Sejumlah buruh dari berbagai serikat buruh berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (25/11/2021). Mereka mendesak pemerintah mencabut UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan buruh. | REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA

Opini

Sekali Lagi Omnibus Law

Putusan MK mengajarkan kita etika hukum bahwa tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara.

WINDI AFDAL; Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran

Akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan terkait pengujian formal UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Amar putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada pokoknya menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Putusan ini cukup mengejutkan di tengah skeptisme terhadap objektivitas hakim MK pascarevisi UU MK yang disahkan menjelang akhir pembahasan RUU Cipta Kerja.

MK tentu berharap ini memutus keraguan sekaligus memenuhi ekspektasi masyarakat yang selama ini kritis dan menolak UU Cipta Kerja. Tulisan ini bermaksud mengulas apa maksud dan implikasi putusan tersebut.

Pengujian formal

Pertama, perlu kita pahami, pengujian UU (PUU) yang diajukan pemohon merupakan pengujian formal, bukan materiel.

 
Pertama, perlu kita pahami, pengujian UU (PUU) yang diajukan pemohon merupakan pengujian formal, bukan materiel.
 
 

Hans Kelsen mengelompokkan pengujian formal sebagai salah satu pengujian norma abstrak yang lazimnya dilaksanakan lembaga peradilan yang didesain sebagai court of law.

Konsep pengujian yang dilakukan lembaga peradilan dalam pengujian norma abstrak berbeda dari segi objek perkaranya dengan pengujian norma konkret sebagaimana dipraktikkan lewat lembaga banding dan kasasi serta peradilan tata usaha negara.

Pengujian formal juga memiliki fokus pemeriksaan berbeda dari pengujian materiel. Pengujian materiel menitikberatkan apakah substansi satu UU bertentangan dengan UUD. Pengujian formal fokus apakah proses dan tata cara pembentukan UU sesuai UUD.

Maka, jika MK menyatakan suatu UU tak memenuhi syarat formal, seyogianya keseluruhan dari produk peraturan perundang-undangan itu tak memiliki kekuatan mengikat.

Dalam konteks ini, menarik menelaah batu uji apa yang digunakan, sementara UUD tak memuat pengaturan teknis dan terperinci proses dan standar baku pembentukan peraturan perundang-undangan. Ini dijawab putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009.

Sepanjang UU, tata tertib produk lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formal-prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, peraturan itu dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formal.

 
Maka, jika MK menyatakan suatu UU tak memenuhi syarat formal, seyogianya keseluruhan dari produk peraturan perundang-undangan itu tak memiliki kekuatan mengikat.
 
 

Maka, UU No 12 Tahun 2011 juncto UU No 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) dapat jadikan batu uji dalam pengujian formal UU Cipta Kerja.

Jika dicermati, MK memutus, pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tak punya kekuatan hukum mengikat sepanjang waktu dua tahun sejak putusan dibacakan pembentuk UU tak melakukan perbaikan UU itu.

Selain itu, pemerintah harus mematuhi putusan MK dengan tidak lagi membuat peraturan pelaksana baru dari UU Cipta Kerja sampai dilakukan perbaikan. Pemerintah dilarang memberi segala bentuk konsensi dan keputusan strategis baru.

Bila pembentuk UU tak melaksanakan, seluruh ketentuan dalam UU Cipta Kerja inskonstitusional secara absolut.

Ada beberapa pertimbangan MK dalam putusannya. Pertama, pembentuk UU menyimpang dari tata cara baku dan standar dalam pembentukan UU seperti diatur UUD dan diatur lebih lanjut dalam UU No 12 Tahun 2011.

Kedua, berdasarkan fakta persidangan, MK menemukan perubahan materi muatan UU 11/2020 setelah persetujuan bersama DPR dan Presiden. Tak sekadar teknis penulisan, juga perubahan bersifat substansial, termasuk kesalahan dalam pengutipan.

 
Bila pembentuk UU tak melaksanakan, seluruh ketentuan dalam UU Cipta Kerja inskonstitusional secara absolut.
 
 

Ketiga, berdasarkan fakta persidangan, MK menyimpulkan, tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak memenuhi asas kejelasan tujuan dan rumusan sebagaimana dimaksud Pasal 5 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undagan.

Kita patut mengapresiasi putusan itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dalam kondisi ideal, MK seharusnya berpijak pada watak dasarnya sebagai model negative legislature sehingga putusannya pun haruslah bersifat hitam dan putih.

Namun, di tengah kerasnya pergulatan politik hukum, MK harus mendayung di antara dua karang. Harus diakui, putusan bersyarat ini pilihan kompromis yang menjembatani politik hukum pembangunan pemerintah dan penghormatan pada asas dan prinsip hukum.

Ada yang perlu diperhatikan dalam memperbaiki UU Cipta Kerja. Pertama, jika pemerintah melihat omnibus law sebagai metode krusial dalam penyusunan UU pada masa depan, pemerintah perlu lebih dulu merevisi kembali ketentuan UU No 12 Tahun 2011 sebagai landasan pembentukan peraturan perundang-undangan.

Dalam revisi UU P3 perlu diatur landasan norma, tata cara, dan standar baku pembentukan UU dengan metode omnibus law.

Kedua, berdasarkan ketentuan UU yang mengatur tata cara pembentukan UU dengan metode omnibus law, pemerintah mengajukan RUU baru untuk memperbaiki UU Cipta Kerja sebagaimana amanat putusan MK.

Ketiga, agar tak mengulangi kesalahan maka proses, tahapan, dan prosedur pembentukan RUU perbaikan harus sesuai dan taat pedoman dan standar baku yang disepakati.

Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020 mengajarkan kita etika hukum bahwa tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara. Kita berharap pembentuk UU menarik kebijaksanaan dari putusan ini. Mari sama-sama saksikan Omnibus Law Cipta Kerja, sekali lagi. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat