IKHWANUL KIRAM MASHURI | Republika

Resonansi

Telah lama Israel ‘Mengincar’ Saudi

Penyelesaian masalah Palestina menjadi syarat dasar normalisasi hubungan Saudi-Israel.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

Nasib bangsa Palestina bolehlah digantungkan kepada Kerajaan Arab Saudi. Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS) menganggap penyelesaian konflik Palestina-Israel adalah hal yang sangat penting.

Ia adalah kunci segala stabiltas — terutama politik dan keamanan —, bukan hanya buat Palestina dan Israel, tapi juga bagi kawasan Timur Tengah dan bahkan dunia. Karena itu, MBS mensyaratkan bahwa penyelesaian konflik Palestina harus menjadi dasar atau landasan bila Israel ingin menormalisasi hubungan dengan negaranya.

Sikap tegas Saudi ini sangat berbeda dengan sejumlah negara Arab dan Islam (berpenduduk mayoritas Muslim) yang selama ini telah menormalisasi hubungan dengan Negara Yahudi itu. Misalnya saja Mesir (1979), Yordania (1994), bahkan Turki (1949) di mana Presiden Recep Tayyib Erdogan dianggap tokoh Islam yang sering bersuara keras terhadap penjajah Israel. Yang terbaru adalah Maroko, Sudan, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain. Keempat negara Arab ini menormalisasi hubungan dengan Israel pada masa Presiden Donald Trump.

 
Sikap tegas Saudi ini sangat berbeda dengan sejumlah negara Arab dan Islam (berpenduduk mayoritas Muslim) yang selama ini telah menormalisasi hubungan dengan Israel.
 
 

Negara-negara tersebut tadi tidak pernah mensyaratkan pembentukan negara Palestina merdeka dan berdaulat sebagai syarat normalisasi hubungan negara mereka dengan Israel. Tak mengherankan bila beberapa pimpinan Palestina lantas menuduh mereka sebagai ‘menikam saudara sendiri (bangsa Palestina) dari belakang’.

Ketegasan sikap tegak lurus Saudi terkait bangsa Palestina sebenarnya telah sering disampaikan para pejabat Saudi di berbagai forum. Namun, gaungnya mendunia ketika keluar dari mulut MBS saat diwawancarai stasiun televisi Amerika, Fox News, yang tayang pada Kamis pagi lalu waktu AS.

Wawancara itu tampaknya sengaja dilangsungkan beberapa hari sebelum Saudi memperingati Hari Nasional ke-93 pada 23 September dua hari lalu. MBS sangat percaya diri. Bahasa Inggrisnya bagus, kendati tidak pernah kuliah di luar negeri. Ia sepertinya ingin memperlihatkan kepada dunia tentang perubahan besar yang terjadi di negaranya selama beberapa tahun terakhir.

Kata sang arsitek "Visi Saudi 2030" itu, Arab Saudi adalah kisah sukses terbesar di abad ke-21, kisah abad ini. Menurut MBS, Visi (Saudi) 2030 adalah sangat ambisius, dan negaranya mencapai target itu lebih cepat. Karena itu, Saudi pun menetapkan tujuan baru dengan ambisi lebih besar. "Arab Saudi mencapai pertumbuhan PDB (produk domestik bruto) tercepat di antara G-20 selama dua tahun berturut-turut," ujar pangeran kelahiran 31 Agustus 1985 ini.

Ia lalu mencontohkan kemajuan di bidang pariwisata. Menurutnya, investasi negaranya di bidang pariwisata telah meningkatkan kontribusi terhadap PDB dari 3 persen menjadi 7 persen. Dalam setahun, Saudi telah berhasil menarik 40 juta kunjungan wisata. MBS menargetkan 100 juta hingga 150 juta kunjungan per tahun pada 2030.

Ia menyebutkan, dengan kemajuan itu, Saudi bisa (memenuhi syarat) bergabung dengan G-7 (kelompok tujuh negara maju). Sayangnya, beberapa negara mendikte persyaratannya, dan itu ia tolak.

Ditanya tentang perubahan di Saudi yang begitu cepat, MBS menjelaskan satu-satunya hal yang tidak berubah dalam politik adalah perubahan itu sendiri. Dan, setiap perubahan harus didedikasikan untuk kepentingan bangsa dan negara.

Sedangkan tentang perselisihan yang terjadi, kendati menjadi perbincangan ramai di media, bukanlah bersifat pribadi, tapi disebabkan perbedaan kepentingan. Inilah yang dilakukan para politisi dan negarawan. Mereka mempunyai kemampuan mengekstraksi diri dan perasaan mereka dari perbedaan. Mereka berjabat tangan setelah konflik atau bahkan perang, seolah tidak terjadi apa-apa. Inilah yang dituntut dari peran mereka sebagai pemimpin.

 
MBS dalam wawancara itu ingin memperlihatkan posisi kuat Saudi. Ia tidak bisa lagi didikte oleh pihak mana pun. Termasuk keputusannya menormalisasi hubungan dengan Iran, menjadi anggota Kelompok BRICS, berdekatan dengan Cina, memperbaiki hubungan dengan Turki.
 
 

Intinya, menurut sejumlah analis, MBS dalam wawancara itu ingin memperlihatkan posisi kuat Saudi. Ia tidak bisa lagi didikte oleh pihak mana pun. Termasuk keputusannya menormalisasi hubungan dengan Iran, menjadi anggota Kelompok BRICS, berdekatan dengan Cina, memperbaiki hubungan dengan Turki. Juga ketika bermesraan kembali dengan AS, setelah hubungan yang dingin pada awal pemerintahan Presiden Joe Biden. Pun ketika Saudi mendukung normalisasi hubungan sejumlah negara Arab dengan negara Yahudi, dan bahkan membuka udaranya untuk penerbangan ke dan dari Israel.

Termasuk pula, seperti diakui MBS dalam wawancara dengan Fox News, ketika pihaknya kini menjalin hubungan dengan AS dan Israel terkait normalisasi hubungan Saudi-Israel. Namun, ia mengingatkan pada kedua negara itu, penyelesaian masalah Palestina menjadi syarat dasar normalisasi hubungan Saudi-Israel. Atau dengan kata lain, keberhasilan atau kegagalan pembicaraan ke arah normalisasi sangat bergantung pada penyelesaian masalah Palestina.

Dan, kata MBS, jika pemerintahan Presiden Biden berhasil mencapai kesepakatan (normalisasi hubungan) antara Saudi dan Israel, maka itu akan menjadi kesepakatan terbesar sejak berakhirnya Perang Dingin.

Israel sendiri telah lama mengincar Arab Saudi, untuk bisa menormalisasi hubungan kedua negara. Mereka memandang Saudi mempunyai banyak kelebihan dibanding sejumah negara Arab yang telah menormalisasi hubungan dengan negara Yahudi itu.

Di antara kelebihannya, Saudi ‘mempunyai’ Makkah dan Madinah, Masjid al Haram dan Masjid Nabawi. Saudi juga menjadi markas dan penggerak Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan Liga Muslim Dunia (Muslim World League). OKI beranggotakan 57 negara, sedangkan Liga Muslim dengan anggota 22 negara.

 
Penyelesaian masalah Palestina menjadi syarat dasar normalisasi hubungan Saudi-Israel. Atau dengan kata lain, keberhasilan atau kegagalan pembicaraan ke arah normalisasi sangat bergantung pada penyelesaian masalah Palestina.
 
 

Karena itu, tidak aneh apabila Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah lama ngebet betul agar Israel bisa menormalisasi hubungan dengan Saudi. Dan, hal ini pula yang menjadi inti pembicaraan PM Netanyahu ketika bertemu Presiden Joe Biden di sela-sela mengikuti Sidang Umum PBB di New York beberapa hari lalu.

Berbicara kepada Biden dalam pertemuan tersebut, Netanyahu mengatakan, "Saya percaya bahwa pada masa pemerintahan Anda, Tuan Presiden, kita dapat mencapai perdamaian bersejarah antara Israel dan Arab Saudi. Perdamaian seperti itu pertama-tama akan memberikan dorongan besar untuk mengakhiri konflik Arab-Israel dan mencapai rekonsiliasi antara dunia Islam dan negara Yahudi, serta dorongan untuk mencapai perdamaian nyata antara Israel dan Palestina."

Menurut Netanyahu, mereka dapat bekerja sama untuk membuat sejarah.

Sedangkan, Presiden AS menanggapinya dengan mengulangi kata ‘bersama’, yang menunjukkan komitmennya terhadap upaya normalisasi, yang menurutnya tidak mungkin dilakukan beberapa tahun lalu. Biden juga menegaskan dukungannya terhadap prinsip solusi dua negara, untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel.

Lalu bagaimanakah penyelesaian masalah Palestina itu versi Arab Saudi?

Menurut Menlu Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan, Palestina harus menjadi negara merdeka dan berdaulat, berdampingan dengan Israel, dengan batas sebelum tahun 1967. "Hanya hal ini yang memberikan martabat dan hak-hak kepada rakyat Palestina," katanya.

 
Menurut Menlu Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan, Palestina harus menjadi negara merdeka dan berdaulat, berdampingan dengan Israel, dengan batas sebelum tahun 1967.
 
 

Negara Palestina yang dimaksud adalah dengan beribukotakan Yerusalem Timur, sesuai dengan Inisiatif Perdamaian Arab. Yakni sebuah proposal yang diajukan oleh Arab Saudi — karena itu juga dikenal dengan Inisiatif Saudi — dan kemudian diadopsi oleh Liga Arab pada KTT di Beirut pada 2002.

Inisiatif tersebut menetapkan pembentukan negara Palestina yang diakui secara internasional berdasarkan perbatasan sebelum perang tahun 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Lalu penyelesaian yang adil terhadap masalah pengungsi Palestina, penarikan Israel dari Dataran Tinggi Golan di Suriah dan dari wilayah yang masih diduduki di Lebanon Selatan. Sebagai imbalannya, negara-negara Arab akan mengakui dan menormalisasi hubungan dengan Israel.

Perang 1967 atau juga dikenal dengan Perang Enam Hari adalah perang antara Israel dengan Arab. Dalam perang itu, Israel berhasil menduduki Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat — termasuk Yerusalem Timur —, dan Dataran Tinggi Golan.

"Jika kita dapat menemukan cara untuk mencapai negara Palestina merdeka dan berdaulat, saya pikir kita dapat melihat kawasan yang jauh lebih aman dan lebih makmur, di mana setiap negara dapat berkontribusi terhadap keberhasilannya, termasuk Israel," ujar Menlu Pangeran Faisal bin Farhan.

Dengan begitu, Saudi bisa dikatakan sebagai tempat bergantung bagi terwujudnya Negara Palestina merdeka dan berdaulat. Proses menuju ke sana tentu sangat terjal dan berliku.

Namun, Israel yang ngebet untuk menormalisasi hubungan dengan Saudi, harusnya memperlihatkan keseriusannya, antara lain, dengan menghentikan semua kebiadabannya kepada warga Palestina. Dan, semoga Saudi tetap konsisten dengan pendiriannya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Sejarah Perayaan Maulid

Maulid Nabi Muhammad SAW dirayakan di banyak negara mayoritas Muslim.

SELENGKAPNYA

Dunia Makin Gawat, PBB Perlu Dirombak

Menlu RI sebut dunia tak bisa disetir sekelompok kekuatan saja.

SELENGKAPNYA

Filipina Gugat Cina Soal Terumbu Karang

Cina menuding Filipina hendak memicu drama politik.

SELENGKAPNYA