Rencanakan keuangan Anda (ilustrasi) | Freepik

Keluarga

Jurus Pas Kelola Uang Pesangon

Perlu juga menyesuaikan dengan tujuan keuangan, profil risiko dan minat.

 

Masa pandemi Covic 19 menghadirkan fenomena yang menyedihkan lantaran maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Mereka yang alami PHK pun harus kehilangan penghasilan, sehingga menjalani karantina dengan sangat berat. Bahkan ada yang meski terkena PHK namun tidak mendapatkan pesangon atau bantuan apa pun.

Seorang pegawai perusahaan keuangan, Ananda Prasetyarini menceritakan pengalamannya terkena PHK. “Di surat ditulisnya ‘dirumahkan’ dan diiming-imingi setelah pandemi kemungkinan akan dipanggil bekerja lagi. Tapi saya tidak percaya itu,” ungkap dia saat dihubungi Republika.

Ia terpaksa bekerja untuk membantu keuangan keluarga, serta melanjutkan pendidikan kuliahnya. Jadi ketika ia kena PHK seperti itu, kuliahnya telantar dan keluarganya hampir tidak makan. Beruntung kakak kandungnya membantu kehidupan sehari-hari dirinya yang kini tinggal bersama ayah dan ibunya.

Bekerja hampir dua tahun di perusahaan tersebut, Ananda tidak mendapat pesangon mungkin dikarenakan masa kerja yang masih sangat sebentar. Namun ia bisa mencairkan uang BPJS Ketenagakerjaan. Itu pun proses menunggu suratnya sampai tiga bulan, dan nominalnya pun tidak besar.

“Kalau BPJS Ketenagakerjaan itu kan nominal yang didapat berdasarkan gaji ya. Jadi karena gaji saya tidak besar, ya saya dapat seadanya,” kata perempuan yang berusia 21 tahun itu.

Boro-boro dikelola atau diputar agar menghasilkan, untuk memenuhi kehidupan sehari-hari saja dia tidak mampu. “Apa yang mau dikelola? Kalau disisihkan untuk investasi atau usaha, bisa-bisa habis begitu saja dan malah membuat keluarga sengsara,” kata dia.

Ananda tidak bermaksud pesimistis, namun dengan uang didapatnya ia merasa tak ada optimisme yang hadir di hadapannya.

 

 

Apa yang mau dikelola? Kalau disisihkan untuk investasi atau usaha, bisa-bisa habis begitu saja dan malah membuat keluarga sengsara.

 

Ananda Prasetyarini
 

 

Berbeda dengan seorang pensiunan bernama Daud Arsyad yang menerima nominal pesangon lebih besar. Kendalanya, pesangon tersebut belum juga kunjung cair hingga empat bulan.

Dia pun memaklumi hal ini lantaran pandemi memang membuat sistem ekonomi goyah, apalagi jika menyangkut urusan keuangan. Meski begitu, Daud juga ternyata belum membayangkan uangnya akan digunakan untuk apa. Jadi kemungkinan besar akan ia tabungkan sepenuhnya.

“Investasi belum terpikirkan, ingin mencoba saham itu tidak bisa sembarangan juga. Kalau usaha juga tidak bisa dikeluarkan sembarangan, karena harus dipikirkan untung rugi, misalkan rugi akan bagaimana,” kata Daud yang kini berusia 57 tahun.

Rupanya ada beberapa orang yang tidak terpikirkan akan diapakan uang pesangon mereka. Perencana keuangan, Agustina Fitria Aryani memaparkan beberapa pilihan dalam mengelola uang pesangon.

Menurut dia, investasi dan usaha memang itu merupakan hal berisiko tinggi. “Kalau ingin berinvestasi, sesuaikan dulu dengan tujuan keuangan dan profil risiko. Begitu pula dengan usaha, karena usaha juga termasuk berisiko tinggi,” ungkap Agustina saat dihubungi Republika.

Profil risiko ini harus diperhatikan betul karena setiap orang akan berbeda-beda. Apalagi jika memilih untuk berinvestasi secara keseluruhan maka perlu pilih momentum yang tepat. Untuk orang yang konservatif, maka investasi secara lumsum lebih disarankan untuk tujuan jangka pendek.

Sedangkan untuk investor yang menyukai risiko, maka investasi secara lumsum bisa dilakukan untuk tujuan jangka panjang. Kemudian untuk membuka usaha dengan uang pesangon, juga termasuk berisiko tinggi, sehingga juga harus dilihat profil risikonya.

“Kecuali kalau usahanya dimulai sebagai reseller, itu tergolong risiko rendah. Karena semua sangat tergantung pada kemampuan pemilik dalam mengelola usahanya. Apalagi kalau tadinya hanya karyawan, belum pernah terjun ke dunia usaha maka akan sangat berbeda,” ungkap Agustina.

Bagi mereka yang karyawan dan sama sekali tidak pernah terjun ke dunia usaha, perlu belajar lebih dalam lagi. ''Karena biasanya menerima gaji rutin bulanan, maka penghasilannya akan fluktuatif bahkan bisa rugi. Karena itulah mental dan finansial harus disiapkan,'' ujarnya.

 

 

 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat