Kabar Utama
Presiden: Jangan Berhenti Belajar Meski Pandemi
Presiden mengakui, masih ada banyak kekurangan di sektor pendidikan.
JAKARTA -- Presiden Joko Widodo punya pesan khusus untuk para murid, guru, dan tenaga kependidikan lain dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2021. Dalam podcast (siniar) edisi Hardiknas bersama dengan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim, Presiden Jokowi meminta para guru dan murid agar tidak berhenti belajar meski pandemi Covid-19 membatasi ruang gerak.
"Justru gunakan untuk belajar saat ini secara mandiri dan menjadi pembelajar sejati. Ilmu dari sekolah atau dari kampus, suatu saat bisa usang. Tapi, kalau selalu belajar, sepanjang zaman ini akan terus bisa relevan," ujar Jokowi dalam siniar edisi Hardiknas, Ahad (2/5) petang.
Jokowi juga menyampaikan makna peringatan Hardiknas dari sudut pandangnya. Menurutnya, Hardiknas adalah momen untuk terus mengingat dan mempraktikkan semangat Ki Hajar Dewantara dalam memerdekakan manusia melalui pendidikan.
Dalam kesempatan tersebut, Jokowi mengakui, adanya pandemi Covid-19 dalam satu tahun terakhir justru membuka mata pemerintah bahwa masih banyak kekurangan di sektor pendidikan. Sejumlah tantangan besar yang terpampang jelas selama pandemi, antara lain, kesenjangan digital antarsiswa ataupun antardaerah dan akses internet yang tidak merata di setiap wilayah.
Ada juga persoalan mengenai akses guru berkualitas yang juga belum rata hingga penganggaran di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tidak memprioritaskan daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) di Indonesia. "Jadi ketahuan semua karena pandemi ini. Dan ini jadi koreksi kita dan jadi bahan evaluasi kita untuk kita perbaiki," ujar Jokowi.
Pandemi, ujar Jokowi, memang memaksa para guru, tenaga kependidikan, dan murid untuk bisa melompat jauh dalam beradaptasi dengan teknologi digital. Ia mengakui, adaptasi dalam menjalankan pembelajaran jarak jauh bukan hal mudah. Pemerintah, kata Presiden, memiliki tanggung jawab untuk membuat pembelajaran bisa tersampaikan dengan baik, khususnya untuk level pendidikan dasar.
"Dan kondisi pandemi ini kita manfaatkan untuk evaluasi, mengoreksi total dunia pendidikan kita. Pandemi juga jangan menjadi penghalang untuk mencapai kemajuan," kata Jokowi.
Pandemi juga jangan menjadi penghalang untuk mencapai kemajuan.
Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makarim mengatakan, pandemi memberikan tantangan besar bagi seluruh ekosistem pendidikan nasional. Namun, ada sisi positif yang bisa diambil, yakni lompatan besar bagi seluruh insan pendidikan dalam mempelajari berbagai platform teknologi digital.
"Belum pernah kita melihat jumlah guru yang hari ini terpaksa untuk mempelajari berbagai macam platform pendidikan. Itu kalau nggak ada pandemi nggak mungkin, Pak, bisa 10 tahun kita mencapai itu. Tapi karena pandemi, jumlah guru dan orang tua yang belajar teknologi luar biasa," kata Nadiem.
Merdeka Belajar
Dalam upacara Hardiknas 20201 pada Ahad pagi, Nadiem mengatakan, program Merdeka Belajar akan terus berlanjut dengan terobosan-terobosan lainnya. Sampai saat ini, sudah ada 10 episode yang diluncurkan dalam program Merdeka Belajar.
Ia mengatakan, ada empat upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan dengan program Merdeka Belajar. Pertama, perbaikan pada infrastruktur dan teknologi. Kedua, perbaikan kebijakan, prosedur, dan pendanaan, serta pemberian otonomi lebih bagi satuan pendidikan.
Program ketiga, kata Nadiem, adalah perbaikan kepemimpinan, masyarakat, dan budaya. "Adapun yang keempat merupakan perbaikan kurikulum, pedagogi, dan asesmen," katanya.
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai, program Merdeka Belajar belum menyentuh persoalan riil sekolah, guru, dan kualitas pendidikan secara umum. Menurut Dewan Pakar P2G Anggi Afriansyah, sejumlah episode Merdeka Belajar yang sudah diluncurkan terkesan parsial.
Kendati demikian, ada beberapa program yang patut diapresiasi, seperti penghapusan ujian nasional, relaksasi dan realokasi dana bantuan operasional sekolah (BOS), dan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang diperluas untuk siswa dan guru.
Namun, Anggi mengungkapkan, ada lebih dari 70 persen ruang kelas pada setiap jenjang pendidikan kondisinya rusak ringan/sedang maupun rusak berat berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2020. Kemudian, ada 20,10 persen sekolah pada jenjang pendidikan SD tidak memiliki sumber air layak atau tidak memiliki sumber air.
Kesenjangan angka partisipasi murni (APM) antardaerah perkotaan dan perdesaan juga masih besar, makin tinggi jenjang pendidikan makin tinggi pula kesenjangannya. "Begitu pula dengan rata-rata lama sekolah (RLS), masih di angka 8,90 tahun. Artinya, rata-rata anak Indonesia bersekolah hanya sampai kelas sembilan SMP," kata Anggi.
View this post on Instagram
Wakil Ketua Komisi X DPR dari Fraksi PAN Dede Yusuf menyoroti permasalahan guru pada Hardiknas 2021, mulai dari kesejahteraan hingga penyebaran guru di berbagai daerah. "Kesejahteraan guru terutama honorer, kemudian data pendidikan yang masih belum optimal, lalu penyebaran guru terutama di wilayah 3T, dan infrastruktur sekolah yang masih banyak tertinggal," ujar Dede saat dihubungi, Ahad (2/5).
Menurutnya, permasalahan guru masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Padahal, guru adalah sosok yang berperan paling penting dalam pendidikan di Indonesia. "Jadikan guru sebagai pekerjaan berdaulat dan terhormat," ujar Dede.
Ia juga mendorong adanya terobosan baru dalam pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang adaptif dengan perkembangan zaman dan menyesuaikan dengan pandemi Covid-19 yang tengah terjadi saat ini,” katanya.
Cermati Fenomena Putus Sekolah
Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) diminta mencermati angka putus sekolah akibat pandemi Covid-19. Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, Kemendikbudristek harus mencari penyebab anak putus sekolah pada masa pandemi pada momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional 2021.
“Apakah karena terkendala pembelajaran jarak jauh (infrastruktur), atau anak berhenti sekolah karena persoalan ekonomi keluarga akibat pandemi,” kata Puan, Ahad (2/5).
Puan meminta pemerintah membenahi infrastruktur agar merata di seluruh daerah sehingga pembelajaran jarak jauh (PJJ) berjalan efektif. Apalagi, pandemi Covid-19 masih berlangsung dan PJJ masih mungkin diterapkan di sekolah-sekolah.
Ia menambahkan, hal lain yang juga harus dibenahi Kemendikbudristek adalah insfrastruktur kegiatan belajar mengajar. Puan menekankan, pemerataan infrastruktur PJJ adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi pemerintah.
“Agar merata dan tidak terjadi kesenjangan infrastrukur PPJ atau online antara daerah dan wilayah,” kata politikus PDI Perjuangan tersebut.
Selain kesiapan dan pemerataan infrastruktur pembelajaran jarak jauh, Puan juga meminta Kemendikbudristek menguji efektivitas serta kualitas tenaga pendidik, peserta didik, dan materi pembelajarannya. Hal itu harus dilakukan untuk mencegah semakin lebarnya kesenjangan pendidikan, terutama pada masa pembelajaran jarak jauh yang mensyaratkan infrastruktur digital, akses internet, serta perangkat pendukung lainnya.
“Karena pendidikan adalah hak, kebutuhan dasar, dan harus mampu mewujudkan national and character building,” katanya.
Berdasarkan data Kemendikbud, terdapat 157 ribu siswa yang putus sekolah pada tahun ajaran 2019/2020. Siswa yang putus sekolah mayoritas merupakan pelajar sekolah dasar (SD) dengan jumlah 59,4 persen.
Karena pendidikan adalah hak, kebutuhan dasar, dan harus mampu mewujudkan national and character building.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyoroti kebijakan belajar dari rumah (BDR) atau PJJ, yang dinilai gagal mengatasi krisis pendidikan pada masa pandemi Covid-19. Sekjen FSGI, Heru Purnomo mengatakan, serangkaian kebijakan yang dibuat belum menunjukkan hasil.
FSGI justru mencatat, angka putus sekolah bertambah dan peserta didik dari keluarga miskin nyaris tidak terlayani karena ketiadaan alat daring. "Kekeliruan dari awal adalah menjadikan BDR menjadi PJJ daring, yang bertumpu pada internet, padahal disparitas digital sangat lebar antardaerah di Indonesia," kata Heru, kemarin.
Ia menilai, program BDR atau PJJ ini tidak efektif karena terlalu bertumpu kepada internet sehingga kebijakan, yang dibuat berorientasi pada pemberian bantuan kuota kepada pendidik dan peserta didik. Namun, pemberian bantuan kuota tidak disertai dengan pemetaan kebutuhan kuota yang beragam. Selain itu, ada banyak peserta didik dari keluarga miskin yang tidak memiliki gawai dan wilayah blank spot tidak dapat menikmati bantuan kuota internet dan tidak terlayani PJJ.
Menurut Heru, kebijakan pendidikan yang dibuat untuk mengatasi PJJ kurang berhasil, karena hanya bersifat umum dan cenderung menyeragamkan, tanpa melihat kesenjangan yang begitu lebar. Selain itu, kebijakan yang dibuat tidak memanfaatkan potensi yang dimiliki daerah, yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kebuntuan PJJ secara daring.
View this post on Instagram
“Peran kepala sekolah dalam mengatasi PJJ tidak mampu mengelola sekolah secara khas, sesuai kondisi masing-masing. Jadi, para guru yang kebingungan dalam melayani PJJ tidak mendapatkan bantuan, dukungan, dan solusi dari kepala sekolahnya,” katanya.
FSGI merekomendasikan, mendorong Kemendikbud bersinergi dengan Dinas Pendidikan daerah untuk memastikan terlaksananya proses pembelajaran antara siswa dan guru, dengan berbagai model dan cara sesuai disparitas wilayah, potensi, dan kesiapan sekolah. Dengan demikian, Kemendikbud harus membuat skenario yang jelas dan terpantau untuk masing-masing sekolah, tidak lagi diserahkan kepada tim Covid secara global dalam satu kabupaten/kota.
"Kemendikbud juga mesti bekerja sama dengan Dinas Pendidikan daerah, untuk melakukan pemetaan yang jelas tentang efektivitas BDR di wilayah perkotaan dan perdesaan," katanya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.