Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari Batubara saat menjalani sidang lanjutan terkait kasus korupsi dana paket Bantuan Sosial (Bansos) Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek Tahun 2020 di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (28/6/2021). | Republika/Thoudy Badai

Nasional

Juliari Dituntut 11 Tahun

Jaksa mengungkap bantahan orang dekat Julairi karena faktor kesetiaan yang tinggi.

JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menuntut mantan menteri sosial Julairi Peter Batubara dengan hukuman 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Jaksa meyakini Juliari telah menerima suap Rp 32,48 miliar terkait pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 di wilayah Jabodetabek.

Jaksa juga menuntut agar Juliari dijatuhi hukuman uang pengganti Rp 14,5 miliar dan pencabutan hak politik selama empat tahun setelah menjalani pidana pokok. "Menuntut supaya majelis hakim, yang memeriksa dan mengadili, memutuskan, menyatakan, terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi," kata jaksa Ikhsan Fernandi saat membacakan amar tuntutan di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Rabu (28/7).

Jaksa menilai Juliari terbukti menerima Rp 32,48 miliar dari 109 vendor penyedia bansos. Sebanyak Rp 1,28 miliar di antaranta diterima dari Harry van Sidabukke dan Rp 1,95 miliar dari Ardian Iskandar M. Keduanya sudah lebih dulu divonis penjara.

Dalam tuntutan itu, jaksa mementahkan keterangan tiga orang dekat Juliari yang menyebut politisi PDI Perjuangan itu tidak pernah menerima uang komisi (fee) dari vendor bansos. Jaksa menegaskan, menilai dalam persidangan telah terungkap fakta adanya penyerahan uang dari Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso kepada Juliari melalui Eko Budi Santoso, Kukuh Ary Wibowo, dan Selvy Nurbaity.

photo
Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari Batubara menjalani sidang pembacaan tuntutan kasus korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19 secara virtual di gedung KPK, Jakarta, Rabu (28/7/2021). - (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/hp.)

"Meski saksi Kukuh, Eko, dan Selvy masing-masing tidak mengakui pernah menerima uang fee yang diperuntukkan kepada terdakwa," kata Jaksa M Nur Azis.

Matheus dan Adi Wahyono adalah pejabat pembuat komitmen (PPK) pengadaan bansos sembako. Eko Budi Santoso dinilai loyalis Juliari karena pernah menjadi ajudan ayah Juliari dan selanjutnya atas diminta Juliari menjadi ajudan pribadinya selaku Mensos.

Kukuh Ary Wibowo adalah tim sukses dan tenaga ahli Juliari saat ketika Juliari menjadi anggota DPR. Kukuh kembali menjadi tim teknis mensos yang dijabat Julairi. Sementara Selvy Nurbaity adalah sekretaris pribadi Juliari di perusahaan, saat menjadi anggota DPR, dan mensos.

"Keterangan saksi tersebut haruslah dikesampingkan karena semata-mata hanya melindungi dirinya sendiri dan terdakwa," ungkap jaksa.

Jaksa Azis melanjutkan, Juliari telah menentukan adanya fee Rp 10 ribu per paket bansos untuk kepentingan pribadinya atau setidaknya target sejumlah Rp 35 miliar. Juliari juga telah menerima laporan penerimaan fee tersebut dari Adi dan Matheus. Karena itu, uang tunai Rp 14.567.925.635 yang disita KPK dari Matheus adalah hasil pengumpulan fee tersebut.

"Diterima dari para penyedia bansos sembako sebagaimana perintah terdakwa," tambah jaksa.

Jaksa pun meyakinkan hakim bahwa perbuatan Juliari itu tercela dan ironi karena terjadi di tengah penderitaan masyarakat kecil yang terkena dampak ekonomi dari pandemi Covid-19.

Menanggapi tuntutan itu, Juliari menyatakan akan mengajukan nota pembelaan. "Saya akan ajukan pembelaan yang mulia," ujar Juliari. Pengacara Juliari, Maqdir Ismail menambahkan, pihaknya sedang mempersiapkan nota pembelaan tersebut.

Menurut Maqdir, apa yang disampaikan penuntut umum lebih banyak asumsi. JPU dinilai hanya melihat keterangan Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso. "Penuntut umum hanya melihat keterangan Matheus dan Adi tanpa pertimbangan saksi lain," kata dia. Persidangan Juliari akan kembali digelar pada Senin (9/8) dengan agenda pembacaan nota pembelaan terdakwa serta kuasa hukumnya.

Lokalisir

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai KPK harus menuntut maksimal Juliari agar dugaan publik terkait penanganan kasus itu tidak sepenuhnya terkonfirmasi. Selama ini, publik menilai KPK ingin melindungi pelaku lain dalam korupsi bansos.

Berdasarkan catatan ICW, proses penanganan skandal dalam petaka kemanusiaan itu dapat dikategorikan sangat buruk. KPK terindikasi melokalisir perkara agar berhenti pada Juliari, tanpa meraih elit lainnya. Dugaan itu diperkuat dengan proses penggeledahan KPK yang tidak disegerakan sehingga sering kali tidak menghasilkan temuan apapun.

"Dugaannya mengerucut pada dua hal, yaitu kebocoran informasi di internal KPK atau penggeledahan yang tak kunjung dilakukan, padahal izin sudah diberikan oleh Dewan Pengawas," kata peniliti ICW, Kurnia Ramadhana, Senin (27/7).

Diketahui, sejumlah elit PDI Perjuangan ikut terseret dalam korupsi Kemensos. Ketua Komisi III DPR Herman Herry dan anggota Komisi II DPR Ihsan Yunus disebut termasuk pemilik kuota bansos dalam perkara.

Ketua DPC PDIP Kendal, Akhmad Suyuti juga mengakui menerima sejumlah uang untuk kepentingan Pilkada. Namun, ketiga politisi itu baru diperiksa sebagai saksi. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat