Sejumlah jamaah mendengarkan khotbah saat ibadah Shalat Jumat di Masjid Pusdai, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Jumat (4/12/2020). Betapa penting ikhtiar untuk menyemai civic values di kalangan umat melalui kegiatan dakwah | ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA

Opini

Menyemai Civic Values

Betapa penting ikhtiar untuk menyemai civic values di kalangan umat melalui kegiatan dakwah

BIYANTO, Guru Besar UIN Sunan Ampel dan Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

 

Juru dakwah (mubalig) memiliki posisi penting dalam menyemai ajaran agama yang mencerahkan. Tugas ini, bukan hanya melekat pada juru dakwah Islam, melainkan juga penyebar agama lain.

Setiap mubalig dituntut menyampaikan materi dakwah yang menekankan pentingnya berempati pada pemeluk agama dan penganut berbagai paham keagamaan. Pada konteks ini, mubalig berperan dalam menyemai nilai kewarganegaraan (civic values).

Nilai-nilai kewarganegaraan penting untuk menyiapkan pemeluk agama hidup dalam suasana masyarakat majemuk.

Pelibatan juru dakwah dalam menyemai nilai-nilai kewarganegaraan penting sebagai ikhtiar meminimalisasi tumbuh kembangnya pola keberagamaan yang eksklusif di kalangan umat. Dalam berbagai kegiatan dakwah, mubalig harus menebarkan ajaran agama yang inklusif, toleran, dan menghargai keragaman.

Pesan ini penting karena akhir-akhir ini tumbuh kembang berbagai kelompok keagamaan yang mendakwahkan paham: He who is not with me is against me (Orang yang tidak mengikuti saya adalah musuh saya).

 
Dalam berbagai kegiatan dakwah, mubalig harus menebarkan ajaran agama yang inklusif, toleran, dan menghargai keragaman.
 
 

Menurut Ahmad Syafii Maarif (2009), pandangan ini sangat berbahaya karena dapat menghadirkan teror bagi orang lain. Itu karena paham ini mendoktrinkan bahwa orang yang berbeda dengan diri dan kelompoknya sebagai musuh.

Jika paham itu dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, maka akan memicu disharmoni sosial. Dampak model dakwah eksklusif dan tidak ramah perbedaan pasti menjadikan umat tidak siap hidup dalam suasana masyarakat yang majemuk.

Padahal kemajemukan merupakan suatu keniscayaan sehingga harus disikapi dengan positif. Motto nasional kita juga menegaskan: Bhinneka Tunggal Ika. Itu berarti, meski realitasnya negeri ini berbhikena tetapi harus tetap tunggal ika.

Motto nasional itulah yang menjadikan negeri ini tetap bersatu dalam keragaman (unity in diversity). Berkaitan dengan keinginan menumbuhkan civic values, mubalig dapat didorong untuk mentransformasikan ajaran agama yang yang lebih ramah dan empati.

 
Mubalig dapat didorong untuk mentransformasikan ajaran agama yang yang lebih ramah dan empati.
 
 

Melalui materi khutbah dan pengajian, mubalig memegang posisi penting untuk menunjukkan bahwa ajaran agama kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi, pluralisme, dan multikulturalisme.

Hal itu penting karena wacana mengenai tema-tema tersebut masih mengundang perdebatan di kalangan umat beragama. Harus diakui, masih ada pengikut paham keagamaan yang menyatakan bahwa demokrasi adalah kafir karena merupakan produk Barat.

Konsekuensinya, kelompok ini tidak mau terlibat dalam berbagai proses politik, termasuk pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun. Kelompok yang umumnya berideologi transnasional juga mengatakan, produk politik yang dilaksanakan melalui demokrasi harus ditolak.

Pandangan ini tentu berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada era modern. Penanaman nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme juga mendesak karena faktanya masyarakat hidup dalam suasana majemuk dari segi agama, etnis, dan budaya.

Yang dibutuhkan dalam kaitan dengan kondisi masyarakat majemuk adalah sikap toleran dan saling menghormati. Bahkan selalu dikatakan, perbedaan merupakan bagian dari rencana Tuhan (sunatullah).

 
Yang dibutuhkan dalam kaitan dengan kondisi masyarakat majemuk adalah sikap toleran dan saling menghormati.
 
 

Karena itulah Bapak Ilmu Perbandingan Agama sekaligus Menteri Agama Kabinet Pembangunan II, Abdul Mukti Ali (1923-2004), menyatakan pentingnya menyiapkan umat untuk bersepakat dalam ketidaksetujuan (agree in disagreement).

Pandangan Mukti Ali terasa sejalan dengan ajaran yang menyatakan bahwa perbedaan di kalangan umat adalah rahmat. Menurut Muhammad Asad (Leopold Weiss), penulis The Message of the Qur’an (1980), ajaran itu menegaskan bahwa perbedaan akan menjadi rahmat jika yang berbeda adalah orang-orang terdidik.

Sebaliknya, jika perbedaan dialami orang-orang yang tidak berilmu, maka akan terjadi sikap saling menyalahkan. Dampaknya, muncul klaim kebenaran (truth claim) antarpemeluk agama dan penganut paham keagamaan.

Sikap menyalahkan kelompok yang berbeda, apalagi disertai tindakan kekerasan, jelas menodai wajah negeri tercinta yang sejak lama dikenal sangat toleran. Sejauh ini, apresiasi negara lain terhadap praktik kehidupan beragama di Indonesia juga sangat positif.

 
Tak mengherankan ada banyak negara ingin menjadikan Indonesia sebagai rujukan sekaligus laboratorium dunia untuk kehidupan majemuk.
 
 

Karena itulah tidak mengherankan ada banyak negara ingin menjadikan Indonesia sebagai rujukan sekaligus laboratorium dunia untuk kehidupan yang majemuk. Pada konteks inilah kita menyadari betapa penting ikhtiar untuk menumbuhkan civic values di kalangan umat melalui kegiatan dakwah.

Sudah saatnya mubalig menghentikan model dakwah yang menebar ujaran kebencian (hate speech) antarumat beragama dan pemeluk paham keagamaan.Bukankah dakwah seharusnya mengajak dan merangkul?

Spirit ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad Saw yang berpesan agar dakwah dikemas dengan mudah dan tidak mempersulit serta menggembiran dan tidak menakut-nakuti.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat