Opini
Stabilisasi Inflasi
Antisipasi sedari dini belit inflasi musiman Ramadhan-Lebaran.
EDY PURWO SAPUTRO, Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Surakart
Ramadhan sebentar lagi dan bayang-bayang inflasi musiman di depan mata sebab setiap tahun inflasi musiman Ramadhan – Lebaran pasti terjadi. Meski pemerintah melakukan operasi pasar dan menjamin kepastian stok pangan, laju inflasi musiman terus terjadi.
Data BPS menunjukkan indeks harga konsumen April 2022 saat Ramadhan inflasi 0,95 persen (month-to-month/mtm) atau naik dari Maret 2022, yaitu 0,66 persen (mtm). Laju inflasi dipengaruhi semua kelompok, yaitu volatile food, administered prices, dan inti.
Inflasi Lebaran pada Mei 2022, yaitu 0,40 persen (mtm) dipengaruhi semua kelompok yaitu inti, volatile food, dan administered prices.
Terkait ini, pemerintah konsisten menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah guna menjaga inflasi berada dalam kisaran sasaran sesuai APBN 2023.
Kelompok volatile food pada Mei 2022 inflasi 0,94 persen (mtm) atau turun dari bulan sebelumnya 2,30 persen (mtm), yang dipengaruhi deflasi minyak goreng seiring larangan sementara ekspor bagi komoditas crude palm oil (CPO) dan produk turunannya.
Selain itu, dipicu deflasi daging ayam ras dan aneka cabai sejalan dengan normalisasi permintaan pangan pasca-Lebaran. Sebagai perbandingan dari inflasi inti pada April 2022 saat Ramadhan, yaitu 0,36 persen (mtm) naik dari Maret 2022 sebesar 0,30 persen (mtm).
Inflasi inti April 2022 terutama dipicu komoditas kue kering berminyak dan mobil seiring peningkatan harga minyak goreng dan mobilitas saat Ramadhan-Lebaran. Maka itu, menjelang Ramadhan-Lebaran komitmen menjaga inflasi dan kepastian pasokan harus jadi perhatian, apalagi pemerintah tidak akan melarang mudik dan pandemi telah usai.
Menjelang Ramadhan-Lebaran selalu memicu kecemasan atas belit inflasi dan tak lepas dari ancaman daya beli.
Antisipasi
Menjelang Ramadhan-Lebaran selalu memicu kecemasan atas belit inflasi dan tak lepas dari ancaman daya beli. Ketakutan terkait kucuran uang kaget melalui THR yang memicu perilaku ‘gelap mata konsumsi’, sehingga permintaan meningkat dan berdampak pada laju inflasi.
Ritual THR tak selalu manis sehingga pembayaran THR melahirkan gejolak sosial karena pandemi dua tahun terakhir, dunia usaha tak membayar THR karena omzet turun. Di sisi lain, kegalauan pemudik sirna karena larangan mudik Lebaran 2020-2021 pupus.
Padahal, dua tahun lalu mudik dilarang dengan argumen untuk meredam gejolak pandemi meski di sisi lain sudah ada vaksinasi massal. Problem tahunan mudik-THR berimplikasi terhadap laju inflasi tahunan.
Karena itu, menjaga stabilitas inflasi penting, sementara inflasi Februari 2023 mencapai 0,16 persen secara bulanan (inflasi tahunan 5,47 persen dan tahun kalender 0,50 persen). Laju inflasi dipicu kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang mengalami inflasi tertinggi.
Sedangkan kelompok transportasi mengalami deflasi menyusul penurunan tarif angkutan udara, akibat harga avtur. Jadi, inflasi Februari 2023 secara mtm lebih rendah dari inflasi Januari 2023 yang sebesar 0,34 persen.
Selalu muncul pertanyaan di benak masyarakat mengapa pada Lebaran harga cenderung naik, terutama harga sembako?
Selalu muncul pertanyaan di benak masyarakat mengapa pada Lebaran harga cenderung naik, terutama harga sembako? Bahkan, masyarakat menyebut harga-harga itu tidak naik, tetapi ganti harga. Pemahaman ini karena harga sembako naik cukup besar.
Akibatnya daya beli turun dan nilai rupiah berkurang. Inilah yang disebut inflasi dan ironisnya laju inflasi musiman setiap Ramadhan-Lebaran cenderung meningkat.
Laju inflasi Ramadhan-Lebaran Mei 2020 hanya 0,07 persen; Lebaran Juni 2019, yaitu 0,55 persen; pada 2018, yaitu 0,59 persen; Juni 2017, yaitu 0,69 persen; Juli 2016, yaitu 0,69 persen; dan pada Lebaran 2015 dan Juli 2014 sama 0,93 persen.
Artinya, antisipasi sedari dini belit inflasi musiman Ramadhan-Lebaran mengacu kepentingan stabilisasi harga dan kepastian pasokannya.
Di satu sisi, fenomena inflasi Ramadhan-Lebaran seharusnya dapat diantisipasi karena berlangsung di periode yang tetap setiap tahun. Artinya, problem inflasi terkait menjelang, selama Ramadhan, sampai Lebaran semestinya bisa dikontrol. Terutama dengan menyediakan kebutuhan pangan. Apa pun langkah yang diambil, termasuk misalnya melakukan impor dibenarkan selama bersifat sementara.
Fenomena inflasi Ramadhan-Lebaran seharusnya dapat diantisipasi karena berlangsung di periode yang tetap setiap tahun.
Di sisi lain, ketersediaan bahan pangan tidak mencukupi kebutuhan selama Ramadhan-Lebaran. Paling tidak, ini terlihat dari terjadinya lonjakan harga. Padahal, lonjakan harga atau inflasi terjadi jika permintaan lebih tinggi dibandingkan ketersediaan bahan pangan.
Ini berarti impor sejumlah komoditas pangan dan cadangan pangan tak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. Fakta lain, terjadi pergeseran musim tanam akibat bencana juga memicu kuantitas dan kualitas pasokan, sehingga berdampak terhadap rantai pasok ke konsumen.
Konsisten
Tentu kita tak bisa mengatakan inflasi Lebaran dibebankan kesalahannya ke pemerintah yang tak menjamin ketersediaan bahan pangan, termasuk lewat impor. Menurut statistik 10 tahun terakhir, pemicu inflasi Lebaran ternyata kelompok bahan makanan.
Karena itu, perlu kajian intens untuk mereduksi inflasi sehingga daya beli masyarakat tidak menurun.
Di sisi lain, pandemi dua tahun terakhir berdampak pada daya beli sehingga potensi inflasi Ramadhan-Lebaran, jelas tak akan lebih besar dari situasi normal dan inflasi Januari-Februari 2023 perlu diwaspadai karena ancaman inflasi Maret-Mei 2023 usai Ramadhan-Lebaran.
Dari pemaparan di atas, banyak aspek mendasari inflasi Ramadhan-Lebaran, dan karenanya semua pihak harus kontrol diri, termasuk masyarakat sebagai konsumen.
Masyarakat tidak perlu memaksakan diri dengan konsumsi berlebih.
Ketika konsumen semakin sadar untuk tidak terjebak pemenuhan berbagai keinginan, permintaan selama Lebaran tidak meningkat dan otomatis tidak terjadi fluktuasi keseimbangan penawaran dan permintaan.
Artinya, masyarakat tidak perlu memaksakan diri dengan konsumsi berlebih. Karena itu, menjaga stabilisasi inflasi bukan hanya tugas pemerintah, tim pengendali inflasi di daerah, melainkan juga masyarakat dengan perilaku konsumsi secara cerdas.
Jadi, THR memang tunjangan hari raya, tapi bukan kemudian gelap mata, menghabiskannya sesaat pada Lebaran karena masih ada kebutuhan setelah Lebaran dan dampaknya inflasi musiman Ramadhan-Lebaran 2023.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.