Sejumlah warga mengantre untuk membeli masker dan cairan antiseptik pembersih tangan di salah satu pusat penjualan Alat Kesehatan dan Kedokteran di Jalan Suniaraja, Kota Bandung, Ahad (22/3). | ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA

Analisis

Relevansi Behavioral Economics Covid-19

 

Oleh: Iman Sugema

Penanganan Covid-19 ditandai pro dan kontra yang sangat tajam antasesama komponen bangsa. Mungkin Anda menganggapnya sangat lumrah karena kita merupakan sebuah bangsa yang majemuk, baik dari sisi agama, suku, bahasa, maupun orientasi politik.

Namun, Covid-19 begitu cepat menular dalam skala eksponensial. Tak lama lagi, jumlah orang yang positif tertular virus ini akan mencapai ribuan. Entah berapa ratus yang akan meninggal.

Ini adalah virus yang sangat menular dan belum pernah ada sebelumnya. Pengalaman para petugas medis untuk menanganinya pun relatif terbatas. Bisa jadi kita memang tak memiliki ahli khusus untuk jenis virus ini. Yang kita miliki adalah ahli penyakit menular atau ahli virus dalam arti umum.

Karena itu, kemampuan untuk menangani penyakit baru ini betul-betul murni dari proses learning by doing. Menjadi sangat wajar kalau semua pihak gagap dalam menghadapi persoalan yang semakin hari makin menggulung. Italia dan Amerika Serikat saja dibuat kelimpungan.

Kunci penyelesaiannya terletak pada sejauh mana penularan dapat dihentikan. Itu berarti bahwa kita harus mengandalkan diri pada kepatuhan masyarakat untuk tetap berada di rumah dan tidak terlibat dalam kerumunan massa. Rumah ibadah, pusat perbelanjaan, kantor, pertemuan, perjamuan, dan pusat hiburan harus dikosongkan sementara. Pertanyaannya, apakah rakyat akan patuh?

Nah, di sinilah perlunya rekayasa sosial diberi peran. Sebab, Covid-19 bukan sekadar masalah medis, tetapi lebih luas lagi sudah merupakan masalah yang pemecahannya memerlukan totalitas peran serta seluruh masyarakat. Salah satu tata kerja yang sudah terbukti ampuh adalah penerapan behavioral economics.

photo
Pengumuman stok masker kosong terpasang disalah satu toko alat kesehatan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (19/3/2020). - (ANTARA FOTO)

Di sini saya tidak akan menerangkan apa itu behavioral economics. Silakan Anda cari sendiri di mesin pencarian. Saya hanya akan memaparkan tiga hal yang relevan, yakni bounded rationality, nudge, dan loss aversion.

Teori mengenai bounded rationality mengatakan, seseorang akan mengambil tindakan sejalan dengan bingkai rasionalitas yang dia pahami atau percayai. Contoh konkretnya adalah Jokower akan selalu mengamini apa yang dikemukakan oleh Jokowi. Sebaliknya, hater akan cenderung menganggap salah apa pun yang dilakukan oleh Jokowi.

Prabower menganggap perintah menhan kepada TNI untuk mengangkut peralatan medis dari Cina sebagai suatu hal yang sangat patriotis. Padahal, sampai saat ini mereka tetap alergi terhadap Cina. Begitu pun pendukung Anies Baswedan selalu memberi pembenaran terhadap gubernurnya walaupun dalam satu dua kasus dikoreksi sendiri oleh sang gubernur.

Pemuka agama juga sempat terbelah. Ada yang mengatakan bahwa Covid-19 adalah tentara Allah untuk menghancurkan rezim yang menganiaya umat Islam di Negeri Tirai Bambu.  Padahal, semua agama sekarang terjangkiti virus korona. Ada juga yang mengatakan bahwa penghentian peribadatan massal, seperti shalat Jumat dan misa hari Ahad sebagai bentuk konspirasi untuk memusnahkan agama dari muka bumi.

Banyak sekali bingkai dan sekat rasionalitas yang disuguhkan ke masyarakat. Kita sesungguhnya tidak memerlukan beragam bingkai. Yang kita perlukan dalam waktu dekat ini adalah kesatuan gerakan.

 
Banyak sekali bingkai dan sekat rasionalitas yang disuguhkan ke masyarakat. Kita sesungguhnya tidak memerlukan beragam bingkai. Yang kita perlukan dalam waktu dekat ini adalah kesatuan gerakan.
   

Nah, untuk itu, teori ekonomi memberi saran agar negara segera melakukan dua hal. Yang pertama adalah mengidentifikasi bingkai politik, sosial, psikologi, agama, budaya, bahasa, dan suku. Yang kedua adalah melakukan sosialisasi bahaya Covid-19 yang selaras dengan setiap bingkai.

Yang perlu dicatat adalah tidak mungkin untuk menaklukkan semua bingkai yang membelah bangsa. Yang bisa kita lakukan adalah memanfaatkan bingkai itu untuk menghentikan penyebaran virus. Kuncinya adalah bagaimana kita merumuskan strategi rekayasa sosial untuk masyarakat yang majemuk.

Yang berikutnya adalah teori tentang nudge yang mengatakan bahwa orang akan cenderung mengikuti rekayasa arahan. Contoh yang sederhana adalah orang akan cenderung mengantre dengan tertib ketika disediakan garis antrean atau nomor antrean.

photo
Sejumlah warga mengantre untuk membeli masker dan cairan antiseptik pembersih tangan di salah satu pusat penjualan Alat Kesehatan dan Kedokteran di Jalan Suniaraja, Kota Bandung, Ahad (22/3). - (ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA)

Hal seperti ini sangat penting dalam penerapan social distancing. Contoh konkretnya adalah pembuatan marka ketika naik lift dan eskalator supaya ada jarak minimal 1 meter antarorang. Tempat duduk di bank dan kafe juga harus dilakukan penjarangan.

Intinya di setiap tempat harus diberi tanda atau marka yang jelas untuk menjamin jarak aman. Dengan rekayasa semacam ini masyarakat akan dengan sendirinya paham apa itu social distancing.

Yang terakhir adalah teori mengenai loss aversion yang mengatakan bahwa orang akan cenderung menghindari risiko kerugian. Contoh fatal ketika anak muda di Italia tak mematuhi imbauan untuk tidak berkeliaran di luar rumah karena narasi yang dikembangkan adalah virus hanya mengakibatkan kematian bagi para manula. Di Indonesia juga seperti itu.

Sebagai contoh adalah masih ramainya anak muda berkerumun menyantap gultik sambil malam mingguan di Blok M Jakata Selatan. Kalau tingkat kepatuhan yang sangat rendah seperti ini, bukan tidak mungkin korban meninggal akan melesat sampai ribuan orang di Jakarta saja.

Intinya, teori tentang loss aversion memberi saran bahwa narasi yang dikembangkan harus memberi penekanan pada risiko yang membuat semua orang ketakutan keluar rumah, termasuk kalangan milenial. Pada kenyataanya, Covid-19 adalah monster yamg mematikan. Itulah yang harus disampaikan ke masyarakat. Semoga rakyat paham. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat