Menjelang Sumpah Pemuda 1928, banyak bertumbuhan organisasi kepemudaan di penjuru Tanah Air. Jong Islamieten Bond menjadi cukup unik karena mengusung semangat nasional sedari awal berdirinya | DOK ANTARA Abriawan Abhe

Tema Utama

Jejak Perjuangan Jong Islamieten Bond

Sejarah Jong Islamieten Bond bermula dari gejolak dalam Jong Java sejak kongres tahun 1924.

OLEH HASANUL RIZQA

Awal abad ke-20 membuka babak baru dalam sejarah nasional. Peranan kaum muda lebih menonjol. Beberapa tahun jelang Sumpah Pemuda, Jong Islamieten Bond terbentuk dengan semangat persatuan di atas perbedaan.

Pergerakan Pemuda Indonesia 1900-1930

Pada saat memasuki abad ke-20, perjuangan Indonesia mengawali babak baru. Maraknya perlawanan bersenjata mulai tergantikan kemunculan pergerakan-pergerakan.

Dalam rangka menyusun kekuatan sosial dan politik, lahirlah beberapa organisasi yang dibentuk kalangan pribumi. Sebagai contoh, Sarekat Dagang Islam (16 Oktober 1905), Budi Utomo (20 Mei 1908), Indische Vereeniging (22 Desember 1908), Muhammadiyah (18 November 1912), Nahdlatul Ulama (31 Januari 1926), serta Partai Nasional Indonesia (4 Juli 1927).

Perubahan corak perjuangan itu turut dipicu pihak penjajah sendiri. Belanda mulai memberlakukan Politik Etis sejak Alexander WF Idenburg menjadi menteri koloni pada 1902. Politik Etis didasari suatu pemikiran, Belanda memiliki utang tanggung jawab moral (ereschuld) terhadap bangsa jajahannya. Sebab, berbagai kemakmuran yang dinikmati Negeri Tanah Rendah berasal dari pemerasan hasil bumi dan tenaga rakyat Hindia Belanda atau Indonesia.

Politik Etis sesungguhnya adalah sebuah proyek kolonial. Cikal bakalnya dapat ditelusuri sejak Christiaan Snouck Hurgronje menjadi penasihat pemerintah Hindia Belanda pada 1889. Profesor Universitas Leiden yang fasih berbahasa Arab dan Melayu itu menghendaki koeksistensi antara Belanda dan Hindia di masa depan.

Untuk itu, pemilik nama alias Haji Abdul Ghaffar itu berharap, pribumi —utamanya Muslimin— Hindia Belanda mampu beradaptasi dengan ide-ide baru dari tradisi liberalisme Eropa Barat abad ke-19.

Caranya tentu melalui pendidikan. Jumlah rakyat Hindia Belanda yang menempuh sekolah-sekolah Barat pun meningkat. Jajat Burhanudin dalam Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (2017) menjelaskan, kaum pribumi terdidik itu melonjak dari hanya 269.940 orang pada 1900 menjadi 1,7 juta pada 1930-an.

Jumlahnya sangat kecil, tak lebih dari tiga persen, bila dibandingkan dengan keseluruhan penduduk. Hal itu pun menandakan Belanda memang sedari awal tak berkomitmen untuk memeratakan pendidikan di negeri jajahan.

Namun, golongan yang sedikit secara kuantitas itu kemudian menjadi sangat berpengaruh. Mereka tampil sebagai bangsawan baru bukan karena darah atau keturunan, melainkan pemikiran dan tindakan. Merekalah minoritas kreatif yang akhirnya menentukan alur sejarah Indonesia.

 
Merekalah minoritas kreatif yang akhirnya menentukan alur sejarah Indonesia.
 
 

Nyaris seluruh penggerak organisasi-organisasi nasionalis pada awal abad ke-20 merupakan anak-anak muda. Indische Vereeniging, misalnya, didirikan para mahasiswa Indonesia di Belanda. Awalnya hanya bersifat sosial, tetapi sejak akhir Perang Dunia I organisasi tersebut meneguhkan sikap politik antikolonialisme. Namanya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia.

Pemimpinnya adalah seorang pemuda 24 tahun, Mohammad Hatta, yang saat itu menempuh studi ekonomi di Rotterdam. Sukarno juga masih berusia belia, 26 tahun, tatkala mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) bersama dengan kawan-kawannya dari Algemeene Studie-club Bandung.

photo
Foto para pendiri PNI yang merupakan arsip dari gedung Museum Sumpah Pemuda. - (DOK Wikipedia)

Nasionalisme pemuda

Dardiri Husni dalam tesisnya untuk McGill University, “Jong Islamieten Bond: A Study of A Muslim Youth Movement in Indonesia During the Dutch Colonial Era 1924-1942” (1998) menjelaskan, perkembangan gerakan intelektual muda pribumi Indonesia pada awal abad ke-20 terjadi dalam dua tahapan.

Pertama, pengadopsian identitas etnis. Ini berlangsung antara tahun 1908 dan 1925. Fase tersebut ditandai dengan kemunculan Budi Utomo, yang didirikan dua mahasiswa Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA di Batavia (Jakarta), Raden Soetomo dan Gunawan Mangun Kusumo.

Berbeda dengan Sarekat Islam yang sejak awal berdirinya diarahkan kepada rakyat Indonesia dari berbagai suku bangsa, Budi Utomo semata-mata merupakan himpunan untuk Jawa. Pandangan dan perhatiannya secara sosio-kultural hanya menarik perhatian penduduk Jawa Tengah. Itu pun terbatas pada kalangan pemuda terpelajar dan kaum ningrat.

Husni mengatakan, hingga Juli 1908 keanggotaan Budi Utomo mencakup 650 orang. Cabang-cabangnya terbentuk di beberapa kota besar di Jawa. Akan tetapi, pengaruh kaum muda terpelajar di organisasi tersebut seiring waktu kian meredup.

Sementara, hegemoni kalangan priyayi justru semakin terasa. Keadaan itu menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pelajar Jawa. Sebab, Budi Utomo cenderung menjadi panggung bagi kaum tua, yakni priyayi, sedangkan kaum mudanya tersisihkan. Mereka yang tidak puas dengan kondisi tersebut lantas mendirikan organisasi baru, Tri Koro Dharmo, pada 1915.

Dalam tiga tahun berikutnya, perkumpulan itu mendirikan cabang di berbagai daerah Jawa. Sama seperti Budi Utomo, kehadiran Tri Koro Dharmo tidak terlalu menimbulkan minat para pelajar non-Jawa, seumpama Sunda atau Bali.

photo
Propaganda PNI pada tahun 1920-an. - (DOK Wikipedia)

Sejarawan Prof Ahmad Mansur Suryanegara memandang, Tri Koro Dharmo tak ubahnya Budi Utomo. Menurut penulis Api Sejarah (2009) itu, Budi Utomo mengusung paham Jawa Raya serta menolak pelaksanaan visi persatuan Indonesia. Ide tentang cita-cita persatuan Indonesia, kata dia, justru terlahir dari Kongres Jong Islamieten Bond pada 1925.

Suryanegara mengatakan, Soetomo dan kawan-kawan didukung pemerintah kolonial Belanda karena ingin meredupkan pergerakan keislaman, khususnya Djamiat Choir. Organisasi yang berfokus pada dunia pendidikan itu didirikan kelompok sayyid Arab di Jakarta pada 17 Juli 1905—tiga tahun sebelum Budi Utomo. Bahkan, jelasnya, nama Budi Utomo terinspirasi dari Jam’iyah al-Khair, ‘jamaah yang baik'.

“Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa (‘jamaah yang baik’) menjadi Boedi Oetomo. Djamiat Choir lebih mengutamakan amal saleh menurut ajaran Islam, Boedi Oetomo juga mengutamakan laku utama menurut ajaran Agama Jawa,” tulis guru besar ilmu sejarah Universitas Padjajaran itu.

Tri Koro Dharmo mengadakan kongres pertamanya di Solo, Jawa Tengah, pada 1918. Sejak itu, namanya berubah menjadi Jong Java. Artinya, ‘Pemuda Jawa'. Perubahan nama tersebut merupakan strategi untuk menimbulkan citra baru yang lebih inklusif. Pemuda pribumi non-Jawa pun mulai tertarik untuk mengikuti perkumpulan itu.

photo
Foto para pendiri Jong Java di arsip Museum Sumpah Pemuda - (DOK Wikipedia)

Husni menjelaskan, tiap calon anggota Jong Java harus berikrar untuk tidak terjun dalam aktivitas politik apa pun. Fokus diarahkan pada ranah pendidikan dan budaya (Jawa) saja. Sejalan Budi Utomo, Jong Java pun mengimpikan terciptanya Jawa Raya, suatu kesatuan yang mencakup Pulau Jawa, Madura, dan Bali.

Eksistensi Jong Java menimbulkan antusiasme di kalangan terpelajar pribumi. Maka berdirilah pelbagai organisasi serupa di penjuru Nusantara. Sebut saja, Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918), Sekar Rukun Jawa Barat (1919), dan Kaum Betawi (1923). Masing-masing terikat pada identitas kedaerahannya. Inilah tren yang mendominasi gerakan intelektual muda Indonesia hingga 1925.

Jong Islamieten Bond

Menurut Husni, tahapan kedua dari genesis gerakan pemuda terpelajar di Tanah Air awal abad ke-20 ditandai dengan terbentuknya Jong Islamieten Bond (JIB). Berbeda dengan seluruh organisasi kepemudaan (jong) yang ada sebelumnya, JIB tidak dikhususkan untuk identitas etnis tertentu.

Sifatnya plural karena menerima secara terbuka keanggotaan dari berbagai suku bangsa Indonesia. Dari sanalah, kesadaran nasionalisme tumbuh subur dan menguat di antara unsur pimpinan, para anggota dan kader perhimpunan tersebut.

Sejarah Jong Islamieten Bond bermula dari gejolak dalam Jong Java sejak kongres tahun 1924. Ketua Jong Java saat itu, Raden Sjamsuridjal, mengusulkan kepada hadirin untuk mengagendakan kursus tentang Islam sebagai salah satu program tahun-tahun mendatang.

photo
Raden Sjamsuridjal tatkala menjabat sebagai wali kota Jakarta. Pada 1925, ia menginisiasi berdirinya Jong Islamieten Bond di Batavia (Jakarta) setelah meletakkan jabatan di Jong Java - (DOK WIKIPEDIA)

Alasannya, Islam merupakan agama yang dipeluk kebanyakan pribumi. Sebagai calon pemimpin di tengah masyarakat, menurut Sjamsuridjal, para anggota Jong Java dipandang perlu untuk mengenal lebih dekat ajaran agama tersebut. Apalagi, pada faktanya cukup banyak di antara mereka yang beragama Islam.

Ia pun menghendaki kursus Islam tersebut tidak wajib bagi seluruh anggota Jong Java. Siapa pun yang tertarik, dipersilakan hadir. Namun, proposalnya kemudian ditolak mayoritas peserta kongres. Hal itu cukup aneh. Sebab, beberapa kursus spiritual-keagamaan sudah diagendakan di Jong Java, seperti kajian tentang Kristen dan Teosofi. Mengapa giliran Islam ditolak?

photo
Tokoh Jong Islamieten di Museum Sumpah Pemuda - (DOK Wikipedia)

Kongres itu dihadiri sejumlah tamu undangan, termasuk Haji Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan KH Ahmad Dahlan. Para tokoh senior itu dapat merasakan kekecewaan sang ketua Jong Java.

Pada Desember 1924, ketiganya bertemu dengan Sjamsuridjal dan kawan-kawan di sebuah sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta. Pertemuan itu menghasilkan komitmen untuk membentuk suatu organisasi kepemudaan baru yang berasaskan Islam. Inilah cikal bakal JIB.

Pada Januari 1925, Sjamsuridjal memutuskan untuk meletakkan jabatan ketua Jong Java. Sesudah itu, sosok yang kelak menjadi wali kota Jakarta 1951-1953 tersebut terus menggalang dukungan demi mewujudkan perkumpulan baru. Akhirnya, pada 1 Maret 1925 JIB berdiri resmi di Jakarta.

Husni mengatakan, JIB terbentuk dengan semangat kaum muda Muslim terpelajar yang sedang meneguhkan jati diri di tengah hegemoni dan dominasi kolonialisme Barat. Tidak ada tendensi sebuah partai politik.

Di hari pertama pembentukannya, organisasi ini berhasil merekrut 250 orang pengikut. Perkumpulan itu tidak membatasi keanggotaan pada suku etnis tertentu, melainkan hanya pada rentang usia —14 hingga 30 tahun. Anggaran dasarnya juga tak mengekang. Misalnya, anggota boleh beraktivitas di ranah politik, asalkan tidak membawa nama JIB.

 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat