Anak-anak bermain bersama relawan di halaman Masjid Nurul Falah, Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Senin (24/2/2022). | Wihdan Hidayat / Republika

Opini

Literasi Keislaman Polri

Polisi perlu lebih memahami teks keislaman dari berbagai sumber untuk menjelaskan ajaran dari berbagai sudut pandang.

ABDUL MU'TI, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah

 

Pekan ini, jagat dunia maya diramaikan pernyataan mantan kapolres Purworejo, Jawa Tengah, AKBP Rizal Marito. Dalam wawancara dengan TV One pada Mei 2021, AKBP Rizal Marito menyatakan, masyarakat Desa Wadas yang menentang pembangunan waduk mengumandangkan bacaan hasbunallah wa nikmal wakil (lafaz hasballah). AKBP Rizal Marito menyimpulkan lafaz hasballah sebagai kumandang perang.

Terlepas dari kasus Wadas yang memanas, artikel ini lebih fokus pada substansi pernyataan lafaz hasballah sebagai kumandang perang dalam kaitannya dengan literasi keislaman jajaran kepolisian. Pernyataan AKBP Rizal Marito tidaklah sepenuhnya benar.

Pejabat kepolisian seharusnya lebih berhati-hati dengan tidak menyampaikan pernyataan keislaman tanpa pemahaman mendalam.

Zikir kesabaran

Lafaz hasballah bukanlah bacaan kumandang perang. Kalimat hasbunallah wanikmal wakil disebutkan dalam Alquran surah Ali Imran (3): 173. Dalam Tafsir Departemen Agama (2011) dijelaskan, ayat ini diturunkan dalam konteks Perang Uhud ketika pasukan Muslim mengalami kekalahan.

Banyak sahabat syahid. Nabi Muhammad juga terluka. Di tengah suasana berkabung, Allah menurunkan ayat-ayat Alquran untuk menenteramkan hati dan membangkitkan semangat serta optimisme bahwa Allah akan memuliakan mereka yang gugur dan melindungi hamba-Nya dari marabahaya.

Hasbunallah wanikmal wakil berarti "cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung".

Ibnu Katsir (2008) menjelaskan, Nabi Muhammad membaca hasballah saat Perang Uhud. Nabi Ibrahim membacanya tatkala menghadapi pembakaran. Aisyah RA membaca hasballah untuk menguatkan hati menghadapi fitnah "perselingkuhan" dengan Shafwan bin al-Muathal.

 
Tujuan membaca lafaz hasballah bukan kumandang perang, malainkan untuk ketenangan jiwa dan berharap yang terbaik dari Allah.
 
 

Di beberapa riwayat disebutkan, Nabi mengajarkan para sahabat membaca hasballah untuk ketenangan jiwa. Sebagaimana disebutkan dalam Jami' at-Tirmidzi (Hadis No 2431) bab tuhfah (sangkakala), Nabi Muhammad mengingatkan akan datangnya hari kiamat.

Pernyataan Nabi itu membuat sahabat gelisah. Nabi mengajarkan agar mereka membaca hasbunallah wanikmal wakil, alaihi tawakkalna. Islam mengajarkan agar manusia berikhtiar sekuat tenaga untuk mencapai cita-cita dan berteguh hati setelah mengambil keputusan, bertawakal.

Di kalangan umat Islam, lafaz hasballah dibaca sebagai zikir dan "puji-pujian" setelah atau sebelum azan. Umat membaca lafaz hasballah untuk menolak bala. Karena itu, tujuan membaca lafaz hasballah bukan kumandang perang, malainkan untuk ketenangan jiwa dan berharap yang terbaik dari Allah.

Besar kemungkinan, dalam kasus Wadas, masyarakat membaca lafaz hasballah justru sebagai sikap "pasrah" karena tak mampu lagi berbuat apa-apa--termasuk berhadapan dengan polisi--selain mengharap yang terbaik dari Allah.

Literasi keislaman

Sebagai aparatur keamanan, Polri perlu memiliki literasi keislaman, terutama pada level pimpinan dan Bintal. Dengan begitu, polisi bisa mengambil kebijakan keislaman yang tepat serta membangun komunikasi dan hubungan lebih baik dengan umat Islam.

Polisi perlu memiliki tiga aspek literasi keislaman. Pertama, pemahaman mendalam atas ajaran Islam, khususnya yang menjadi referensi tindakan kekerasan oleh kelompok tertentu, seperti jihad, amaliah, amar makruf nahi munkar, tagut, bugat, darul Islam, dan sebagainya.

Polisi perlu lebih memahami teks keislaman dari berbagai sumber untuk menjelaskan ajaran dari berbagai sudut pandang. Polisi akan lebih berwibawa di mata kelompok tertentu yang sangat ketat dan kaku dalam memahami agama.

Kedua, literasi aliran, mazhab, organisasi keislaman. Di kalangan umat Islam, terdapat pluralitas internal.

 
Kemajemukan menjadi tantangan tersendiri bagi polisi agar tetap netral, objektif, dan imparsial dalam menangani masalah keamanan.
 
 

Di Indonesia terdapat lebih dari 73 organisasi keislaman. Polisi perlu mengkaji dokumen resmi dan biografi para tokoh organisasi Islam. Kemajemukan menjadi tantangan tersendiri bagi polisi agar tetap netral, objektif, dan imparsial dalam menangani masalah keamanan.

Ketiga, literasi tradisi keislaman, khususnya terkait ritual keagamaan tertentu. Banyak ritual dan tradisi keagamaan membahayakan keamanan dan bertentangan dengan norma sosial. Tak jarang, ritual keagamaan tertentu menelan korban jiwa.

Dalam beberapa kasus, polisi tak percaya diri menangani masalah terkait komunitas agama, khususnya Islam. Kasus bernuansa agama sangat sensitif karena selalu dikaitkan isu SARA. Daripada salah atau dipersalahkan, polisi terkadang "memilih" melakukan pembiaran terhadap kasus keagamaan. Ini tak seharusnya terjadi.

Dengan literasi keislaman, polisi akan lebih percaya diri dan mampu menangani kasus bernuansa keislaman dan keagamaan dengan humanis, tepat, dan bijaksana.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat