Seorang warga India menangis saat berada di dalam pusat perawatan dan isolasi Covid-19 miliki rumah sakit yang berada di dekat New Delhi, 10 Mei 2021.Bersamaan upaya India melawan pandemi, mencuat rivalitas dua raksasa ekonomi; AS dan Cina. | EPA-EFE/IDREES MOHAMMED

Kabar Utama

Rivalitas di Gelombang Pandemi

Bersamaan upaya India melawan pandemi, mencuat rivalitas dua raksasa ekonomi; AS dan Cina.

OLEH AGUNG P VAZZA

 

India, beberapa pekan terakhir, menjadi pusat perhatian dunia. Gelombang kedua pandemi tiba-tiba datang bagai tsunami. Jutaan terinfeksi virus, ratusan ribu warga India wafat.

Rumah-rumah sakit kehabisan ruang perawatan, peralatan medis termasuk persediaan oksigen krisis, bahkan pemakaman dan tempat kremasi pun tak lagi mencukupi. Tingat infeksi virus per hari di India terus menjadi yang tertinggi di dunia. Banyak negara pun menolak masuk warga India.

Semua berawal ketika pemerintah India berhasil menekan angka infeksi dari 100 ribuan per hari pada September 2020 menjadi di bawah 10 ribu pada Februari 2021. Sejak itu, mobilitas di negara itu kembali normal. Aktivitas pemerintahan dan bisnis, serta kegiatan masyarakat kembali ke rutinitas sebelum pandemi.

Merasa berhasil mengendalikan pandemi, pemerintah India pun melanjutkan agenda politik berupa kampanye pemilu dengan mengumpulkan massa. Begitu pula dengan kegiatan keagamaan. Semua dilakukan nyaris melepas, mengabaikan, protokol kesehatan seolah virus bukan lagi ancaman.

Prediksi dan proyeksi perekonomian India pun menjulang. Dana Moneter Internasional (IMF) mempublikasikan proyeksi terbarunya, perekonomian India tahun ini tumbuh sampai 12,5 persen.

photo
Anggota keluarga menangis saat saudaranya akan dikremasi yang meninggal akibat Covid-19, di New Delhi, India, 10 Mei 2021. - (EPA-EFE/IDREES MOHAMMED)

S&P Global Rating serupa, memprediksi pertumbuhan 11,8 persen bagi India. Asian Development Bank (ADB) dalam Asian Development Outlook (ADO) 2021 yang dipublikasikan pekan lalu, bahkan masih memproyeksikan pertumbuhan India selama tahun fiskal 2021, sampai akhir Maret 2022, juga mencapai 11 persen.

India memang tercatat sebagai motor penting perekonomian global, sehingga pemulihan perekonomian di negara tersebut dinilai membawa dampak positif bagi pertumbuhan global dan tentunya juga banyak negara lain. Namun, terjadinya tsunami pandemi saat ini agaknya mendorong lembaga-lembaga tadi untuk merevisi kembali proyeksi-proyeksi tersebut.

 
Tsunami pandemi agaknya mendorong lembaga-lembaga perekonomian global untuk merevisi kembali proyeksi pertumbuhan ekonomi India.
 
 

 

S&P bahkan sudah merevisi turun pertumbuhan India menjadi 10 persen. IMF dan ADB belum memberikan revisi, tapi sudah mulai pula memperhitungkan gelombang kedua pandemi yang memaksa pemerintah India kembali menerapkan lockdown secara nasional.

Beban kesehatan, anjloknya rata-rata vaksinasi, serta belum terlihat strategi baru mengendalikan pandemi, ditengarai menjadi alasan utama revisi menurun pertumbuhan India. Khusus vaksin, India tercatat sebagai salah satu produser vaksin terbesar dunia.

Namun, ketika meyakini sudah mampu mengendalikan pandemi, jumlah vaksin yang diekspor mencapai 60 juta, jauh lebih banyak dibanding 54 juta vaksin yang disuntikkan bagi warga India sendiri.

Kini, gelombang kedua pandemi diprediksi memperlambat pemulihan ekonomi India, dan berisiko pula bagi pemulihan ekonomi global, mungkin juga negara lain. 

Kekhawatiran atas risiko-risiko itu pula yang agaknya mendorong banyak negara berbondong-bondong memberi bantuan ke India. National Herald India menyebutkan berdasar sumber resmi tercatat Inggris, Amerika Serikat (AS), Prancis, Irlandia, Australia, Jerman, Arab Saudi, Singapura, Hong Kong, Thailand, dan Uni Emirat Arab, sudah mulai mengirim bantuan peralatan dan perlengkapan medis, terutama oksigen.

Indonesia, meski masih mempertimbangkan berbagai aspek, namun Kementerian Perindustrian seperti dikutip Antara, 27 April lalu, juga berencana mengirim bantuan tabung oksigen ke India.

Bukan hanya bantuan atas nama pemerintahan, kalangan swasta pun bergerak bersama membantu India, dimotori US-India Business Council, Kamar Dagang dan Industri AA, bersama US-India Strategic and Partnership Forum and Business Roundtable, membentuk satgas khusus. 

Sekitar 40 CEO perusahaan AS bekerja sama memobilisasi sumber daya untuk membantu India melawan pandemi. Bantuan pun tak jauh dari perlengkapan dan peralatan medis, termasuk oksigen dan vaksin. Menurut Menlu AS, Antony Blinken, dikutip Business Today India, satgas untuk mengatasi krisis di negara lain ini menjadi yang pertama di dunia.

Rivalitas

Meski banyak negara juga membatasi, bahkan melarang masuknya warga India. Namun respons cepat banyak negara untuk membantu krisis kesehatan di India cukup mencerminkan solidaritas global.

Bahkan sebagian kalangan menyebutkan rontoknya sistem kesehatan publik di negara tersebut menilainya sebagai krisis kemanusiaan global. Mungkin, solidaritas seperti ini  memang seharusnya terlihat lantaran membuktikan betapa saling terkaitnya setiap negara secara global.

Hanya saja, bersamaan dengan upaya hampir semua negara menyiapkan bantuan untuk India, aroma rivalitas pengaruh dua raksasa ekonomi dunia, tetap muncul. Apa lagi kalau bukan rivalitas AS dan Cina, yang bahkan juga melibatkan India. Kali ini, rivalitas tak terlalu terkait dengan kebijakan ekonomi, tapi justru mengenai bantuan bagi India.

Awal bulan ini, dipaparkan CNN, India meminta AS mencabut hambatan ekspor bahan mentah vaksin untuk membantu negara-negara Asia Selatan menghadapi pandemi. Washington menolak dengan alasan mengutamakan vaksinasi bagi warga Amerika. Respons AS ini mendapat sambutan negatif dari banyak kalangan di India, yang memang sedang sangat membutuhkan vaksin, juga kritik internasional.

Kritik paling keras, mudah diterka, dilontarkan Cina. Media-media Cina menayangkan pandangan yang menyebut respons AS tersebut sebagai sikap egois dan mengganggu upaya global terkait distribusi vaksin yang sangat dibutuhkan negara-negara berkembang.

Sejak awal pandemi menyebar di Wuhan, Cina memang berupaya mengambil posisi sebagai yang terdepan dalam membantu negara lain, termasuk India. Dalam situasi ini, India justru tidak menanggapi serius tawaran bantuan Cina. Penolakan tersebut ditengarai mencerminkan adanya distrust antara kedua raksasa ekonomi Asia itu. 

photo
An Seorang warga Muslim India membantu mengenakan masker sesaat sebelum shalat Jumat terakhir di bulan Ramadhan di Masjid Mecca di Hyderabad, India, Jumat (7/5/2021). - (AP/Mahesh Kumar A)

Sikap India tersebut dinilai banyak kalangan cukup mengejutkan lantaran ketika awal pandemi menyebar pada 2019, India termasuk salah satu negara yang mengirim bantuan perlengkapan medis ke Wuhan, Cina. Memang sejak itu, hubungan kedua negara terus memburuk secara cepat, terutama lantaran konflik perbatasan di Himalaya. Juni lalu, kedua negara bahkan terlibat kontak senjata pertama di perbatasan, setelah lebih dari 40 tahun.

 
India agaknya lebih memilih mendekat ke Washington, yang memandang India sebagai mitra kunci di Asia.
 
 

India agaknya lebih memilih mendekat ke Washington, yang memandang India sebagai mitra kunci di Asia terutama guna menghambat besarnya pengaruh dan ambisi Cina di kawasan. Sikap ini juga sekaligus menguatkan komitmen India dalam 'The Quad', aliansi informal mencakup India, AS, Australia, dan Jepang.

Begitupun, media-media yang didukung pemerintah Cina tak berhenti. Kritik terus dilontarkan, tidak hanya pada India tapi juga ke AS. Washington disebut-sebut sebagai mitra yang tidak bisa dipercaya dan hanya menjadikan India sebagai bidak, seperti tisu yang begitu saja dibuang setelah tak diperlukan.

India pun 'terbelah'. Sebagian kalangan membenarkan kritik Cina, namun sebagian lain justru mempersepsikan tawaran bantuan Cina sebagai upaya mengambil keuntungan dari krisis sekaligus melemahkan hubungan India dan AS.

 
AS sempat menolak permintaan bantuan India. Cina mengecam AS dan siap membantu India, tapi India menolak.
 
 

Mendapat kritikan baik di India maupun internasional, AS pun mengubah sikapnya. Terutama setelah CNN juga mengabarkan terjadi komunikasi lewat telepon antara Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri India Narendra Modi.

Dalam kesempatan itu, Biden menegaskan dukungan dan bantuan penuh AS untuk menyediakan bantuan dan sumber daya dalam mengendalikan pandemi. Cina pun agaknya mencoba melakukan komunikasi, namun disebut tidak mendapat mendapat respons.

Berhentikah Cina? Tidak. Dalam sebuah pertemuan daring, Beijing menegaskan sedang menyiapkan 'cadangan bantuan darurat' bagi negara-negara Asia Selatan, termasuk Aghanistan, Pakistan, Nepal, Srilanka, dan Bangladesh.

 
Kami berharap, apa yang sedang disiapkan juga bisa membantu India melawan pandemi.
WANG YI, Menteri Luar Negeri Cina
 

India diundang dalam pertemuan itu, namun tidak hadir. "Kami berharap, apa yang sedang disiapkan juga bisa membantu India melawan pandemi," ungkap Menteri Luar Negeri Cina, Wang Yi, dilansir CNN.

India jelas memiliki kebebasan untuk memilih bantuan dari negara mana yang bakal diterima guna melawan gelombang kedua pandemi. Dan pastinya, secara global, pandemi belum mereda. Situasi dan kondisi di India, terutama terkait meroketnya kasus pandemi, merupakan pelajaran terbaik bagi negara lain, dalam upaya meredam pandemi.

Tak terkecuali Indonesia yang bersiap memasuki hari besar keagamaan, dan dengan potensi serta prospek ekonomi besar, sangat mungkin menjadi ajang rivalitas raksasa ekonomi dunia yang justru menyulitkan.

Kontribusi publik tak pelak menjadi kunci penting, sesederhana memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mencuci tangan. Pesan dari India, sosial maupun ekonomi, sangat jelas; 'none of us will be safe until everyone is safe'.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat