
Dunia Islam
Kompleks Sultan al-Ghuri, Titik Temu Pencari Dunia-Akhirat
Kompleks Sultan al-Ghuri yang dibangun sejak abad ke-16 ini mencakup berbagai fasilitas umum.
OLEH HASANUL RIZQA
Mesir kaya akan warisan sejarah dunia Islam. Berbagai bukti pencapaian arsitektur Islam berdiri tegak di sana dan dapat dijumpai hingga kini. Salah satunya adalah Kompleks Sultan al-Ghuri.
Bangunan dari abad ke-16 itu terletak di Kairo. Lokasinya berdekatan dengan Masjid al-Azhar. Seperti tampak dari namanya, kompleks bernilai historis itu dibangun oleh Sultan Qansuh al-Ghuri. Pemimpin dari Dinasti Burji itu menguasai Kerajaan Mamluk di Mesir antara tahun 1501-1516.
Kompleks Sultan al-Ghuri terdiri atas dua bagian besar. Bagian yang berada di sisi timur mencakup permakaman sultan, pemondokan kaum sufi, dan pertokoan (wakalah) yang bertingkat lima. Adapun pada bagian baratnya, terdapat masjid dan madrasah.
Hingga kini, tampilan bangunan-bangunan utama di kompleks tersebut tidak banyak berubah. Bentuknya masih seperti kondisi dahulu, saat dibangun pada 1505. Memang, pemerintah Mesir telah menggolongkannya sebagai kawasan cagar budaya yang dilindungi undang-undang.

Kompleks al-Ghuri begitu berbeda bila dibandingkan dengan lingkungan sekitarnya. Ada kesan kuno dan eksotis yang ditampilkannya. Untuk sampai ke sana, semisal datang dari arah Masjid al-Azhar, pengunjung dapat melalui sebuah lorong yang diapit dua bangunan besar.
Biasanya, jalan di lorong tersebut dipenuhi banyak penjual baju, kain, atau pernak-pernik lainnya. Ya, inilah tempat yang disebut masyarakat lokal sebagai Pasar al-Ghuri. Adanya pandemi tentu sedikit-banyak mengubah kebiasaan atau hiruk-pikuk khas pasar di sana.
Bagaimanapun, destinasi wisata sejarah ini tak kehilangan pesonanya. Pengunjung masih dapat meresapi jejak-jejak masa lalu, khususnya suasana Kairo tatkala dipimpin Wangsa Mamluk berbilang abad silam. Bangunan yang mengapit lorong pasar tersebut dulu difungsikan sebagai pondok sufi.
Sultan al-Ghuri dikenal sebagai pemimpin yang otoriter, tetapi menyukai petuah-petuah kebijaksanaan sufi. Karena itu, dia menaruh hormat pada para pelaku tasawuf. Berdirinya pondok sufi di dalam kompleks tersebut menandakan respeknya terhadap mereka.
Lahan tempat area itu berada merupakan wakaf dari sang sultan. Ia merancang kompleks di Kairo ini sebagai titik temu antara aktivitas rohani dan jasmani, antara pemburu duniawi dan ukhrawi. Fasilitas-fasilitas seperti wakalah, pasar, dan madrasah diperuntukkan bagi publik yang ingin menyelesaikan pelbagai kegiatan muamalah. Termasuklah di dalamnya, perniagaan dan pendidikan.
Sementara itu, kalangan yang menghindari ambisi dunia, yakni kaum sufi, tetap diberikan tempat di sana. Malahan, letaknya berdekatan dengan bangunan yang sesungguhnya diniatkan sebagai lokasi jasad al-Ghuri berada.
Kawasan permakaman sultan telah berdiri di kompleks tersebut. Namun, tidak ada jenazah Sultan al-Ghuri di sana. Sebab, raja Mamluk itu jatuh sakit dan meninggal dunia saat sedang bertempur di Halab (Aleppo), Suriah.
Lawannya kala itu adalah Turki Utsmaniyah yang hendak memperluas wilayah kekuasaan ke selatan. Dalam pertempuran tersebut, pasukannya kalah. Malangnya, jasad al-Ghuri tidak ditemukan sesudah peristiwa itu. Padahal, sudah jauh-jauh hari dia mendirikan permakaman yang diharapkan menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.
Di dekat pemondokan kaum sufi, terdapat wakalah atau tempat persinggahan para pedagang dan musafir. Pada masa itu, kaum saudagar yang datang dari jauh bisa menumpang tinggal di bangunan tersebut.

Biasanya, lantai yang paling atas berfungsi sebagai gudang tempat mereka menyimpan barang-barang. Namun, pada wakalah al-Ghauri gudang ini berada di lantai dasar. Sebaliknya, tempat para tamu itu tidur terletak di lantai atas.
Dari tata letaknya, dapatlah dipahami bahwa Sultan al-Ghuri menghendaki adanya interaksi antara dunia pedagang dan tasawuf. Katakanlah, yang satu cenderung berfokus pada urusan dunia, sedangkan yang lain pada ketenangan batin.
Bagaimanapun, pertemuannya berada pada satu titik yang sama, yakni ibadah dalam rangka meraih ridha Allah SWT. Kaum saudagar seakan-akan diajak agar tidak melulu memikirkan dunia. Begitu pula, kaum salik diingatkan agar tidak seperti hidup di “menara gading.” Ada harmoni yang dirangkai dengan indahnya.
Tentu, keindahan arsitektur bangunan-bangunan Kompleks al-Ghuri tak mungkin terlewatkan begitu saja. Ambil masjid setempat sebagai contohnya. Fasad bangunan ini tidak identik, tetapi memiliki ciri yang serupa seperti ukiran relief tinggi. Bentuknya membentang di sepanjang dinding atasnya.
Relung portal memiliki panel marmer dalam variasi hitam dan putih. Kolom di sudut masjid menampilkan gaya Koptik dan Romawi Timur (Bizantium). Alhasil, inilah salah satu bukti bahwa seniman-seniman Mamluk terinspirasi pula dari desain pra-Islam.
Menara besar terlihat dari dekat Baab (Pintu) Zuwayla. Bentuknya memiliki empat sisi dan terdiri atas empat tingkat. Ketinggian menara pertama di Kota Kairo itu tak terlalu menjulang. Interiornya kaya akan ukiran-ukiran indah bernuansa floral.
Pemerintah Kota Kairo biasanya mengadakan sejumlah festival budaya di Kompleks al-Ghuri. Dalam tiap acara, banyak pertunjukan ditampilkan untuk menarik kunjungan wisatawan. Area dekat ujung lorong sering menjadi lokasi berdirinya panggung sederhana.
Di situlah para pengisi acara membawakan berbagai kesenian khas negeri setempat. Namun, acara yang sesungguhnya berlangsung rutin tahunan itu terkendala pandemi Covid-19 kini.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.