Petugas Kesatuan KBR (Kimia Biologi Radioaktif) Gegana Mabes Polri bersama petugas PTKMR (Pusat Teknologi Keselamatan Meteorologi Radiasi) mengukur paparan radiasi di area terpapar di Perumahan Batan Indah, Kota Tangerang Selatan, Banten, Senin (17/2). | Thoudy Badai/Republika

Opini

Meluruskan Narasi Bahaya Radiasi

Kombinasi pemahaman rendah dan narasi menyesatkan tentang radiasi membuat sebagian masyarakat khawatir.

 

Oleh R Andika Putra Dwijayanto

Peneliti Teknologi Keselamatan Reaktor, Badan Tenaga Nuklir Nasional

 

Ditemukannya paparan radiasi abnormal di Perumahan Batan Indah, Setu, Tangerang Selatan, memancing sorotan nasional. Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) mengungkapkan, di salah satu petak tanah di Batan Indah terdeteksi pancaran radiasi nuklir dengan dosis di atas ambang batas normal.

Tindakan telah dilakukan dengan memberi perimeter di daerah terkontaminasi. Disusul, usaha dekontaminasi tanah dan vegetasi yang dilakukan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Namun, beberapa media menggunakan narasi bombastis atas kejadian ini.

Dibuatlah tajuk, bahan radioaktif yang mengontaminasi tanah Batan Indah sama dengan yang berasal dari kecelakaan PLTN Chernobyl. Dikesankan pula, paparan radiasi tersebut dapat menyebabkan kemandulan hingga kanker.

Walau tidak sepenuhnya keliru, narasi bahaya radiasi yang disampaikan ke masyarakat itu, tidak kurang dari problematik. Pemahaman masyarakat terhadap radiasi memang cenderung rendah.

Terbukti, kata ‘radiasi’ sering kali disandingkan dengan kata ‘bahaya’ bahkan dampak buruk, seperti ‘mandul,’ ‘kanker,’ bahkan ‘kematian.’ Kurang baiknya komunikasi publik industri nuklir ditambah propaganda kalangan antinuklir membuat radiasi seolah jadi momok.

Sehingga, terdapat jurang besar antara fakta ilmiah tentang radiasi dan apa yang masyarakat mengerti. Contohnya, narasi bahwa sumber radiasi yang mengontaminasi Batan Indah sama dengan yang berasal dari kecelakaan Chernobyl.

Tentu saja sama karena sumber yang dimaksud merupakan produk hasil belah bahan bakar nuklir. Kalau dibahas sampai sini saja, kesan yang ditangkap publik akan mengerikan. Padahal, kesamaan itu sama sekali tidak menjelaskan, apakah sumber itu berbahaya atau tidak.

Kombinasi dari pemahaman yang rendah dan narasi menyesatkan membuat sebagian masyarakat khawatir. Meski realitasnya, tidak banyak yang mesti dikhawatirkan dari radiasi nuklir itu sendiri, karena beberapa alasan.

Pertama, bahaya atau tidaknya radiasi nuklir bergantung jenis radiasi dan dosisnya. Pemancar radiasi alfa dan beta tidak perlu dikhawatirkan jika sumbernya berada di luar tubuh, tetapi dapat berbahaya jika sampai tertelan atau terhirup.

Pemancar radiasi gamma bisa membahayakan, baik di dalam maupun di luar tubuh karena daya tembusnya tinggi. Berita baiknya, sifat pemancar gamma ini justru membuatnya mudah terdeteksi.

Bapeten dapat mengidentifikasi adanya kontaminasi radioaktif karena sumbernya merupakan pemancar gamma. Lebih mudah mendeteksi dan dekontaminasi sumber gamma daripada sumber alfa dan beta.

Dosis radiasi mungkin merupakan penentu utama dari potensi bahaya radiasi. Selama dosis radiasi berada di bawah ambang batas, tidak ada pengaruhnya pada manusia.

Mengingat, tubuh manusia memiliki mekanisme biologis untuk memperbaiki jaringan tubuh yang rusak, entah itu karena radiasi, paparan asap kendaraan, substansi karsinogenik, dan sebagainya.

Namun, kemampuan perbaikan jaringan itu terbatas. Jika dosis radiasi melebihi ambang batas selamat, tubuh akan mulai menampakkan dampak kerusakan. Seberapa besar ambang batas selamat radiasi?

Berbagai penelitian, termasuk rilis dari World Nuclear Association dan Health Physics Society menyatakan, tidak ada dampak yang dapat terdeteksi dari paparan radiasi kurang dari 100 miliSievert (mSv).

Dosis 100 mSv pun hanya sedikit meningkatkan risiko kanker, tidak berarti seseorang pasti akan terkena kanker apalagi kematian. Kurang dari dosis tersebut, ketidakpastian statistik terlalu tinggi untuk dapat mengaitkan insidensi kanker dengan radiasi nuklir.

Kedua, dosis merupakan faktor gayut waktu. Press release Batan mengungkapkan, setelah dekontaminasi per (15/2), paparan radiasi berkurang hingga menjadi 98,9 mikroSievert (µSv) per jam. Angka ini setara 867 mSv per tahun, jauh melebihi batas 100 mSv.

Untuk mengalami kenaikan risiko kanker, seseorang harus berdiam di atas tanah terkontaminasi tersebut selama kurang lebih 8,5 jam setiap hari selama setahun. Kalau hanya sekadar lewat, tidak ada efek apa-apa.

Ketiga, manusia hidup di tengah lautan radiasi. Tiap-tiap saat, tubuh manusia dihantam radiasi dari berbagai sumber; dari luar angkasa, dari tanah, bahkan dari dalam tubuh sendiri. Rata-rata, penduduk dunia menerima dosis radiasi 2,4 mSv per tahun.

Penduduk sebagian daerah, misalkan Mamuju di Sulawesi Barat, menerima dosis radiasi alam lebih tinggi. Nyatanya, tidak ada perbedaan khusus pada mereka, baik dari segi genetika molekuler maupun kualitas hidup secara umum.

Hanya karena paparan radiasi menjadi sedikit lebih tinggi dari kondisi biasa bukan berarti hal itu berbahaya. Tubuh manusia didesain Sang Pencipta untuk dapat beradaptasi dengan kenaikan tingkat radiasi hingga batasan tertentu. Kuncinya, tidak melebihi threshold.

Keempat, dogma keselamatan radiasi tentang ‘tidak ada dosis radiasi yang selamat’ berasal dari junk science bernama linear no-threshold (LNT). Mode LNT mengasumsikan, setiap paparan radiasi sekecil apa pun, bisa menyebabkan kerusakan genetik pada tubuh.

Selain itu, kenaikan potensi bahaya terhadap dosis diasumsikan linear. LNT sama sekali mengabaikan mekanisme perbaikan biologis pada tubuh manusia. Model LNT pada awalnya diajukan Hermann Muller, peraih Nobel Fisiologi tahun 1946.

Namun, model ini dipenuhi cacat ilmiah dan ekstrapolasi keliru, serta dikritik oleh banyak koleganya pada masa itu. Para fisikawan nuklir dan asosiasi seperti Health Physics Society menganggap LNT cacat secara fundamental dan berpotensi melebih-lebihkan bahaya radiasi.

Sayangnya, untuk alasan yang tidak bisa dijustifikasi secara ilmiah, mayoritas regulator nuklir dunia mengadopsi LNT untuk menilai potensi bahaya radiasi dan menetapkan nilai batas dosis (NBD).

Penggunaan model LNT sedikit banyak berpengaruh dalam membentuk penyesatan publik akan bahaya radiasi. Karena dianggap radiasi sekecil apa pun akan berbahaya, narasi bahwa ‘radiasi itu berbahaya’ jadi lebih mudah dimainkan.

Hasilnya, yang terjadi adalah pembodohan masyarakat secara terstruktur, sistematis, dan masif. Pada hakikatnya, radiasi //per se// bukanlah istilah yang mesti ditakuti.

Radiasi nuklir dalam dosis tinggi memang dapat membahayakan, tetapi begitu juga dengan minum air mineral segalon sehari. Paparan radiasi jauh lebih sedikit menyebabkan masalah kesehatan daripada, katakanlah, rokok.

Tindakan sigap Batan dan Bapeten dalam mitigasi kontaminasi sangat patut diapresiasi. Persoalan yang tersisa, narasi yang mengesankan radiasi merupakan makhluk berbahaya dan mematikan tanpa detail yang jelas, harus dihentikan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat