Akademisi UIN Syarif Hidayatullah yang juga seorang mubaligh, Ustaz Muhammad Ziyad, menilai, kunci optimalisasi dakwah di daerah 3T adalah penguatan sumber daya manusia (SDM). | DOK LDK Muhammadiyah

Hiwar

Ustaz Dr Muhammad Ziyad, Optimalkan Dakwah di Daerah 3T

Ustaz Dr Muhammad Ziyad mengatakan, kunci kesuksesan dalam berdakwah di daerah 3T adalah keikhlasan.

Dakwah berarti menyeru, mengajak, atau memanggil orang-orang agar beriman dan taat kepada Allah SWT sesuai ajaran Islam. Sebagian kaum ulama menyebutnya sebagai sebuah kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Adapun sebagian yang lain menyatakan hukumnya wajib individual (fardhu ‘ain).

Ketua Lembaga Dakwah Khusus (LDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ustaz Muhammad Ziyad mengatakan, dakwah pada masa kini memiliki beragam tantangan. Sebut saja, perkembangan dunia digital yang memicu derasnya arus informasi. Yang juga tidak kalah penting, lanjut dai kelahiran Lamongan, Jawa Timur, itu, sebaran dakwah harus mencapai seluruh penjuru negeri, termasuk daerah-daerah yang terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T).

“Jangan sampai hanya orang perkotaan yang mendapatkan aneka fasilitas dan pengetahuan dalam konteks berdakwah, sedangkan saudara-saudara kita di pelosok daerah 3T sama sekali tidak,” ujar dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah itu.

Pihaknya melakukan berbagai upaya untuk menjangkau daerah-daerah 3T di Indonesia. Di antaranya adalah mengirimkan para dai muda Muhammadiyah ke sejumlah perdesaan di sudut-sudut negeri. Di lapangan masing-masing, mereka juga turut melakukan pemberdayaan masyarakat setempat.

photo
Menurut Ketua Lembaga Dakwah Khusus (LDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ustaz Muhammad Ziyad, berdakwah di daerah pelosok berarti juga memberdayakan masyarakat setempat. - (DOK LDK Muhammadiyah)

Bagaimana cara mengoptimalkan gerakan dakwah yang menyasar masyarakat yang tinggal di berbagai pelosok Indonesia? Berikut perbincangan wartawan Republika, Muhyiddin, dengan pendakwah berusia 50 tahun tersebut baru-baru ini.

Bagaimana seharusnya dakwah Islam dilakukan pada masa kini?

Dari Muhammadiyah, ada yang disebut sebagai visi dakwah kekinian yang berkemajuan. Itu tidak hanya memiliki dimensi dakwah atau menyampaikan risalah Islam, tetapi juga pemberdayaan masyarakat. Pada akhirnya, para juru dakwah dapat memberikan pencerahan kepada umat. Di sana, terjadi proses pencerdasan.

Pencerdasan seperti apa yang dimaksud?

Jadi, kita kaum mubaligh harus membangun kerangka berpikir masyarakat. Dakwah tidak sekadar dalam tontonan, tetapi lebih kepada bagaimana dimensi tuntunannya itu mampu membangkitkan spirit masyarakat. Semangat yang didorong nilai-nilai agama; bahwa Islam memiliki visi ke depan untuk membangun peradaban. Inilah yang, saya kira, menjadi bagian dari konteks dakwah berkemajuan.

Bagaimana para dai menjawab tantangan zaman sekarang, ketika perkembangan teknologi informasi sedemikian pesatnya?

Dakwah berkemajuan harus mampu menjawab segala tuntutan dan tantangan zamannya. Sekarang, zaman digital. Berarti, dakwah harus pula menyentuh aspek digitalisasi. Ini penting karena masyarakat sekarang saling terhubung tidak hanya dalam wujud komunal-komunal, yakni bertemu langsung (tatap muka). Mereka juga (terhubung) secara online. Terlebih lagi di tengah pandemi Covid-19 ini.

Karena itu, nilai dakwah tidak boleh berhenti pada sifat konvensional. Produk-produk dakwah mampu bisa diakses seluruh orang di seluruh lapisan. Saya melihat, kaum milenial dan anak-anak muda sekarang sangat akrab dengan teknologi. Para pendakwah hendaknya berupaya membuat dakwahnya agar menjadi konten yang menarik. Dakwah ini kan seperti “orang berdagang.” Kalau produk dan penyampaiannya menarik, serta kemasannya bagus, maka pasti masyarakat akan menikmati sajian dakwah.

Terkait dengan lembaga yang Anda pimpin, bagaimana latar belakangnya?

Sebenarnya, Muhammadiyah sudah menaruh perhatian pada aspek dakwah khusus sudah sangat lama, jauh sebelum adanya LDK (Lembaga Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah). Ya, sejak dulu Muhammadiyah sudah mengirimkan dai-dai ke daerah-daerah.

Misal, pada 1936 itu sudah ada salah satu utusan yang sampai ke Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Ulama-ulama dari Yogyakarta waktu itu melakukan rihlah jauh. Mereka bahkan menetap di sana selama beberapa bulan. Hasilnya memberikan efek yang luar biasa bagi masyarakat setempat. Berbagai lembaga pendidikan didirikan yang dirintis para dai khusus itu.

Mengapa dakwah Muhammadiyah juga menyasar masyarakat pelosok?

Pertama-tama, adanya para mujahid dan kalangan dai yang bertekad tinggi untuk berdakwah hingga ke daerah-daerah tersebut. Mereka mendirikan sekolah di lokasi masing-masing. Makanya, hampir di seluruh pelosok Tanah Air, ada berdiri lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah.

Tentunya, dalam berdakwah ke daerah-daerah pelosok itu mereka memberikan pencerahan tentang agama ini. Islam mengajak orang untuk hidup dinamis dan optimistis. Kedua, para dai Muhammadiyah di sana menjadi katalisator dan penghubung antara mereka yang tinggal di pelosok dan kota-kota pusat informasi.

Karena itulah, seluruh dai khusus yang dikirim Muhammadiyah ke daerah-daerah tidak hanya memiliki pengetahuan yang bagus terkait keislaman. Mereka pun harus memiliki akses sehingga terwujudlah pemberdayaan masyarakat setempat. Mereka juga memiliki jiwa entrepreneur untuk mengajak masyarakat agar mau berwirausaha. Harapannya, daerah mereka tak lagi terkucil atau tertinggal.

Kami meyakini, pendakwah termasuk agen perubahan. Dakwah memiliki kekuatan yang luar biasa pada pemberdayaan masyarakat. Sementara, selama ini dakwah cenderung hanya dipahami sebagai ceramah di masjid-masjid. Padahal, maknanya jauh daripada itu.

 

 

 

Dakwah berkemajuan harus mampu menjawab segala tuntutan dan tantangan zamannya.

 

USTAZ MUHAMMAD ZIYAD, praktisi dakwah
 

 

Mengapa disebut “dakwah khusus”?

Artian “khusus” di sini adalah menyangkut teritori. Penamaan itu memberikan penekanan bahwa daerah-daerah sasaran dakwah memang termasuk yang yang terdepan, terpencil, dan/atau tertinggal (3T). Nah, biasanya kawasan 3T itulah yang sering terabaikan. Siapa yang akan memfasilitasi mereka supaya mendapatkan akses yang sama terhadap pelayanan dakwah? Di sinilah peranan LDK Muhammadiyah.

Jadi, jangan sampai hanya orang perkotaan yang mendapatkan aneka fasilitas dan pengetahuan dalam konteks berdakwah, sedangkan saudara-saudara kita di pelosok daerah 3T sama sekali tidak. Mereka memiliki keterbatasan terkait akses jaringan maupun SDM (sumber daya manusia), yakni dai-dai yang dapat membimbing dan mencerahkan mereka.

Kalau kita lihat dalam konteks konstitusi, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Bila konsep ini kita kembangkan secara luas, daerah-daerah 3T juga berhak mendapatkan layanan dan fasilitas dakwah.

 

Apakah sasaran dakwah LDK Muhammadiyah hanya kawasan 3T?

Tidak juga. Sebab, dakwah khusus ini juga menyasar komunitas kelas menengah dan atas, baik dari segi pengetahuan, akses informasi, maupun kehidupan ekonominya. Karena itu, konten dakwahnya juga harus berbeda-beda. Tidak lagi mereka harus dikumpulkan di masjid. Pendekatan-pendekatannya pun lebih kepada model dialog. Komunikasinya menggunakan pola pikir yang logis.

Kalau kita bicara tentang kelas menengah, atas, dan elite, mereka memiliki sumber ekonomi yang bagus. Pemberdayaan zakat pada mereka juga insya Allah akan luar biasa. Akhirnya, zakat, sedekah, dan sebagainya itu akan membantu orang-orang yang memiliki ekonomi lemah.

Begitu pula dengan komunitas-komunitas di kota-kota besar. Misalnya, para penggemar motor gede atau juga artis. Kepada mereka, penting dilakukan pendekatan dakwah. Sebab, mungkin secara materi mereka terpenuhi, tetapi belum tentu secara spiritual. Mereka mudah mendapatkan pelbagai akses duniawi, tetapi ukhrawinya mungkin belum tentu tersentuh. Karena itu, dakwah khusus juga harus sampai kepada mereka.

Bagaimana mengoptimalkan dakwah khusus, termasuk personelnya?

Pertama-tama, kami melakukan rekrutmen. Dari sini, kami menjaring SDM. Kami mendapatkan pasokan dari 169 perguruan tinggi Muhammadiyah, khususnya kampus-kampus yang ada fakultas agama. Tentu, kampus-kampus dengan fakultas umum juga dapat diajak. Mereka memiliki beragam program pengabdian masyarakat, seperti program Indonesia Sehat, Indonesia Mengabdi, atau Indonesia Memanggil. Jadi, mereka dapat dikirim ke daerah 3T.

Sebagai contoh, kalau dokter Muhammadiyah, maka di lapangan dia juga sekaligus menjadi dai. Dia harus bisa mengobati tidak hanya fisik, tetapi juga batin atau spiritual masyarakat. Caranya dengan memberikan nasihat-nasihat kepada mereka tentang arti penting kehidupan keagamaan.

Tentu, hal ini jangan dimaknai sebagai upaya mengajak orang untuk pindah agama. Kami hanya menyampaikan kepada mereka yang belum tersentuh oleh nilai-nilai Islam. Dan satu hal yang penting adalah, dai-dai Muhammadiyah adalah juga jangkar persatuan bangsa.

Terakhir, bagaimana tantangan dakwah di tengah pandemi Covid-19?

Ini terkait dengan fasilitas dan akses. Misalnya, selama ini kita secara berkala bisa melakukan pertemuan secara tatap muka. Sekarang, tidak bisa lagi begitu. Kalau pun bisa, sangat terbatas dan intensitasnya juga tidak sesering dahulu.

Kalaupun mau bertemu secara online, sukar juga. Terlebih lagi bagi para dai LDK (Muhammadiyah) di pelosok-pelosok. Sering kali, mereka tidak mungkin melakukannya karena fasilitas setempat yang serba terbatas. Mereka pun rata-rata berasal dari kelompok yang secara ekonomi lemah.

Karena itu, menurut saya, di sinilah pentingnya negara untuk hadir. Apalagi, konstitusi juga menyatakan bahwa Indonesia berdasakan Ketuhanan yang Maha Esa. Artinya, warga negara pun berhak mendapatkan pengetahuan agama. Salah satunya melalui kegiatan-kegiatan dakwah tadi.

Muhammadiyah sendiri sudah punya pusat digitalisasi. Pusatnya ada di Yogyakarta dan hasilnya ini luar biasa. Pengajian-pengajian yang semula hanya bisa didengarkan di kota-kota, sekarang juga bisa melintasi kota atau bahkan lintas negara. Kasusnya berbeda dengan daerah-daerah 3T. Ya, problem utamanya adalah sinyal maupun kuota internet.

Saya membayangkan, negara bisa membantu memfasilitasi hal ini. Bukan tidak mungkin, kita akan menyaksikan dalam 10 atau 15 tahun ke depan anak-anak di daerah-daerah itu akan menghadirkan perubahan, masa depan yang lebih baik.

Meninggalkan Zona Nyaman Dakwah

 

Tidak semua orang memiliki tekad yang kuat untuk berdakwah di daerah-daerah pelosok. Umumnya, pendakwah cenderung berada di “zona nyaman”, yakni lokasi yang mudah diakses atau dijangkau kemajuan teknologi. Lembaga Dakwah Khusus (LDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah turut berupaya mengatasi kesenjangan tersebut. Caranya melalui pengiriman dai-dai yang profesional ke kawasan yang terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T) di penjuru Indonesia.

Ketua LDK PP Muhammadiyah Ustaz Dr Muhammad Ziyad mengatakan, kunci kesuksesan dalam berdakwah di daerah 3T adalah keikhlasan. Karena itu, pihaknya akan menggembleng para calon juru dakwah sebelum mereka diterjunkan ke pelosok negeri. Ia sendiri memiliki beragam pengalaman terkait program dakwah demikian.

Salah satunya adalah ketika dirinya menjadi mubaligh di sebuah kawasan zona merah. Kira-kira tiga tahun lalu, akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah itu diutus untuk berdakwah di pedalaman Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Ia menyambut gembira tugasnya di Bumi Cendrawasih itu.

Dalam berdakwah, Ustaz Ziyad menerangkan, mubaligh tidak boleh tampak seperti mencari “musuh.” Justru, yang harus ditunjukkannya adalah kesungguhan untuk membantu masyarakat setempat. Kendala atau kesulitan akan menjadi bagian dari rutinitas. Karena itu, hendaknya seorang dai meyakini dengan sepenuh hati, Allah pasti akan menolongnya.

“Insya Allah, kalau sudah begitu, masyarakat pun akan menerima kita dengan baik. Bagi saya, dakwah di pelosok itu menimbulkan kepuasan batin tersendiri,” ujarnya saat dihubungi Republika beberapa waktu lalu.

Penduduk Wamena dengan hangat menerimanya. Ustaz Ziyad merasa, mereka memperlakukannya seperti bagian dari keluarga. Bahkan, sebagian memintanya untuk tidak pulang ke Jakarta. Ketika pada akhirnya tugas selesai, PP Muhammadiyah memanggilnya kembali. Tak terasa, air matanya menetes karena harus berpamitan dengan orang-orang setempat.

Ustaz kelahiran Lamongan, Jawa Timur, itu pernah menjadi santri di Pondok Pesantren Karangasem Paciran. Lembaga ini diasuh seorang alim Muhammadiyah yang sempat berguru kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, yakni KH Abdurrahman Syamsuri. Sewaktu masih nyantri, ia sudah meminta restu dari sang kiai untuk berdakwah di daerah Ambon, Maluku.

Namun, Kiai Syamsuri lantas menyarankannya untuk meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua. Ternyata, ayah ibunya lebih suka agar Ustaz Ziyad melanjutkan pendidikannya sebelum berdakwah di daerah. Dari sana, ia masuk Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya.

“Saya mengambil jurusan pendidikan karena teringat pesan ayah bahwa kalau menjadi pendidik, maka pasti juga bisa jadi pendakwah,” katanya.

Begitu lulus dari kampus tersebut, ia mendapatkan beasiswa untuk menempuh studi S-2 di IAIN Sumatra Utara. Pada awal 2000-an, kesempatan itu diambilnya. Untuk selanjutnya, dirinya mengambil program doktoral di UIN Syarif Hidayatullah.

Sejak masih remaja, Ustaz Ziyad sudah aktif di berbagai organisasi kepemudaan Muhammadiyah. Dirinya tercatat pernah menjadi ketua Ikatan Mahaswa Muhammadiyah (IMM) Surabaya dan ketua Pemuda Muhammadiyah.

Keinginannya untuk berdakwah ke Ambon memang tidak tercapai. Namun, kini Ustaz Ziyad mendapatkan amanah besar melalui LDK PP Muhammadiyah untuk membina dan mengirimkan dai-dai muda ke pelosok Tanah Air.

“Dan alhamdulillah, hampir seluruh kawasan pedalaman pernah saya masuki. Bahkan, pernah saya berada di zona paling merah dalam arti keamanannya,” jelasnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat