Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Kisah Dalam Negeri

Semeru, Surutnya Pamor Diponegoro, dan Ratu Adil Baru

Mereka meninggalkan Semeru yang dipuja-puji Coolen, yang berada sekitar 114 kilometer di timur laut Ngoro.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Polisi kolonial Hindia Belanda mencatat, Sukarno pernah menggunakan nama Gunung Tangkuban Parahu untuk membangkitkan semangat para pemuda di Bandung. Kata Sukarno, “Beri aku 100 sampai 1.000 orang tua, akan kupindahkan Tangkuban Parahu, tapi beri aku 100 sampai 1.000 pemuda, akan kuguncang dunia.”

Namun, ucapan menggugah itu kalah populer dengan ucapan lain di Surabaya. Sukarno menggunakan nama Semeru. “Seribu orang tua dapat memindahkan Semeru, tapi 10 pemuda dapat mengguncangkan dunia,” kata Sukarno.

Sebenarnya, ketika 1.000 orang tua sudah memindahkan Semeru, paku bumi telah dicabut. Itu akan membuat bumi guncang. Jadi, tak ada gunanya lagi mencari 10 pemuda untuk mengguncang dunia.

Dalam mite Jawa, Semeru adalah punjering buwono. Pasaknya bumi. Pakunya bumi. Disebut sebagai pasak bumi karena Semeru adalah pucuk Mahameru. Diambil oleh Dewa Wisnu dan Dewa Brahma, lalu ditancapkan di Pulau Jawa sehingga gonjang-ganjing di Jawa berhenti.

Sementara itu, Tangkuban Parahu bukan paku bumi. Tangkuban Parahu tercipta dari perahu yang ditendang oleh pemuda Sang Kuriang yang sedang marah. Perahu tersebut jatuh terbalik. Ada 10 pemuda seperti Sang Kuriang, akan tercipta Tangkuban Parahu.

Semeru dikenal sebagai gunung tertinggi di Jawa. Maka, di masa lalu, ketika gunung ini batuk-batuk saja, dipercaya membuat gonjang-ganjing kehidupan. Semeru juga dipercaya memberi kemakmuran.

CL Coolen memanfaatkan hal ini untuk merekrut orang-orang Jawa agar beralih ke ajaran yang ia bawa. Ia lahir di Semarang pada 1773 berayah dari Rusia dan beribu dari bangsawan Solo. Untuk mengajarkan agama Kristen, ia memberanikan diri membuka hutan di Ngoro, sekitar 84 kilometer dari Surabaya.

Di lahan baru itulah ia membuka perkampungan dan sawah. Izin buka hutan yang statusnya sebagai lahan sewa, mencapai 142 hektare.

Ngoro terletak di Mojoagung (sekarang masuk wilayah Jombang), sekitar 70 km dari Surabaya. Jarak ini saat itu memerlukan waktu tempuh selama dua hari (sekitar 20 jam) dengan berjalan kaki.

Coolen mendapatkan izin pembukaan hutan dari Gubernemen pada 12 Maret 1829, ketika Perang Diponegoro mulai surut dan penolakan pemerintah kolonial terhadap masuknya misionaris ke masyarakat Jawa masih kuat.

Pemberontakan Diponegoro itu telah membuat pemerintah kolonial berpikir tentang efek pemberitaan Injil di masyarakat Jawa. Diponegoro muncul dalam benak masyarakat Jawa sebagai Imam Mahdi yang akan menyelamatkan Tanah Jawa dari cengkeraman Belanda.

Coolen memahami psikologi ini, sehingga lewat budaya/mistik Jawa, ia memasukkan nama Yesus Kristus sebagai juru selamat baru. Saat ia membajak sawah, misalnya, seperti kebiasaan petani Jawa, ia juga melantunkan tembang macapatan yang ia gubah sendiri:

Gunung Semeru kang winarni

tenger tanah pulo Jawi

tetepo anggen kawulo tetani

ing karemenane Sri-Sedono kang warni pari

Ingkang ngideni Allah ingkang mohosuci

Iyo ilahailellah Yesus Kristus Roh Allah

(Gunung Semeru laksana

tiang pulau Jawa

semoga aku dapat senantiasa bertani

sebagai kesukaan Dewi Sri-Bambang Sedono berupa padi

yang mengaruniaku yaitu Allah yang kudus

yaitu Allah yang esa Yesus Kristus Roh Allah)

 Di Ngoro, sekitar 23 kilometer dari Mojoagung, Coolen beserta keluarga barunya dan pengikutnya tinggal di gubuk-gubuk bambu. Ia bangun gereja dan sawah ia bagi-bagikan. Dari Gunung Semerulah air mengalir mengairi sawah masyarakat Jawa Timur.

Karena itu, memanfaatkan mistik Jawa, Coolen memanjatkan doa kepada dewa yang menghuni puncak Semeru, kemudian kepada Dewi Sri sebagai dewi padi, dan kemudian kepada Yesus.

Nanyian Coolen itu menginspirasi petani-petani lain. Pelan-pelan, pemberitaan Injil berlangsung secara tersamar. Ngoro menjadi desa Kristen pertama di Jawa Timur.

Di Ngoro padi melimpah, sehingga lumbung selalu terisi penuh. Kabar makmurnya Ngoro membuat orang-orang terus berdatangan untuk bergabung di sekitar Ngoro dan menyewa lahan kepada Coolen.

Hingga akhirnya, pada 16 Mei 1848, Gunung Kelud --sekitar 40 kilometer di selatan Ngoro-- meletus. Warga Ngoro ikut panik dengan adanya awan debu, lalu mendatangi Coolen. Coolen segera mengajak berdoa. “Bertelutlah anak-anakku, bertelutlah. Marilah kita berdoa kepada Allah. Tiada celaka akan menimpa Ngoro.” Dan, lahar Kelud tak sampai Ngoro.

Meski pada 1850 Ngoro diterjang banjir dengan kerugian mencapai 40 ribu gulden, Ngoro cepat bangkit. Pada 1852, padi di Ngoro sudah melimpah lagi. Coolen bisa menjualnya dengan harga murah untuk membantu kelaparan yang melanda daerah lain di Jawa Timur.

Coolen juga menggunakan wayang, tari, dan gamelan untuk menyampaikan ajaran Injil, dibalut mistik Jawa. Inilah yang membuat kekristenan orang-orang Ngoro tidak diakui. Beberapa pengikut Coolen kemudian pergi ke Johannes Emde untuk pembaptisan. Oleh Emde mereka diantar ke pendeta protestan di Surabaya, AW Meijer.

Pengikut Coolen yang telah menjadi pemimpin di Ngoro --Singotruno, Tosari, Kunto, dan Ditotruno— setelah dibaptis pada 12 September 1844 mengganti nama, masing-masing menjadi Yakobus, Paulus, Eliasar, dan Abisai. Meski dilarang Coolen, banyak yang mengikuti jejak mereka. Karena sudah dibaptis, mereka kemudian merasa leluasa menggunakan pakaian Eropa.

Pada saat kebaktian Minggu di Ngoro, mereka ditegur Coolen dan mereka pun meninggalkan Ngoro. Periode 1844-1850 ada ratusan pengikut Coolen yang meninggalkan Ngoro. Meninggalkan Semeru yang dipuja-puji Coolen, yang berada sekitar 114 kilometer di timur laut Ngoro.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat