Suasana pemukiman padat penduduk di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Senin (13/9/2021). | Republika/Thoudy Badai

Opini

Urbanisasi yang Gagal

Urbanisasi yang terjadi di Indonesia bukan disebabkan kenaikan kualitas SDM berkat perbaikan kapasitas tenaga kerja.

AZHAR SYAHIDA, Peneliti di Center of Reform on Economicss (CORE) Indonesia

Menapaki akhir 2021, pandemi menyisakan dua keping cerita: baik dan buruk. Kabar baiknya, tahun penuh misteri diyakini lekas berakhir, setidaknya menurut banyak ahli. Kabar buruknya, konon, hal tak terduga masih muncul menjelang masa transisi pemulihan.

Kita tetap harus bersiap. Kendati demikian, seperti pernah penulis tulis di harian ini, pandemi seperti alat rontgen, yang bisa menyibak banyak kekurangan. Satu yang semakin terlihat sepanjang dua tahun ini adalah relasi ketenagakerjaan dan urbanisasi.

Dua relasi yang menarik sekaligus misterius. Satu hal yang kita mafhum, selama pandemi banyak pekerja dirumahkan. Karena harus bertahan hidup, sebagian besar pekerja memutuskan bekerja di sektor informal di perkotaan.

Umumnya, mereka memilih untuk memaksimalkan kemampuan yang ada, misalnya memproduksi makanan rumahan. Menariknya, setelah tekanan pandemi sedikit mereda, sebagian mereka melanjutkan pekerjaan informal itu yang dianggap beromzet cukup lumayan.

 
Pergerakan informalisasi tenaga kerja selama pandemi itu tentu hanya dialami kelompok menengah ke bawah atau yang bekerja dengan pendapatan sedikit di atas upah minimum regional (UMR).
 
 

Selain mereka yang tetap bertahan di kota, pandemi memaksa para perantau pulang kampung. Umumnya, mereka kembali menggarap lahan pertanian keluarga yang sebelumnya dikelolakan kepada orang lain.

Ada juga, yang di kampung memilih tidak bekerja dengan bertahan hidup menggunakan sisa-sisa tabungan.

Pergerakan informalisasi tenaga kerja selama pandemi itu tentu hanya dialami kelompok menengah ke bawah atau yang bekerja dengan pendapatan sedikit di atas upah minimum regional (UMR).

Pekerja yang sudah mapan dan memiliki posisi strategis, cenderung relatif aman dan tak merasakan guncangan.

Persoalannya, apakah informalisasi tenaga kerja yang dialami pekerja di perkotaan itu buruk? Bagi penulis, polemiknya bukan pada informalisasi tenaga kerja, melainkan urbanisasi yang tak mampu menjawab tantangan ketenagakerjaan. Mari kita urai pokok soalnya.

Polemik urbanisasi

Disadari atau tidak, laju urbanisasi di Indonesia lebih didorong  kualitas pekerjaan di perdesaan yang tak menjanjikan. Desa dianggap tak mampu menyediakan pendapatan cukup atau minimal setara dengan perkotaan.

Maknanya, urbanisasi yang terjadi di Indonesia bukan disebabkan kenaikan kualitas SDM berkat perbaikan kapasitas tenaga kerja. Namun, karena kegagalan desa dalam menyiapkan sumber pendapatan yang layak.

 
Disadari atau tidak, laju urbanisasi di Indonesia lebih didorong  kualitas pekerjaan di perdesaan yang tak menjanjikan. Desa dianggap tak mampu menyediakan pendapatan cukup atau minimal setara dengan perkotaan.
 
 

Jika urbanisasi adalah bentuk kekecewaan tenaga kerja dari desa terhadap peluang kesejahteraan yang lebih baik, urbanisasi hanyalah sebuah umpatan kegagalan.

Kegagalan desa tentu tidak sendirian menjadi polemik urbanisasi karena perkotaan sebagai tujuan urbanisasi, juga belum siap menerima tenaga kerja dari perdesaan karena keterbatasan investasi dan infrastruktur, sehingga dampak urbanisasi tak maksimal.

Angka-angka statistik dapat dilihat sebagai acuan fenomena ini. Di Indonesia, hitung-hitungan World Bank (2016) menunjukkan, setiap satu persen pertumbuhan urbanisasi berkorelasi dengan empat persen pertumbuhan PDB per kapita.

Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan India, Cina, dan Thailand. Di ketiga negara tersebut, setiap kenaikan satu persen PDB berkorelasi dengan kenaikan PDB per kapita masing-masing sebesar 13 persen, 10 persen, dan 7 persen.

Padahal, laju urbanisasi di Indonesia yang mencapai 4,1 persen per tahun, disebut-sebut yang tercepat dibandingkan negara-negara lain di Asia (World Bank, 2016). Tentu ini polemik dasar yang harus diselesaikan secara serius.

Jalan keluar

Kondisi urbanisasi yang tak sehat itu, perlu disadari dan dicarikan jalan keluar. Tentu, ini terkait paradigma kebijakan pembangunan yang sifatnya teknokratis.

Karena sektor pertanian adalah tulang punggung perdesaan, maka mesti disiapkan menjadi penahan laju urbanisasi yang gagal itu. Tentu kita tahu, mayoritas tenaga kerja di perdesaan yang berbondong ke kota dahulunya bekerja di lahan-lahan pertanian.

 
Padahal, laju urbanisasi di Indonesia yang mencapai 4,1 persen per tahun, disebut-sebut yang tercepat dibandingkan negara-negara lain di Asia (World Bank, 2016). Tentu ini polemik dasar yang harus diselesaikan secara serius.
 
 

Kendati, ada juga yang sebelumnya menempuh pendidikan tinggi di perkotaan dan memutuskan tidak pulang kampung karena proyeksi masa depan petani yang tidak menggiurkan.

Persoalan pokok sektor pertanian yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat desa terletak di tahap hilir, yakni ketika produk petani bertemu dengan harga pasar.

Petani begitu rentan ketika membicarakan harga jual, di sisi lain pemerintah selalu menggaungkan jargon swasembada pangan. Petani diminta meningkatkan produktivitas, tetapi tidak diimbangi harga jual memadai.

Ini bukan kabar sehari dua hari lalu, melainkan sejak 1980-an persoalan harga produk pertanian lokal dikesampingkan pemerintah.

Sampai aras ini, setidaknya pemerintah selalu berbicara swasembada pangan tanpa memperhatikan kualitas hidup petani. Padahal, faktor terakhir soal kualitas hidup petani adalah yang memengaruhi arus urbanisasi.

Seperti halnya alasan urbanisasi yang datang dari kekecewaan warga desa, membiarkan urbanisasi yang gagal sebagai cerita baik adalah kekeliruan besar. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat