Penandatangan Perjanjian Ibrahim antara AS, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Israel di Gedung Putih, Washington, September lalu. | AP Photo/Alex Brandon

Opini

Berdamai dengan Israel?

Melihat utang budi kita kepada Palestina, sebaiknya Indonesia tak melakukan normalisasi hubungan dengan Israel.

SMITH ALHADAR, Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies

Pada 13 Desember, Times of Israel yang mengutip Channel 12, melaporkan, Indonesia akan melakukan normalisasi hubungan dengan Israel sebelum Presiden AS Donald Trump lengser dari jabatan pada 20 Januari 2021.

Dikatakan, Arab Saudi dan AS berperan membujuk Indonesia mengikuti langkah beberapa negara Arab.

Menteri Intelijen Israel Eli Cohen, dalam wawancara radio yang dikutip The Jerusalem Post, menyebut Indonesia dalam radar normalisasi hubungan dengan Israel. Berita ini muncul beberapa hari setelah Indonesia memberikan calling visa kepada Israel.

Berita itu belum tentu benar.  Namun, ia muncul di tengah perubahan sikap beberapa negara Arab terhadap Israel. Dalam tiga bulan terakhir, empat negara Arab, yakni UEA, Bahrain, Sudan, Maroko menormalisasi hubungan dengan Israel.

Semua diperantarai Saudi. Riyadh, tinggal menunggu waktu yang tepat mengikuti jejak mereka. Toh, Riyadh telah mencabut larangan terbang pesawat sipil dari dan ke Israel yang melalui langit Arab Saudi.

Negara Arab yang berdamai dengan Israel, punya alasan demi kepentingan nasionalnya. UEA dan Bahrain, melihat Iran sebagai ancaman, bukan Israel.

 
Saudi berbagi pandangan ini dengan mereka, tetapi belum bisa membuka hubungan diplomatik dengan Israel karena menghadapi opini publiknya yang menentang Israel. 
 
 

Mereka menggeser prioritas politik luar negeri dari mendukung perjuangan Palestina ke perimbangan kekuatan vis a vis Iran. Israel, yang unggul dalam kekuatan militer daripada negara Timur Tengah mana pun, dipandang mitra strategis menghadapi Iran.

Saudi berbagi pandangan ini dengan mereka, tetapi belum bisa membuka hubungan diplomatik dengan Israel karena menghadapi opini publiknya yang menentang Israel. Raja Salman bin Abdul Aziz berkomitmen pada perjuangan Palestina merebut kemerdekaan.

Sudan hendak keluar dari isolasi internasional yang menghambat pertumbuhan ekonominya. Sejak 1993, AS memasukkan Sudan dalam daftar pendukung terorisme. Mereka sulit mendapat pinjaman internasional dan akses ekspor komoditas ke Eropa dan AS.  

Sementara itu, Khartoum terlilit utang luar negeri yang besar dan nilai mata uangnya anjlok di hadapan dolar AS.

Dalam konteks inilah, Sudan menormalisasi hubungan dengan Israel sebagai syarat dicabutnya Sudan dari daftar hitam itu. Dan AS telah melakukannya. Lain lagi alasan Maroko menormalisasi hubungan dengan Israel.

Sejak 1975, setelah Spanyol meninggalkan koloninya di Sahara Barat, Maroko menyerbu wilayah itu yang telah memproklamasikan berdirinya Republik Demokrasi Arab Sahrawi. Pasukan Maroko mendapat perlawanan dari Front Polisario hingga hari ini.

Pendudukan Maroko atas Sahara Barat yang kaya fosfat dan ikan itu tak diakui internasional. Sebagai imbalan berdamai dengan Israel, AS mengakui Sahara Barat sebagai milik Maroko dan memberikan bantuan peralatan militer senilai satu miliar dolar AS untuk Maroko.

 
Israel tak mengeluarkan sepeser pun sebagai imbalan ke negara Arab yang menormalisasi hubungan dengannya. 
 
 

Andaikan Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel, kompensasi apa yang akan didapat dari Israel? Tidak ada. Paling-paling mengharapkan kedatangan wisatawan Israel dan sedikit investasi dari perusahaan Israel.

Israel tak mengeluarkan sepeser pun sebagai imbalan ke negara Arab yang menormalisasi hubungan dengannya. Dalam perjanjian damai UEA dan Bahrain, Israel hanya menangguhkan pencaplokannya atas 30 persen Lembah Yordan di Tepi Barat, bukan membatalkannya.

Ketika memberikan calling visa kepada Israel, alasan utama Indonesia adalah mengakomodasi hak-hak kemanusiaan para pasangan kawin campur, baru kemudian untuk tujuan investasi, bisnis, dan bekerja.

Memang hanya ini yang bisa diharapkan dari Israel. Sebaliknya, kalau terjadi normalisasi hubungan Indonesia-Israel, justru rezim Zionis itu yang akan mengeruk keuntungan paling besar.

Pertama, di bidang ekonomi, Israel akan mendapatkan pasar Indonesia yang besar, sebaliknya pasar Israel untuk produk Indonesia sangat terbatas. Benar, Indonesia akan didatangi turis Israel, tetapi orang Indonesia yang melancong ke Israel jauh lebih besar.

 
Negara Muslim lain akan mengikuti jejak Indonesia, yang berdampak pada pelemahan perjuangan Palestina. Ini salah satu sasaran utama Israel.
 
 

Tak sedikit peziarah Kristen dan Muslim yang  mengunjungi tanah suci Yerusalem. Israel juga akan mendapat pemasukan besar dari Indonesia melalui penjualan teknologi canggihnya. Di bidang politik, Israel juga akan mendapat keuntungan paling besar.

Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Pengakuannya atas Israel akan menciptakan efek domino. Negara Muslim lain akan mengikuti jejak Indonesia, yang berdampak pada pelemahan perjuangan Palestina. Ini salah satu sasaran utama Israel.

Dalam merespons berita tentang Indonesia akan menormalisasi hubungan dengan Israel, juru bicara Kemenlu RI, Teuku Faizasyah mengatakan, Kemenlu tak mengambil langkah seperti yang ditulis media di atas dan ia tak tahu latar belakang tulisan itu.

Menurut dia, sampai saat ini Jakarta masih berpegang pada konstitusi dan melanjutkan dukungan pada kemerdekaan Palestina.

Melihat utang budi kita kepada Palestina dan kemungkinan dampak buruk pada kehidupan politik nasional jika Indonesia berdamai dengan Israel,  memang sebaiknya Indonesia tak melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Setidaknya untuk saat ini. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat