Warga mencoba terkoneksi dengan media sosial. Tantangan pers yang paling nyata adalah penggunaan media sosial yang cukup marak di Indonesia. | EPA

Opini

Tantangan Pers

Tantangan pers yang paling nyata adalah penggunaan media sosial yang cukup marak di Indonesia.

KHOFIFAH INDAR PARAWANSA, Gubernur Jawa Timur

Dunia pers masa kini memiliki tantangan luar biasa. Pers bukan hanya menyajikan informasi yang cepat, tepat, akurat, dan dapat dipercaya. Pers menghadapi tantangan untuk tetap eksis di tengah perkembangan informasi dan teknologi.

Dulu, insan pers cukup menyajikan informasi menarik, terbaru, aktual, detail, dan dapat dipercaya. Namun, semua itu berubah. Tantangan pers yang paling nyata adalah penggunaan media sosial yang cukup marak di Indonesia.

Masyarakat tak terpaku pada informasi yang disajikan melalui media cetak, media elektronik, ataupun televisi. Informasi beredar melalui beragam media sosial sebagai dampak perkembangan informasi dan teknologi, seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, Youtube, dan Instagram.

 
Pers masa kini, harus berkompetisi dengan pola penyebaran informasi yang memanfaatkan media sosial.
 
 

Masyarakat juga tidak memedulikan keabsahan informasi tersebut. Mereka hanya melihat tagline atau garis besar pada sajian media sosial itu. Tak sedikit, informasi yang disajikan itu berupa hoaks untuk memengaruhi pola pikir masyarakat. Itu sangat berbahaya.

Pers masa kini, harus berkompetisi dengan pola penyebaran informasi yang memanfaatkan media sosial.

Hasil survei We Are Social yang diterbitkan pada link hotsuite menyatakan, pengguna media sosial di Indonesia pada 2020 cukup tinggi, yakni 160 juta orang alias 59 persen dari total populasi masyarakat.

Platform yang banyak digunakan adalah Youtube. Berikutnya WhatsApp, Facebook, dan diikuti Instagram. Hasil survei tersebut menunjukkan, penyebaran informasi melalui media sosial sangat mungkin cepat diserap masyarakat.

Permasalahannya, tidak semua informasi yang disajikan itu bisa dipertanggungjawabkan. Kondisi tersebut diperparah dengan kebiasaan masyarakat yang menerima informasi tanpa menyaringnya.

Mereka langsung percaya tanpa menelisik sumber informasi tersebut. Mereka pun meneruskan informasi tersebut ke orang lain. Wajar, jika banyak informasi yang tidak akurat beredar di masyarakat.

 
Perbandingannya lebih banyak kelompok yang menelan informasi secara langsung, daripada melakukan dan mencari klarifikasi untuk memastikan kebenarannya.
 
 

Bahkan, tak jarang pula informasi jenis itu lebih cepat beredar daripada berita yang disajikan pers. Padahal, produk pers lebih memiliki trust. Dampaknya, sebagian masyarakat justru menilai informasi yang disajikan pers dipertanyakan validitasnya.

Bisa jadi, mereka justru lebih percaya pada informasi yang menyebar melalui media sosial. Dasarnya, sumber penyebar lebih banyak. Dengan begitu, tingkat kepercayaannya lebih besar dibandingkan sajian pers, yang hanya diproduksi beberapa lembaga. 

Memang, tidak semua orang memiliki kepercayaan terhadap informasi media sosial. Masih ada orang yang memiliki komitmen mencari dan melakukan klarifikasi melalui produk pers.

Namun, perbandingannya lebih banyak kelompok yang menelan informasi secara langsung, daripada melakukan dan mencari klarifikasi untuk memastikan kebenarannya.

Beberapa lembaga pers tampak mulai mengakulturasi media informasi dengan media sosial. Mereka menyajikan produk pers di akun media sosial miliknya. Langkah yang cukup bagus. Namun, efektivitasnya belum membuktikan pers mampu mengalahkan media sosial. 

 
Informasi menyebar secara otomatis yang diproduksi oleh orang, tanpa pemahaman kaidah pers. Ibaratnya, bahan makanan dimasak oleh orang yang tidak bisa memasak.
 
 

Salah satu penyebabnya, jumlah akun milik lembaga pers yang valid kalah jauh dari akun milik pribadi. Selain itu, masyarakat mulai menemukan format baru. Mereka kerap menjadi pewarta bagi dirinya sendiri.

Mereka merekam sebuah fakta, lalu menyampaikan komentar, menaikkannya di akun media sosial miliknya, dan menulis caption. Sajian itu sudah menjadi informasi bagi orang yang memiliki tautan dengannya.

Tentu, sajian tersebut jauh dari kaidah pers yang sebenarnya. Bahkan, penyaji informasi tidak memahami kode etik jurnalistik yang selalu dipegang teguh insan pers. Parahnya, informasi tersebut secara luas bisa dibagikan ke tautan lainnya.

Informasi menyebar secara otomatis yang diproduksi oleh orang, tanpa pemahaman kaidah pers. Ibaratnya, bahan makanan dimasak oleh orang yang tidak bisa memasak. Lalu disajikan ke orang lain. Tanpa dicicipi, masakan itu dibagikan ke orang lain.

Bisa jadi, tampilan makanannya menarik, tapi rasanya belum tentu nikmat. Ini tantangan pers pada masa kini.

 
Masyarakat sangat membutuhkan informasi yang nyata, bukan propaganda. 
 
 

Pers diharapkan, tetap bisa memaksimalkan perannya. Pers diharapkan mampu menjadi kontrol sosial pada kehidupan masyarakat. Pers harus tetap eksis sebagai penyaji informasi yang tepat, akurat, dan dapat dipercaya.

Bersyukur,  banyak tokoh besar dunia yang kini sudah tidak terpaku pada media sosial. Mereka menutup akun dan memilih menerima informasi dari produk pers. Alasan mereka, produk pers bisa dipertanggungjawabkan. Sumber produk pers sangat jelas.

Produk itu dibuat oleh orang yang memiliki integritas serta kecerdasan yang luar biasa.

Harapannya, Hari Pers Nasional 2021 memberi semangat bersama. Saatnya insan pers bangkit. Saatnya pula insan pers menunjukkan eksistensinya. Masyarakat sangat membutuhkan produk pers. Masyarakat sangat membutuhkan informasi yang nyata, bukan propaganda. Selamat Hari Pers Nasional 2021. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat