Seorang pedagang memilih cabai rawit di pasar Sentral, Kota Gorontalo, Gorontalo, Rabu (7/4/2021). | Adiwinata Solihin/ANTARAFOTO

Opini

Gejolak Harga Cabai Rawit

Diharapkan agar harga cabai di tingkat petani pun bisa stabil dan menguntungkan.

IKE RAHAYU, Fungsional Statistisi BPS Provinsi NTB

Cabai merupakan komoditas yang diminati dan banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia karena cita rasanya yang tinggi. Permintaannya pun terus meningkat beberapa tahun belakangan ini seiring tren kuliner yang populer berbahan baku cabai.

Sebutlah ayam geprek yang sekarang ini menjadi hit dan menu primadona banyak kalangan dari anak kecil hingga dewasa. Sebab, menu kuliner berbahan baku ayam dan cabai ini, menyajikan berbagai varian rasa bumbu nusantara.

Selain itu, menyajikan tingkat kepedasan hingga mampu menampar lidah. Tanaman cabai yang dibudidayakan di Indonesia, pada umumnya cabai besar, cabai keriting, dan cabai rawit. Komoditas hortikultura yang memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin.

Hampir bisa dipastikan olahan cabai baik dalam bentuk basah maupun kering disajikan dalam menu makanan sehari-hari dan dikonsumsi rumah tangga minimal sepekan sepekan sekali. Apalagi rumah makan/warung/restoran membutuhkan bahan pangan tersebut untuk olahan masakan yang bercita rasa pedas. 

 

 
Akhir-akhir ini, kenaikan harganya menyita perhatian semua lapisan masyarakat terutama ibu-ibu rumah tangga, pedagang warung makan, pejabat negara, hingga politisi.
 
 

Akhir-akhir ini, kenaikan harganya menyita perhatian semua lapisan masyarakat terutama ibu-ibu rumah tangga, pedagang warung makan, pejabat negara, hingga politisi.

 

Bagi ibu rumah tangga, kenaikan harga cabai membuat mereka mengurangi pembelian atau mengganti menu makanan sehari-hari tanpa berbumbu cabai. Sementara, rumah makan atau warung saat harga cabai melonjak tinggi menyiasatinya dengan mengurangi porsi sambal yang disediakan bagi pelanggan atau pengunjung.

Cabai sebagai kelompok volatile food sangat rentan terhadap guncangan ekonomi maupun nonekonomi, yang acapkali harganya pun tidak stabil sebab memiliki tingkat permintaan yang tinggi. Sehingga cabai merupakan komoditas strategis dan salah satu komponen yang cukup berperan dalam pembentuk inflasi.

Dari ketiga jenis cabai yang terasa menyengat dirasakan pada cabai rawit di mana harganya menggila hingga mencapai dua kali lipat sejak akhir tahun lalu dan terus berfluktuasi menjelang bulan Ramadhan.

 
Gejolak harga cabai rawit yang dikeluhkan masyarakat sejalan dengan data inflasi Desember 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik tercatat sebesar 0,45 persen. 
 
 

Gejolak harga cabai rawit yang dikeluhkan masyarakat sejalan dengan data inflasi Desember 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik tercatat sebesar 0,45 persen. Inflasi Desember dipengaruhi naiknya beberapa harga komoditas.

Salah satunya cabai rawit yang menyumbang sebesar 0,38 persen. Pada Januari 2021 meskipun kenaikan inflasi lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya 0,26 persen tetapi kenaikan tersebut masih dipicu oleh kenaikan cabai rawit.

Demikian juga pada inflasi Februari dan Maret, masing-masing sebesar 0,10 persen dan 0,08 persen, juga masih dipengaruhi cabai rawit yang menjadi keluhan masyarakat karena harganya masih melambung tinggi. 

Merosotnya produksi

Merosotnya produksi cabai rawit antara lain disebabkan berkurangnya petani yang melakukan penanaman, kerusakan tanaman, serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan banjir di beberapa wilayah sentra produksi. Ini memicu pasokan berkurang.

 
Selain itu adanya konversi lahan, belum banyak petani yang menggunakan metode intensifikasi untuk meningkatkan hasil produksinya. 
 
 

Penurunan luas tanam terjadi pada September hingga November 2020 ketika petani menahan diri tidak melakukan penanaman karena cuaca panas dan berkurangnya pasokan air yang bisa menyebabkan munculnya berbagai penyakit/hama.

Semua faktor itu, bisa berdampak pada tanaman sehingga tidak berkembang/gagal panen. Selain itu adanya konversi lahan, belum banyak petani yang menggunakan metode intensifikasi untuk meningkatkan hasil produksinya. 

Metode intensifikasi pertanian sangat cocok diterapkan untuk daerah dengan potensi pertanian yang sempit dengan cara mengelola lahan pertanian sebaik mungkin melalui pemilihan bibit unggul, pengolahan tanah yang baik, dan pemupukan yang tepat.

Ditengarai, tidak menerapkannya metode intensifikasi dan kurang cermatnya petani memprediksi cuaca disebabkan pengaruh pendidikan yang masih rendah, tidak ada penyuluhan, dan permodalan.

Hasil Survei Struktur Ongkos Petani Hortikultura tahun 2018 Badan Pusat Statistik (SOUH 2018) untuk budi daya cabai rawit, pendidikan petani untuk kategori dasar (SD dan SMP) sebesar 60,18 persen sementara yang berpendidikan SMA ke atas hanya 14,54 persen.

Sisanya 25,28 persen bahkan tidak mengenyam pendidikan atau tidak tamat SD.

Di samping itu, jauhnya usaha kemitraan antara petani cabai rawit dengan pemerintah maupun usaha swasta serta minimnya penyuluhan, menyebabkan petani kurang mendapatkan perlindungan.

Dipotret SOUH2018 sebesar 98,70 persen petani cabai rawit tidak melakukan kemitraan dan 87,10 persen tidak memperoleh penyuluhan.

Karakteristik lain yang ditunjukkan adalah kecilnya bantuan pembiayaan di mana hampir 95,14 persen pembiayaan dilakukan oleh petani sendiri, sementara besarnya serangan OPT terhadap budi daya cabai rawit  sebesar 78,76 persen.

Hasil SOUH2018 juga menyajikan keuntungan petani dalam budi daya cabai rawit sebenarnya bisa mencapai 63,41 persen per hektar per musim tanam. Biaya terbesar adalah tenaga kerja sebesar 55,40 persen dari total biaya yang dikeluarkan.

 
Sesungguhnya, keuntungan terbesar kejayaan harga cabai rawit justru dikeruk pedagang hingga bisa melebihi 30 persen, sedangkan para petani tidak mendapatkan keuntungan signifikan. 
 
 

Hal tersebut bisa diartikan, ketika tidak dilakukan budi daya bukan hanya petani yang merugi tetapi buruh yang membantu pun tidak mendapatkan pendapatan. 

Mungkin, saat ini petani sedang menikmati keuntungan dari tingginya harga cabai rawit sehingga meskipun belum saatnya panen dilakukan pemetikan. Bisa jadi, mereka akan  mengalami kerugian pada saat puncak panennya karena harga akan anjok.

Sesungguhnya, keuntungan terbesar kejayaan harga cabai rawit justru dikeruk pedagang hingga bisa melebihi 30 persen, sedangkan para petani tidak mendapatkan keuntungan signifikan. 

Di sisi lain, kurangnya pengawasan ketat oleh pemerintah menjadikan banyak pasar komoditas mematok harga melewati batas wajar. 

Alih-alih tidak perlu dikhawatirkan karena dianggap naiknya harga cabai tidak akan lama dan akan turun sendiri dalam satu sampai dua bulan kemudian, menyebabkan terjadinya permainan harga di tingkat pedagang dan tengkulak. 

 
Tampaknya peran pemerintah kurang nyata dan membiarkan siklus seperti ini berlangsung berulang-ulang.
 
 

Tampaknya peran pemerintah kurang nyata dan membiarkan siklus seperti ini berlangsung berulang-ulang. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah strategis dan konkret yang merangsang petani untuk berani melakukan budi daya cabai rawit.

Misalnya, memperkuat sistem perbenihan dan perbibitan melalui teknologi yang menghasilkan bibit unggul yang tahan terhadap iklim dan cuaca, memperluas akses petani terhadap modal, serta keterpaduan antarsektor dalam pembangunan pertanian.

Di industri hulu, diharapkan mampu mengelola hasil pascapanen dengan penggunaan teknologi seperti mobil pendingin dan gudang pendingin di sejumlah sentra produksi mengingat cabai memilki sifat mudah busuk.

Dengan diberikannya fasilitas tersebut akan mampu menjaga cabai tetap segar sampai ke pembeli, harga cabai di tingkat petani pun bisa stabil dan menguntungkan. Kunci penting lainnya adalah sentuhan kebijakan pemerintah terkait harga.

Tujuannya, agar setiap penduduk dapat dengan mudah mendapatkan komoditas cabai rawit, terjangkau dan berkualitas. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat