Ahmad Syafii Maarif | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Tukang Tambal Ban

Seperti senyumnya tukang tambal ban dan senyum penghuni gubuk di Sumpur Kudus.

Oleh AHMAD SYAFII MAARIF

OLEH AHMAD SYAFII MAARIF

Senin, 10 Januari 2022. Sekitar pukul 07.15 WIB, saya menuntun sepeda keluar rumah karena ban depannya gembos. Istri saya sempat protes, mengapa tidak Udin (sopir keluarga anak kami) saja yang diminta pergi ke bengkel.

Dengan agak ketus saya jawab dalam bahasa Jawa: “Ora” (tidak), sambil sepeda saya jadikan semacam tongkat menuju bengkel itu yang jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah Nogotirto.

Sesungguhnya, tungkai tua ini memang sudah tidak kuat lagi berjalan agak jauh, tetapi karena “sifat keras kepala”, protes itu tidak saya hiraukan. Dengan langkah lambat, saya bersama sepeda bertolak ke tempat yang dituju.

Belum jadi sampai di bengkel itu, seorang anak muda sederhana di sisi kiri jalan menegur saya: “Ban sepedanya gembos, ya. Boleh saya tambal?” Tentu saja saya senang karena dapat mengurangi jarak jalan kaki yang sudah kurang stabil ini.

Anak muda ini punya bengkel juga, tetapi tidak selalu dibuka. Dengan cekatan, anak muda itu mengambil sepeda dan mulai bekerja. Disiapkan air di ember plastik hitam, dibongkar ban yang bocor lalu dipompa untuk menentukan di bagian mana kebocoran itu.

 

 
Bagi anak muda ini, tampaknya tidak ada sesuatu yang istimewa dalam kejadian ini.
 
 

Ternyata, lubang ban memang sudah parah. Harus diganti dengan yang baru. “Anda punya ban baru di sini?” tanya saya. Ternyata tidak ada, tetapi sanggup membelikan. Dengan bekal uang Rp 100 ribu, anak muda itu segera naik sepeda motornya untuk beli ban.

Hanya dalam tempo 10 menit, dia sudah kembali dengan ban baru yang hanya berharga Rp 25 ribu. Sisanya cepat diserahkan seutuhnya. Padahal, jika dia minta untuk ongkos bensin, sebenarnya wajar saja. Tetapi itu tidak dilakukannya.

Bagi anak muda ini, tampaknya tidak ada sesuatu yang istimewa dalam kejadian ini. Tetapi bagi saya, sangat istimewa dan mengharukan karena dua hal. Pertama, keluguan dan kejujurannya tanpa dibuat-buat.

Kedua, kesiapannya membantu orang yang memerlukan. Saya tahu betul, suasana tempat tinggalnya yang sangat sederhana. Di situlah dia bersama keluarga dan keluarga mertuanya melangsungkan hidup, entah sudah sejak berapa tahun lalu.

Anak muda ini bagian dari sekian puluh juta rakyat Indonesia yang belum merasakan makna kemakmuran ekonomi dari kemerdekaan bangsa. Dalam kederhanaan itu, toh keceriaan di wajahnya tidak berkurang.

Kadang-kadang, di depan rumahnya terlihat jualan sayur dan buah-buahan dalam jumlah yang tak seberapa.

 

 
Maka itu, dilema kemiskinan di negeri ini masih saja seperti tali yang tak berujung. Sebuah lingkaran setan yang sulit diurai, sekalipun pemerintah telah berbuat untuk mengatasinya.
 
 

 

Proses ganti ban ini berlangsung cepat dan rapi. Berapa ongkosnya? Inilah yang semakin mengharukan saya. Dia hanya menyebut angka X, yang menurut perasaan saya, tidak sebanding dengan kerjanya. Lalu, saya berikan tiga X. Puan dan tuan tidak perlu tahu nilai X itu.

Yang patut saya rekamkan di sini, kegembiraan anak muda ini dengan tiga X itu, padahal hanya dalam jumlah kecil. Saya berniat terus bersahabat dengan anak muda ini. Dalam bentuk apa, tidak akan dikatakan di sini.

Dalam tempo yang tidak berjarak jauh, dari Sumpur Kudus, saya diberi tahu masih terdapat beberapa keluarga termiskin di sana. Tidak punya tempat tinggal layak. Via WA, potret rumah mereka dikirimkan kepada saya.

Sungguh memilukan. Atap dan dinding gubuknya adalah campuran plastik dan daun-daunan. Dindingnya rapuh. Gubuk itu sempit sekali. Penghuninya banyak. Ternyata sebagian masih punya pertalian darah atau suku dengan keluarga saya.

Dibandingkan anak muda di atas, kondisi kehidupan rakyat termiskin di Sumpur Kudus mungkin lebih buruk. Sawah garapan tidak punya, kebun karet tidak punya, tetapi sebelum ajal datang, turun naik napas tidak boleh dihentikan, bukan?

 

 
Kemajuan sejak kita merdeka memang sudah banyak di negeri ini, tetapi jumlah anak bangsa yang berada di pinggir masih bersama kita dalam jumlah jutaan. 
 
 

 

Maka itu, dilema kemiskinan di negeri ini masih saja seperti tali yang tak berujung. Sebuah lingkaran setan yang sulit diurai, sekalipun pemerintah telah berbuat untuk mengatasinya.

Dalam suasana demikian, kita digemparkan pula oleh kasus beberapa kepala daerah yang kena operasi tangkap tangan (OTT) dan guru agama serta kiai yang mencabuli murid dan santrinya. Dari hari ke hari kejadiannya semakin merebak.

Bumi Pancasila saban waktu dikotori anak bangsa yang tersesat jalan. Ironisnya, mereka berpesta dalam kesesatan itu.

Aparat sudah bertindak, sekalipun sering terlambat. Pelaku tidak pernah jera. Media sosial, TV, dan media cetak terus-menerus memberitakannya. Kita merasa lelah dengan kejadian-kejadian busuk dan onar ini.

Pancasila, agama, dan hukum seperti sudah tak berdaya lagi mengatasi masalah kriminal ini. Sebagai catatan terakhir, tatap jugalah panorama ini dengan mata batin: kaum miskin memang masih bisa tersenyum, senyum dalam kegetiran.

Seperti senyumnya tukang tambal ban dan senyum penghuni gubuk di Sumpur Kudus. Kemajuan sejak kita merdeka memang sudah banyak di negeri ini, tetapi jumlah anak bangsa yang berada di pinggir masih bersama kita dalam jumlah jutaan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat