hijau
JAKARTA — Perlindungan ekosistem utuh seperti hutan alami, pesisir, laut, dan lanskap sering kali dianggap kurang menarik bagi investor dibandingkan proyek restorasi. Padahal, menjaga yang ada sama pentingnya dengan memulihkan yang rusak.
Format baru pembiayaan konservasi berbasis proteksi kini didorong agar lebih adil, inklusif, dan berdampak langsung pada masyarakat. Isu mengenai pendanaan proteksi ekosistem ini menjadi pembahasan dalam kegiatan Sustainability Action for the Future Economy (SAFE) 2025 yang didukung Koalisi Ekonomi Membumi (KEM) dalam panel bertajuk “Green Resilience by Protection: Unlocking Ecosystem-Based Financing to Secure Indonesia’s Living Ecoscapes” di Jakarta, belum lama ini.
Diskusi mempertemukan pembuat kebijakan, lembaga keuangan, investor, filantropi, serta komunitas penjaga ekosistem untuk membahas peluang dan inovasi instrumen pendanaan hijau.
Direktur Penyaluran Dana BPDLH Damayanti Ratunanda dalam forum tersebut menekankan pentingnya skema pembiayaan kreatif agar masyarakat bisa menjaga hutan tanpa kehilangan sumber ekonomi. Salah satunya melalui Fasilitas Dana Bergulir Tunda Tebang, yang menjadikan pohon milik petani sebagai jaminan pembiayaan dengan syarat pohon tetap dipertahankan. “Skema ini bukan hanya mendukung usaha produktif, tapi juga memastikan kelestarian hutan,” ujar dia dalam keterangan tertulis yang diterima pada Senin (15/9/2025).
Conservation Strategy Fund (CSF) menambahkan, masyarakat adat yang menjaga hutan sering kali memiliki tingkat kesejahteraan lebih tinggi daripada masyarakat kota. Menurut Direktur CSF Indonesia Desta Pratama, property rights harus diakui di tangan komunitas adat untuk memperkuat pengelolaan berbasis komunitas sekaligus membuka akses ke pendanaan proteksi.
Dari sisi investor, ANGIN Advisory menyoroti bahwa investasi proteksi kerap dianggap bernilai kecil meski dampaknya besar. “Penting bagi investor untuk berorientasi pada dampak jangka panjang melalui kombinasi kapital finansial, sosial, dan pengetahuan. UMKM di sekitar hutan adalah penopang utama ekosistem ekonomi, dan mereka harus didukung dengan modal serta akses pasar,” kata Direktur ANGIN Advisory Saskia Tjokro.
Sementara itu, LATIN menekankan keberhasilan investasi hijau sangat ditentukan oleh keterlibatan masyarakat sebagai aktor utama. “Kalau bekerja dengan masyarakat jangan coba-coba. Social engineering yang baik membuat rasa kepemilikan tumbuh, dan tingkat kegagalan penanaman pohon bisa ditekan hingga hanya 3 persen,” kata Direktur Eksekutif LATIN Thomas Veriasa.
Diskusi ini menyimpulkan bahwa proteksi hutan harus dipandang sebagai investasi berdampak, bukan beban biaya. Instrumen pembiayaan hijau perlu menjangkau tingkat tapak, memberi ruang bagi masyarakat lokal untuk berdaya, sekaligus membangun kepercayaan investor. Dengan sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil, pendanaan proteksi ekosistem bisa menjadi motor menuju bioekonomi Indonesia yang berkelanjutan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.