Gedung yang dibangun pada zaman Hindia-Belanda ini menjadi saksi sejarah saat Presiden Sukarno sebagai anggota BPUPKI berpidato di sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 dengan memperkenalkan lima sila (Pancasila) untuk diusulkan menjadi Dasar Negara Indonesia Me | ANTARA FOTO

Laporan Utama

Warisan Islam dalam Pancasila

Nilai-nilai Islam terdapat pada setiap sila dalam Pancasila.

OLEH ANDRIAN SAPUTRA, MEILIZA LAVEDA

Upaya pendikotomian agama—dalam hal ini Islam—dengan Pancasila belum juga berhenti. Mereka kerap membuat kutub antara kubu agama yang diwakili Islam dan nasionalis dengan menyimbolkan Pancasila. Padahal, Islam dan Pancasila tak bisa dipisahkan, baik dilihat dari sisi sejarah maupun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Lahir dari Toleransi Ulama

 

Peringatan hari lahir Pancasila pada 1 Juni lalu mengingatkan kepada bangsa mengenai besarnya kontribusi ulama. Sejarawan Universitas Indonesia (UI) Prof Anhar Gonggong, mengatakan, Pancasila tidak akan menjadi dasar negara jika toleransi pemimpin Islam tidak berjalan.

Lahirnya Pancasila berawal dari pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 yang diterbitkan menjadi buku pada tahun 1947. Setelah pidato, terjadi pembentukan panitia kecil untuk menyusun dasar negara.

Panitia kecil resmi dipimpin dokter Radjiman Wedyodiningrat sebagai ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Anggota panitia itu terdiri dari delapan orang dengan perbandingan tidak seimbang, yaitu dua orang nasionalis Islami dan enam orang nasionalis sekuler. “Sukarno mengumpulkan 38 anggota BPUPK. Dari 38 anggota itu, ia membentuk panitia kecil berjumlah sembilan orang yang melahirkan Piagam Jakarta,” kata Anhar.

Hasil Piagam Jakarta direncanakan menjadi naskah proklamasi kemerdekaan dan akan menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, sore harinya Mohammad Hatta menerima telepon dari salah seorang staf Laksamana Maeda yang menanyakan apakah bersedia menerima wakil-wakil dari Indonesia timur karena akan menyampaikan suatu hal sangat penting. Menanggapi itu, Hatta segera menjawab “Ya saya terima.”

photo
Sejumlah pemain teater alumni Gajah Mada memainkan teatrikal fragmen sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), saat Kongres Pancasila III di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Selasa (31/5/2016). FOTO ANTARA/M Risyal Hidayat/ed/pd/11 - (ANTARA)

“Mereka non-Islam beragama Kristen Protestan dan Katolik. Mereka menyampaikan adanya penolakan Piagam Jakarta, yakni tujuh kata ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya',” ujar dia.

Dengan begitu, Hatta membentuk sidang pendahuluan dengan pemimpin Islam esoknya sebelum rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang membahas rumusan dasar negara, pembentukan presiden, dan bentuk negara.

Sidang pendahuluan dihadiri oleh beberapa tokoh Islam, seperti Kasman Singodimejo dari Muhammadiyah, Ki Bagoes Hadikoesoemo dari Muhammadiyah, Wahid Hasjim dari Nahdlatul Ulama (NU), dan Teuku Muhammad Hasan dari Muhammadiyah. Mereka diajak masuk dalam satu ruangan dan berdiskusi bersama wakil-wakil dari Indonesia timur.

Dalam buku Memoir Hatta, Hatta mengatakan kurang dari 15 menit hal yang sangat penting bisa diselesaikan. Tujuh kata yang ditolak itu digantikan dengan tiga kata, “Yang Maha Esa” sehingga menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” “Jadi, begitu besar sumbangan para pemimpin Islam terhadap proses di situasi yang sangat genting,” ucap Anhar.

 
Begitu besar sumbangan para pemimpin Islam terhadap proses di situasi yang sangat genting.
ANHAR GONGGONG, Sejarawan
 

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menjelaskan, nilai-nilai Islam terdapat pada setiap sila dalam Pancasila. Hidayat mengatakan, dalam Islam terdapat addaruriyatul khams, yakni lima prinsip dasar ajaran Islam. Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, kelima prinsip itu pun termuat pada masing-masing sila dalam Pancasila.

Pada Sila Pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan prinsip hifdzu din atau menjaga agama. Sila Pertama menolak komunisme atau ideologi anti agama karena tidak sesuai dengan Pancasila.

Indonesia mengenal beragam agama dan toleransi antar umat beragama. Islam pun mengajarkan toleransi menghormati perbedaan agama sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Kafirun. Karena itu, ujar dia, ajaran agama tidak untuk diingkari, dicemooh dan dijadikan olok-olok.

photo
Pengunjung mengamati dokumentasi sidang BPUPKI yang dipamerkan di Museum Nasional, Jakarta, Jumat (2/6/2017). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc/17. - (ANTARA FOTO)

Sila kedua sesuai dengan prinsip menjaga jiwa kehormatan manusia atau hifdzu an nafs. Dia menilai, ketika kemanusiaan terjaga ada nilai keadilan yang terimplementasikan. Islam mengajarkan pentingnya berlaku adil, pentingnya menjaga kehormatan. Karena itu, disyariatkan untuk mengerjakan yang makruf dan dilarang segala kemungkaran yang dapat merendahkan manusia.

Sila ketiga sesuai dengan prinsip hifdzu an nasl, yaitu menjaga keturunan. Ia menjelaskan terjaganya keturunan anak bangsa apabila adanya persatuan.  "Tentu adalah bagian dari ajaran Islam yaitu kita diperintahkan untuk bersatu dan tidak berpecah belah,” jelas dia.

Sila keempat sesuai dengan prinsip hifdzu al aqli atau menjaga rasionalitas akal budi. Menurut Hidayat, rasionalitas dan akal budi menolak individualistik dan egoistik dalam kehidupan yang majemuk. Sebaliknya rasionalitas dan akal budi menghendaki adanya musyawarah, kerakyatan dan saling percaya agar adanya prinsip keterwakilan. 

Sila kelima sesuai dengan prinsip hifdzu al mal atau menjaga kekayaan yang diberikan Allah untuk digunakan bagi kemaslahatan banyak orang sehingga terciptanya keadilan sosial. Sebab itu, Islam mengajarkan zakat yang bertujuan untuk kemaslahatan lebih besar bagi setiap orang.

 
Dalam Islam terdapat addaruriyatul khams, yakni lima prinsip dasar ajaran Islam.
HIDAYAT NUR WAHID, Wakil Ketua MPR
 

Intelektual Nahdlatul Ulama (NU) yang juga pimpinan Pondok Pesantren Al Mizan Majalengka, KH Maman Imanulhaq berpendapat, Pancasila dengan Islam Ahlussunah wal Jamaah Al Nahdliyah telah memperkokoh ideologi bangsa. Menurut dia, bangsa Indonesia sangat  beruntung memiliki Pancasila yang digali oleh para pendiri negara.

Dengan kekuatan Pancasila, Indonesia tetap satu meski terdiri dari berbagai agama, suku bangsa, dan adat istiadat. “Pancasila adalah kalimatu sawa. Kalimat yang menyatukan jiwa kita sebagai bangsa Indonesia," kata kiai Maman.

Ia mengungkapkan saat tengah terjadi pergeseran arah kebijakan dan ideologi politik di negara-negara dunia, Islam Aswaja Al-Nahdliyah tetap kokoh bersanding dengan ideologi Pancasila. Dia menegaskan, hanya Indonesia yang ideologinya tidak pernah berubah semenjak merdeka.

Menurut dia, Pancasila dan Islam Ahlusunnah Waljamaah al-Nahdliyah mampu menangkal berbagai tantangan yang dihadapi bangsa termasuk terorisme dan radikalisme. Hal ini, katanya, membuat Raja Kerajaan Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz Al Saud, datang dan menyaksikan langsung perdamaian di Indonesia.

Ketua PP Muhammadiyah Prof Dadang Kahmad memaparkan, Muhammadiyah berkomitmen untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Sebagaimana muktamar ke-47, Muhammadiyah berpandangan, Indonesia adalah Darul Ahdi Wa Syahadah, yakni negara yang didirikan berdasarkan hasil kesepakatan yang tertuang dalam konstitusi. "Muhammadiyah termasuk yang merumuskan dan juga anggota BPUPKI," kata  Dadang.

 
Indonesia adalah Darul Ahdi Wa Syahadah, yakni negara yang didirikan berdasarkan hasil kesepakatan yang tertuang dalam konstitusi.
PROF DADANG KAHMAD, Ketua PP Muhammadiyah
 

Dadang mengatakan, Muhammadiyah mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila lewat aksi nyata. Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) menjadi bukti nyata bagaimana Muhammadiyah menerapkan setiap sila dalam Pancasila. "Kita punya AUM di seluruh Indonesia sampai ke daerah non-Muslim, “kata dia.  

Dadang menjelaskan, semangat pendiri Muhammadiyah yaitu KH Ahmad Dahlan adalah agar Muhammadiyah menjadi organisasi pemersatu bangsa. Muhammadiyah pun kerap bergerak dalam bidang kemanusiaan melalui MDMC Muhammadiyah, Lazismu, Majelis Pengembangan Masyarakat dan lainnya.

Sebagai kepedulian terhadap bangsa Indonesia, Muhammadiyah turut berkontribusi dalam penanganan pandemi Covid-19. Sekitar Rp 400 miliar lebih dana yang telah dikeluarkan untuk membantu penyelesaian penangan Covid-19. "Kita ingin menegakkan keadilan sosial melalui amal usaha Muhammadiyah yang tersebar dari Sabang sampai Merauke," kata dia.

photo
Pekerja menyiapkan dekorasi untuk persiapan peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Selasa (30/5/2017). Gedung yang dibangun pada zaman Hindia-Belanda ini menjadi saksi sejarah saat Presiden Sukarno sebagai anggota BPUPKI berpidato di sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 dengan memperkenalkan lima sila (Pancasila) untuk diusulkan menjadi Dasar Negara Indonesia Merdeka. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/kye/17. - (ANTARA FOTO)

Bukan Sekadar Label Pancasila

 

Pancasila kerap dipertentangkan dengan organisasi masyarakat dan lembaga pendidikan yang berlabel Islam. Padahal, tidak sedikit dari lembaga ini yang sudah berkontribusi besar untuk negara.

Ketua Umum Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Mohammad Zahri mengatakan, JSIT memandang Pancasila sebagai dasar negara, di mana nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi dasar atau pedoman bagi penyelenggaraan negara. JSIT sebagai organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, katanya, berperan dalam menerapkan Pancasila secara nyata untuk membangun bangsa.  

Ia mengatakan, JSIT berkomitmen kuat untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana amanat UU No 20/ 2003, yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yg demokratis dan bertanggung jawab.

"Tujuan pendidikan nasional ini tentu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Artinya JSIT berkomitmen mewujudkan pendidikan nasional, dapat dipahami bahwa JSIT telah menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pembangunan bangsa melalui dunia pendidikan," kata dia.

 
Tujuan pendidikan nasional ini tentu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
MOHAMMAD ZAHRI, Ketua Umum Jaringan Sekolah Islam Terpadu
 

Zahri melanjutkan, JSIT telah menetapkan salah satu arah kebijakan organisasi hasil Munas ke-4 Tahun 2017, yaitu meningkatkan wawasan kebangsaan dan cinta Tanah Air dalam bingkai 4 Pilar Kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Menurut dia, hal ini berarti JSIT secara organisasi dalam forum tertingginya, yaitu munas telah menetapkan peningkatan wawasan kebangsaan. Arah kebijakan ini berlaku bagi JSIT dan seluruh SIT yang menjadi anggota JSIT.

Munas ke-4 JSIT, kata Zahri, juga memetapkan Ppengokohan struktur organisasi Pramuka SIT. Dia menegaskan, ini semakin mengokohkan peran JSIT dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila melalui kepramukaan. "JSIT tidak punya keraguan sedikit pun bahwa seluruh anggota JSIT, siswa dan guru-guru JSIT adalah orang-orang yang sangat Pancasilais," kata dia.

photo
Petugas keamanan melakukan patroli di area Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat, Jalan Dipati Ukur, Kota Bandung, Selasa (1/6/2021). Nilai-nilai Islam terdapat pada setiap sila dalam Pancasila. Foto: Republika/Abdan Syakura - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Islam (Persis) Ustaz Jeje Zaenudin mengatakan dalam pandangan Persis, Pancasila yang telah dirumuskan dan disepakati para pendiri bangsa tidak untuk dipertentangkan atau memusuhi agama. Keberadaan Pancasila, paparnya, untuk mewadahi inspirasi dan aspirasi agama yang dianut bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim.

Menurut dia, prinsip-prinsip universal dari agama menjadi fondasi filosofis dalam pembangunan bangsa baik lahir maupun batin yang dirumuskan dalam bentuk lima falsafah dasar negara. "Karena itu, penerapan Pancasila secara konkret dalam pembangunan bangsa bagi kami di antaranya mewujudkan nilai-nilai ketauhidan Islam dalam segala aspek kehidupan,” tegas dia.

 
Penerapan Pancasila secara konkret dalam pembangunan bangsa bagi kami di antaranya mewujudkan nilai-nilai ketauhidan Islam di segala aspek.
JEJE ZAENUDIN, Wakil Ketua Umum PP Persis
 

Nilai-nilai tersebut, yakni prinsip tauhid yang membawa perilaku hidup bangsa hanya menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tidak menjadikan berhala apa pun sebagai saingan tuhan, termasuk harta benda dan kekuasaan. Dengan prinsip tauhid yang benar, dia menegaskan, umat dan bangsa ini jauh dari sikap rakus kekuasaan dan praktik korupsi.

Ustaz Jeje menjelaskan dengan tauhid, Persis mengajarkan umat tentang kesatuan asal-usul manusia sebagai makhluk mulia ciptaan Allah SWT. Dengan begitu, tertanam kesadaran tentang pentingnya menjaga kesatuan dan persatuan di tengah maraknya perbedaan.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by BPIP RI (bpipri)

Dia menjelaskan, dengan membangun kesadaran dalam menerapkan ajaran Islam yang berbasis secara ketat kepada Alquran dan sunah di lingkungan internal, ujar dia, dapat merealisasikan perilaku yang adil dan beradab terhadap sesama dan lingkungan sekitarnya.

"Dengan cara demikian tanpa gembar-gembor 'kami Pancasilais', sebenarnya tujuan pancasila dalam membangun bangsa yang berketuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, serta upaya mewujudkan kesatuan dan persatuan Indonesia telah terbangun dan terlaksana dalam praktik kehidupan kaum Muslimin," kata dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat