Terdakwa Pinangki Sirna Malasari menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (6/1/2021). | Republika/Thoudy Badai

Nasional

Pinangki Akhirnya Dipecat Kejakgung

Pinangki diberhentikan dengan tidak hormat lewat keputusan Jaksa Agung.

JAKARTA — Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin resmi memecat terpidana Pinangki Sirna Malasari sebagai jaksa, maupun sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Kejaksaan Agung (Kejakgung). Pemecatan tersebut tertuang dalam keputusan Jaksa Agung nomor 185/2021 yang diundangkan, Jumat (6/8).

“Dengan keputusan Jaksa Agung tersebut, isinya memberhentikan dengan tidak hormat pegawai negeri sipil atau PNS, atas nama DR Pinangki Sirna Malasari SH, MH,” begitu kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejakgung Leonard Ebenezer Simanjuntak dalam konfrensi pers daring dari Jakarta, Jumat (6/8).

Ebenezer menjelaskan, setidaknya tiga dasar hukum, dan pertimbangan pemecetan Pinangki dengan cara tak hormat tersebut. Dasar utama, terkait dengan putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Dalam putusan nomor 10/Pidsus_TPK/2021/PTDKI 14 Juni tersebut, dikatakan Pinangki terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Yaitu, berupa penerimaan suap dan gratifikasi.

Menurut Ebenezer, dalam putusan majelis hakim tinggi, Pinangki terbukti melakukan tindak pidana kejahatan jabatan. “Di mana putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap atau inkracht,” ujar Ebenezer.

Pertimbangan lainnya, Ebenezer menerangkan, terkait dengan Pasal 87 ayat 4 huruf b Undang-undang Aparatus Sipil Negara (UU ASN), dan Pasal 250 huruf b Peraturan Pemerintah (PP) 11/2017, dan 17/2020 tentang Manajemen ASN. Ebenezer menjelaskan, beleid tersebut mengatur tentang pemberhentian tidak hormat terhadap PNS yang menjalani hukuman penjara atas putusan pengadilan.

“Ditentukan dalam aturan tersebut, PNS diberhentikan tidak dengan hormat apabila dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang inkracht karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan,” terang Ebenezer.

Dengan pertimbangan tersebut, kata Ebenezer, Jaksa Agung Burhanuddin menerbitkan keputusan untuk memecat Pinangki sebagai jaksa maupun PNS di Kejakgung dengan cara tak hormat.

Ebenezer menambahkan, pemecatan ini memastikan polemik tentang penerimaan upah maupun hak tunjangan untuk Pinangki sudah tak lagi ada. Sebab, kata dia, sejak September 2020, Kejakgung sudah tak lagi memberikan hak-hak pengupahan terhadap Pinangki.

“Fasilitas negara yang selama ini melekat bersama Pinangki sebagai pejabat Eselon IV sudah tidak lagi melekat,” kata Ebenezer.

Pinangki sebelumnya adalah jaksa yang menjabat Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan dengan golongan PNS Eselon IV. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta menghukumnya 10 tahun penjara karena terbukti menerima suap dan gratifikasi senilai 500 ribu dolar AS atau setara Rp 7,5 miliar dari janji 1 juta dolar pemberian terpidana korupsi Djoko Tjandra. Hakim juga menyatakan Pinangki melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Putusan dari PN Tipikor ini kemudian berkurang setelah Pinangki mengajukan banding. Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta merabat hukuman Pinangki menjadi hanya empat tahun penjara.

Jaksa penuntutan dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), maupun Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat, menerima pengurangan hukuman tersebut, dengan menyatakan tak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Putusan pun menjadi inkrah.

Pada Senin (2/8) lalu, Kejari Jakpus mengeksekusi Pinangki ke penjara perempuan dan anak Kelas II B di Tangerang, Banten. Eksekusi tersebut setelah publik mengkritik Kejakgung yang hanya menempatkan Pinangki ke Rumah Tahanan (Rutan) Kejakgung, di Kompleks Kejakgung, di kawasan Blok-M, Jakarta Sealtan (Jaksel) tempat Pinangki berkantor sebelum skandalnya mencuat.

Pemecatan Pinangki yang resmi diumumkan pada Jumat (6/8) juga setelah desakan dari Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI). Kordinator MAKI, Boyamin Saiman mengatakan, meskipun Pinangki saat ini sudah berstatus terpidana korupsi, tapi status aparatur sipil negara (ASN) masih melekat pada penerima suap dari Djoko Sugiarto Tjandra tersebut.

Bahkan, kata Boyamin, Pinangki masih mendapatkan upahnya sebagai PNS di Kejakgung. Padahal, kata Boyamin, status hukum Pinangki sudah inkracht dengan telah dilakukan eksekusi ke penjara.

“Pinangki meskipun sudah terpidana, tetapi belum dipecat sebagai PNS. Dan diduga masih mendapatkan gaji 50 persen dari gaji pokok,” ujar Boyamin saat dihubungi, dari Jakarta, Kamis (5/8).

“Padahal, sesuai ketentuan hukum, PNS yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, dan putusannya sudah inkracht, maka langsung diberhentikan dengan cara tidak hormat,” ujar Boyamin menambahkan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat