
Nostalgia
Sejarah Panjang Bisnis Seks di Jakarta
Bisnis esek-esek telah menjamur di Jakarta sejak masa kolonial.
Oleh ALWI SHAHAB
Berbagai istilah diberikan untuk penjaja seks. Sebutan pelacur dan cabo yang sampai kini masih juga populer. Meskipun sempat diperhalus jadi wanita tuna susila (WTS). Istilah itu pun masih diperhalus lagi menjadi PSK (pekerja seks komersial). Tapi di masa kolonial disebut 'wanita publik'. Istilah ini karena mereka bebas dimiliki pria yang membayarnya. Sejak kedatangan orang Belanda di Nusantara, mereka dihadapkan dengan masalah prostitusi yang tentu saja berdampak dengan merajalelanya penyakit kelamin. Apalagi pengobatan untuk 'penyakit kotor' belum ditemukan.
Jauh sebelum kedatangan orang Barat prostitusi sudah dikenal sejak zaman pemerintahan feodal kerajaan Jawa. Perempuan dianggap sebagai barang dagangan dan sistem feodal pada masa itu telah membentuk landasan bagi perkembangan industri seks yang ada sekarang ini. Pada masa penjajahan Belanda, seperti data-data yang dihimpun Arsip Nasional RI, bentuk industri seks yang terorganisasi berkembang pesat. Ini terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Eropa.
Umumnya aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan. Hingga dikeluarkan Peraturan Pemerintah 1766 yang melarang para 'wanita publik' istilah PSK ketika itu memasuki pelabuhan tanpa izin. Namun, peraturan ini tidak berjalan efektif.
Jauh dari Tanah Air, jauh dari keluarga, kesepian, dan lebarnya jarak sosial dengan penduduk asli, berpengaruh terhadap orang-orang Eropa di tanah jajahan. Para prajurit atau pegawai administrasi Belanda sering kali menghadapi kejenuhan terhadap pekerjaan rutin mereka. Dalam situasi demikian mereka mencari hiburan: salah satu sasaran keisengan ini adalah gadis-gadis muda pribumi.
Jauhnya jarak sosial antara penguasa dan rakyat menyebabkan si gadis atau keluarganya berkompromi dengan nasib.
Jauhnya jarak sosial antara penguasa dan rakyat menyebabkan si gadis atau keluarganya berkompromi dengan nasib. Maka terjadilah krisis moral pada masyarakat terjajah sebagai akibat perlakuan kekuasaan kolonial, demikian menurut buku tentang pencegahan prostitusi di masa kolonial. Selain masalah moral semacam itu, dampak lain yang muncul adalah merajalelanya penyakit kelamin. Baik di kalangan gadis-gadis penghibur, maupun di kalangan orang-orang Belanda, khususnya di kalangan tentara maupun pegawai-pegawai Belanda.
Anehnya, rumah sakit kelamin justru dibangun dalam lingkungan penjara. Menunjukkan banyak narapidana yang terjangkit penyakit kotor ini. Seperti juga sekarang, diungkap oleh tayangan sebuah televisi swasta, rutan (rumah tahanan) secara sembunyi-sembunyi dijadikan tempat prostitusi terselubung, demikian juga pada masa kolonial.
Di masa kolonial, banyaknya wanita publik berpraktik di dalam tahanan menyebabkan penyebaran penyakit makin bertambah dan juga menjadikan tempat tahanan sebagai tempat yang semakin tidak bermoral. Suatu penelitian pada 1874 menunjukkan sebanyak 2.000 serdadu yang terkena penyakit sipilis setiap tahunnya, dan terdaftar 5.000 - 6.000 kasus penyakit menular lainnya. Penyebabnya tidak lain karena 'wanita publik'.
Begitu gawatnya penyakit kelamin hingga di Magelang, dalam suatu razia dari 26 wanita yang terjaring, 24 orang di antaranya menderita penyakit kelamin yang menular. Karenanya, pemeriksaan kesehatan terhadap para anggota militer setidaknya dua kali per pekan.
Berdasarkan surat dari Residen Sumatra Utara pada 9 Desember 1889 diberitahukan sejumlah orang Tionghoa yang bekerja sebagai kuli kontrak di perkebunan tembakau Medan merangkap juga sebagai WTS. Di Deli, terdapat 30 ribu pekerja dari Cina dan mereka datang tanpa istri menyebabkan mereka pergi ke rumah-rumah bordil.
Pada 1870, saat perekonomian jajahan terbuka bagi penanaman modal swasta terjadilah migrasi tenaga kerja laki-laki secara besar-besaran. Sebagai dampak dari perluasan areal perkebunan dim Jawa Barat, pertumbuhan industri gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pendirian perkebunan-perkebunan di Sumatra, pembangunan jalan raya dan jalur kereta api.
Sebagian pekerja tersebut adalah bujangan yang akan menciptakan permintaan terhadap prostitusi.
Sebagian pekerja tersebut adalah bujangan yang akan menciptakan permintaan terhadap prostitusi. Hingga tahun 1890, hampir separuh dari pria Eropa hidup bersama selir lokal, dan setelah itu, karena aktivitas perseliran tidak diterima masyarakat, menyebabkan mereka mencari WTS. Pelacuran makin berkembang secara marak.
Perkebunan yang dikembangkan di Jawa dan Sumatra setelah 1870 merekrut sejumlah besar buruh yang menetap di perkebunan tersebut. Para pekerja diperkenalkan dengan sistem ekonomi baru. Dibayar dengan uang kontan sebagai imbalan jasa. Biasanya setelah menerima pembayaran, mereka mengunjungi perkampungan-perkampungan di sekitar tempat tinggal mereka. Melalui jalur ini banyak perempuan muda dari kampung-kampung itu menjadi wanita publik.
Pada 31 Desember 1896 surat dari Departemen Pertahanan dan Keamanan di Hindia Belanda kepada Gubernur Jenderal mengemukakan keprihatinan terhadap makin berkembangnya perdagangan wanita di Batavia, sekaligus meningkatnya prostitusi. Untuk itu pengawasan terhadap prostitusi pun diperketat. Sampai 1942, saat berakhirnya pemerintah Belanda, di tempat-tempat pelacuran tercantum bahwa militer tidak diperkenankan masuk. Sewaktu-waktu PM (Polisi Militer) melakukan razia-razia.
Gubernur DKI Ali Sadikin (1966-1977) ketika melakukan lokalisasi pekerja seks komersial (PSK) dari Planet Senen, Jakarta Pusat, ke Kramat Tunggak, Jakarta Utara, mendapat kecaman, terutama organisasi wanita Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI). Mereka menilai, tindakan Bang Ali pada awal 1970-an ini sebagai eksploitasi manusia atas manusia, merendahkan derajat manusia, khususnya wanita, dan menjauhkan kemungkinan merehabilitasi PSK yang sadar dan ingin kembali ke jalan benar.
Generasi muda sekarang mungkin banyak yang tidak tahu lokasi Planet Senen dan mengapa dinamakan demikian. Nama “Planet” untuk tempat PSK di Senen terjadi pada 1960-an. Ketika itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet bersaing keras mengirimkan manusia ke ruang angkasa (planet).
Entah siapa yang memulai, nama planet menjadi terkenal untuk daerah “hitam” di Senen. Ketika Jepang menyerah pada sekutu karena di bom atom, pusat perdagangan di Jalan Juanda, Noordwijk pada saat itu, dinamakan Pasar Atom.
Ketika itu, letak Planet Senen di depan Stasiun Senen, dari perhentian pintu kereta di Jalan Tanah Tinggi hingga ke Jalan Gunung Sahari. Jumlah PSK ratusan, bahkan ribuan dengan pedagang-pedagang yang mangkal setelah maghrib hingga menjelang subuh.
Di pinggir-pinggir rel kereta, di samping gerbong-gerbong kereta barang, kita akan dapati “rumah kardus” yang dijadikan tempat “ngamar”.
Di pinggir-pinggir rel kereta, di samping gerbong-gerbong kereta barang, kita akan dapati “rumah kardus” yang dijadikan tempat “ngamar”. Sebelum merelokasi mereka ke Kramat Tunggak (kini Islamic Centre). Di Jakarta, juga terdapat belasan rumah bordil. Yang terkenal, di Jalan Halimun Menteng, Gang Hauber (Petojo), dan Cijantung (Jakarta Timur).
Seperti juga sekarang ini, pada abad ke-19 sudah marak terjadinya perdagangan wanita dan anak-anak untuk dijadikan wanita publik. Karena itu, banyak protes yang dilakukan perkumpulan wanita untuk melawan perdagangan wanita dan anak-anak. Mereka menuntut agar dibentuk suatu peraturan prostitusi yang harus dijalankan dengan benar. Peraturan tersebut harus selalu diperbaiki, hingga pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik.
Bisnis triliunan
DPW PKS Jakarta selama tiga hari (11-13 Maret 2005) melaksanakan Program Persiapan Calon Pemimpin di Graha Insan Cita Depok. PKS yang memenangkan pemilu di Jakarta dan Depok, serta meraih sukses di daerah penyangganya: Bogor, Bekasi, dan Tangerang, rupanya bertekad meraih suara lebih banyak pada Pemilu 2009. Karenanya sejak dini mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi pemilu empat tahun mendatang.
Saya dan Moammar Emka sebagai pembicara dalam pembekalan tersebut, yang seluruh pesertanya para anak muda. Pertanyaan banyak ditujukan pada Moammar Emka, penulis buku 'Jakarta Undercover' dan Pemerhati Kehidupan Malam. Moammar Emka, tanpa ragu-ragu menyebutkan dewasa ini ratusan tempat hiburan malam berlomba-lomba membuka pintu lebar-lebar dengan aneka menu spesial yang menggoda: dari kafe, bar, pub, karaoke, sampai klub. Diskotik sudah menjadi ajang untuk mereguk kenikmatan 'surga ecstasy dan seks'. Karaoke sudah jadi private room untuk mendapatkan layanan spesial dari penari striptis, seks sashimi sampai kencan one short time. Tidak tanggung-tanggung ada cewek pribumi, Cina, Thailand, Vietnam sampai bule dari Rusia, Uzbekistan dan Brazil.
Kalau dilihat dari kacamata industri, Jakarta tak ubahnya sebuah medan yang tiap hari, bahkan tiap jam, selalu berdenyut oleh banyaknya transaksi seksual. Menjamurnya gadis-gadis impor dari Mandarin, Thailand, Vietnam, Rusia atau Uzbekistan adalah salah satu kiat dan strategi yang dipergunakan tempat hiburan seksual untuk memanjakan tamu-tamunya.
Saking besarnya industri seks yang ada di Jakarta, kata Moammar, dia sampai berani membuat kesimpulan bahwa sudah menjadi medan sex show supermarket.
Saking besarnya industri seks yang ada di Jakarta, kata Moammar, dia sampai berani membuat kesimpulan bahwa sudah menjadi medan sex show supermarket. Dalam kaitan ini, pengarang muda yang bukunya telah beberapa kali cetak ulang, jumlah tempat pijat, sauna, karaoke, dan hotel yang sediakan pelayanan seksual, jumlahnya tak kalah banyak dibanding supermarket. Pembeli bisa dengan leluasa melihat, memilih dan membeli 'pasangan kencan' yang diinginkan.
Sejauh ini, kata Moammar, ada satu kebijakan yang mengatur industri seks itu sendiri. Di satu sisi, lokalisasi dibubarkan dan ditutup, di sisi lain, praktek industri seks yang dijajakan di tempat pijat, karaoke, hotel atau sauna, tetap beroperasi dari hari ke hari. Yang pasti jumlahnya selalu bertambah. Itulah potret sesungguhnya.
Wisata seks semacam ini bukan saja menjamur di Jakarta, tapi juga di Surabaya, Bandung, Semarang, Batam, Medan, dan kota-kota lainnya.
Berdasarkan data-data yang ditemukan di lapangan, menurut Moammar Emka, ternyata 'wisata birahi' secara tertutup jumlahnya lebih dahsyat dari tempat prostitusi terang-terangan seperti Dolly (di Surabaya) dan Kramat Tunggak (sudah dijadikan Islamic Center). Di Jakarta, panti pijat berdiri seperti jamur. Jumlahnya bukan bilangan puluhan, tapi mencapai ratusan. Tapi yang berpraktek betulan hanya 10 - 20 persen. Sisanya menawarkan jasa kencan seks.
Seperti di Mangga Besar atau Kota, jangan harap bisa menemukan panti pijat kesehatan. Belum lagi praktek-praktek bisnis 'wisata birahi' di kawasan Mangga Besar, Kota, Ancol, Pluit sampai Melawai.
Karena subur, mungkin pantas kalau bisnis seks disebut bisnis basah. Lebih basah dari bursa saham atau uang. Walaupun secara hukum dilarang, tapi dalam prakteknya mengalami pertumbuhan sangat pesat. Berulang kali ditertibkan tapi muncul tempat-tempat baru. Dari data Direktorat Rehabilitasi Tuna Susila (WTS) 1997, menyebutkan seluruh Indonesia ada 72.724 WTS terdaftar. Diestimasikan yang tidak terdaftar jumlahnya satu setengah kali yang terdaftar. Kalau diakumulasi bisa capai 187 ribu orang. Mereka dibagi dalam empat kelompok.
Karena subur, mungkin pantas kalau bisnis seks disebut bisnis basah.
Pertama. kelas bawah diperkirakan 125 ribu orang. Dengan tarif sekitar Rp 20 ribu - Rp 75 ribu. Kedua, kelas menengah jumlahnya 123 ribu orang dengan tarif antara Rp 100 ribu-200 ribu. Ketiga, pekerja seks kelas atas berjumlah sekitar 42 ribu. Kelompok ini bisa mengantongi bayaran Rp 700 ribu sampai Rp 2-3 juta untuk sekali transaksi. Keempat, pekerja seks kelas tinggi atau papan atas jumlahnya sukar ditebak. Bukan apa-apa mereka diatur secara cermat dan punya jaringan bisnis sendiri yang 'undercover'.
Mereka melayani klien dari kelompok masyarakat kelas elit seperti pengusaha sampai pejabat tinggi. Biasanya mereka datang dari kalangan artis, bintang iklan, model, petugas asuransi, wanita piaraan/simpanan, karyawan bank, sekretaris sampai mahasiswi. Kalau dijumlahkan, perputaran uang dalam 'bisnis birahi' bisa mencapai Rp 24,576 triliun. Angka yang dipergunakan ini, ungkap Moammar, masih menggunakan standar estimasi tarif terendah.
Misalnya untuk transaksi kelas menengah yang menggunakan sampel harga terendah Rp 50 ribu. Padahal dalam praktek ada yang Rp 100 ribu, Rp 200 ribu, bahkan Rp 300 ribu. Bukan mustahil transaksi seks di Jakarta bisa menembus angka Rp 29.904 triliun, malah Rp 44.856 triliun. Tapi perputaran itu hanya membasahi 'kantong-kantong pribadi'. Sedangkan di Thailand mereka dikenakan pajak.
Apa yang dikemukakan 'Pemerhati Kehidupan Malam' ini membuat sebagian peserta mengajukan bertubi-tubi pertanyaan. 'Bagaimana cara ampuh memberantas kemaksiatan yang di-back-up para mafia, preman, dan cukong. Saya sendiri turut geleng kepala, karena pada tahun 1960'an hanya belasan tempat prostitusi.
Disadur dari Harian Republika. Alwi Shahab merupakan jurnalis Republika sepanjang zaman. Beliau wafat pada 2020 lalu.