Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Festival Literasi Digital

Melalui platform digital, setiap penulis bisa menerbitkan sendiri karya mereka.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Salah satu dari tiga butir utama Sumpah Pemuda adalah menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Tantangan pertama untuk mewujudkan itu adalah memasyarakatkan bahasa Indonesia di seluruh penjuru nusantara.

Di perempat awal abad 20, bahasa Belanda masih menjadi alat komunikasi antarbudaya kaum terdidik dan intelektual Indonesia. Sedangkan, di berbagai wilayah di Tanah Air, bahasa daerah masing-masing lebih mendominasi percakapan.

Hingga saat kongres pemuda, tidak sedikit utusan yang hadir juga belum terlalu menguasai bahasa Indonesia yang berakar pada bahasa Melayu. Salah satu alasan mengapa bahasa Melayu dipilih karena bahasa ini tidak mengenal kasta.

Nyaris semua kata dan kalimat mempunyai nilai setara. Dengan pemilihan ini, jelas menunjukkan kesetaraan menjadi salah satu misi Sumpah Pemuda. Sejak saat itu, bahasa Indonesia mulai dipopulerkan dari daerah ke daerah.

 

 
Salah satu alasan mengapa bahasa Melayu dipilih karena bahasa ini tidak mengenal kasta.
 
 

 

Tantangan kedua adalah membuat standardisasi ejaan bahasa Indonesia yang bisa diterima masyarakat. Di awal berdirinya Indonesia, ejaan pertama yang dipakai masih ejaan lama peninggalan Belanda. Butuh waktu cukup lama menyesuaikan ejaan dari masa ke masa.

Tantangan berikutnya, membuat bangsa Indonesia melek literasi. Ini tak mudah. Tahun-tahun awal kemerdekaan, saat dicanangkannya gerakan pemberantasan buta huruf, kondisi penduduk Indonesia 97 persen buta aksara.

Kini, berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), jumlah warga yang buta huruf per 2020 tersisa 2.961.060 jiwa. Jumlah itu turun dibanding data per 2019 yang mencapai 3.081.136 jiwa.

Namun, angka ini masih melebihi dua persen penduduk Indonesia dan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sempat membuat negara kita menempati peringkat keempat buta huruf terbanyak di dunia.

Setelah bisa membaca, tantangan belum selesai. Bangsa ini dituntut bisa membangun minat baca yang tinggi. Hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) menyebut, Indonesia berada di urutan kedua paling bawah untuk minat baca dari 61 negara.

 
Setelah bisa membaca, tantangan belum selesai. Bangsa ini dituntut bisa membangun minat baca yang tinggi. 
 
 

Lima negara dengan minat baca teratas adalah Swedia, Islandia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark. Indonesia di urutan ke-60 disusul Botswana di peringkat terakhir. Salah satu penyebab rendahnya minat baca karena bangsa kita mengenal budaya televisi atau menonton sebelum budaya membaca mengakar.

Saat teknologi televisi di temukan di dunia, minat baca bangsa Eropa, Amerika, Jepang, dan negara maju lainnya sudah mengakar. Sehingga, keberadaan televisi tidak menggerus minat baca.

Perjuangan terus berlangsung sebab di saat kita masih tertatih membangun budaya baca agar bisa mengalahkan budaya menonton televisi, ternyata hadir serangan berikutnya, yaitu masuknya era digital.

Di dunia digital, minat baca tidak hanya diserang televisi yang ada dalam  genggaman. Konten video bebas, aneka rupa permainan, kegiatan belanja daring, dan berbagai aktivitas sangat bersaing atau menggoda untuk mengalihkan siapa saja dari aktivitas membaca.

Berbagai pihak berjuang mengenyahkan krisis minat baca. Dari tahun ke tahun, pejuang literasi muncul dan terus bergerak. Mereka berkarya, menyelenggarakan berbagai program baca tulis, menyalakan dan menebar semangat, serta terus berbagi pengalaman.

Salah satunya, melalui Indonesia Literacy Festival (ILF) yang digelar daring sejak 28 Oktober hingga 1 November 2021.  Lebih  dari 150 komunitas literasi di Tanah Air mengikuti perhelatan akbar yang dibidani Komunitas Bisa Menulis (KBM) dalam merayakan Sumpah Pemuda.

 
Dari tahun ke tahun, pejuang literasi muncul dan terus bergerak. Mereka berkarya, menyelenggarakan berbagai program baca tulis, menyalakan dan menebar semangat, serta terus berbagi pengalaman.
 
 

Komunitas yang sempat mempunyai anggota lebih dari 1,2 juta di media sosial tersebut sudah beberapa waktu ini menghadirkan salah satu aplikasi  kepenulisan pertama yang asli dimiliki anak bangsa untuk meningkatkan minat literasi digital.

Anggota komunitas tak hanya dari berbagai daerah, tapi juga menyentuh penulis dari berbagai kalangan di seluruh penjuru nusantara, bahkan pelosok yang tak terbayangkan akan terjangkau.

Namun, era digital, mengembangkan harapan lebih baik. Para penulis yang dulu merasa nyaris tidak berpeluang muncul, apalagi mengembangkan sayap, kini memiliki amunisi lebih untuk bersaing dengan penulis nasional dari Ibu Kota atau kota-kota besar.

Melalui platform digital, setiap penulis--pemula sekalipun--bisa menerbitkan sendiri karya mereka, kapan saja tanpa melalui birokrasi rumit. Kesempatan bertemu dan membangun audiens pembaca terbuka lebar.

Tentu saja, sederet catatan harus diperhatikan agar kemudahan ini tidak membuat keinginan terus belajar dan menyempurnakan diri menguap.

Lewat Indonesia Literacy Festival, belasan penulis best seller dan sastrawan hadir sebagai narasumber berbagi inspirasi serta pengalaman. Seluruh kegiatan bisa diakses gratis, tidak memerlukan biaya kecuali sedikit kuota. 

Besar keinginan agar Ikhtiar sederhana yang digagas kian memotivasi siapa saja yang mencintai dunia baca tulis untuk mengisi ruang karya yang telah disediakan, alih-alih terus bimbang dan terlalu lama menimbang apa yang harus dilakukan ketika era digital kian menguat di depan mata. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat