Orang tua siswa membimbing anaknya belajar daring memanfaatkan jaringan internet gratis di kolong rel kereta api Mangga Besar, Jakarta, Rabu (26/8). | ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Opini

Kenal Anak Lebih Dekat

Saat pandemi, anak dari keluarga miskinlah yang paling terdampak.

ANGGI AFRIANSYAH, Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

Policy Brief: Education During Covid-19 and Beyond yang dirilis PBB, Agustus 2020 menyebutkan, krisis akibat pandemi memperburuk kesenjangan pendidikan daripada masa sebelumnya.

Mereka yang tinggal di daerah miskin, perdesaan, anak perempuan, pengungsi, dan penyandang disabilitas paling terdampak. Sekitar 23,8 juta anak dan remaja tambahan (dari pra-sekolah dasar hingga tersier) mungkin putus sekolah atau tidak memiliki akses ke sekolah tahun depan karena dampak ekonomi pandemi.

Kondisi yang sama dirasakan dunia pendidikan di Indonesia. Saat pandemi, siswa dari keluarga miskinlah yang paling terdampak. Mereka memiliki ragam keterbatasan sehingga tak bisa mengikuti kegiatan pembelajaran jarak jauh, yang sepenuhnya mengandalkan internet.

 
Jihad bagi guru yang mengajar anak-anak keluarga miskin dan yang tidak terakses fasilitas memadai, berlipat-lipat.
 
 

Mereka kesulitan mengikuti pembelajaran melalui TVRI sebab tak punya televisi. Ini tak hanya terjadi di wilayah terdepan, terpencil, tertinggal (3T), tapi juga di perkotaan, terutama mereka yang merupakan bagian dari keluarga miskin. Anak-anak keluarga miskin kesulitan mengikuti pembelajaran.

Sebab, peralihan pembelajaran di layar gawai tak dapat mereka ikuti. Belajar dari rumah pun hal yang sulit karena kapasitas orang tua dalam mendampingi anak-anak menjadi salah satu problemnya. Orang tua mesti keluar rumah agar dapur tetap ngebul.

Jihad bagi guru yang mengajar anak-anak keluarga miskin dan yang tidak terakses fasilitas memadai, berlipat-lipat.  Mereka harus mendatangi rumah siswanya dan  melakukan berbagai strategi agar anak-anak tidak tertinggal.

Dalam suatu webinar, seorang ibu guru bercerita, dengan mengunjungi siswa langsung memang tak dapat sepenuhnya mengejar ketertinggalan belajar, tetapi setidaknya ia berupaya agar anak-anak tetap diperhatikan dan tak merasa ditinggalkan.

 
Tahapan pertama memberikan pelajaran saat adalah berdialog dengan orang tua dan siswa tentang kondisi mereka.
 
 

Perhatian

Perhatian guru, hal utama bagi siswa. Bagi keluarga miskin, dalam situasi pandemi jelas semakin terpinggirkan. Jika guru tak memberi perhatian dan kasih, mereka kian tertinggal.

Situasi pandemi ini membuat guru yang memiliki hati tetap berupaya memberikan yang terbaik. Meski banyak pembatasan dan perjumpaan kian sulit, guru tetap mengambil risiko.

Kondisi ini pun membuat guru memiliki ruang lebih intensif untuk mengenal siswanya. Tahapan pertama memberikan pelajaran saat adalah berdialog dengan orang tua dan siswa tentang kondisi mereka.

Saudara penulis yang mengajar anak-anak berlatar belakang keluarga miskin bercerita, selama pandemi  mendapatkan pelajaran beharga. Menurut ceritanya, karena keterbatasan siswanya, sesekali ia harus mengunjungi siswanya.

Ada momen, ia bertemu di rumah setelah mereka mengumpulkan barang bekas, karena si anak berasal dari keluarga pengumpul barang bekas. Ada juga momen ia harus ke lokasi hiburan malam, sebab siswa tinggal di kompleks hiburan malam.

Ketika ia datang, petugas keamanan mencurigainya, sebab ia perempuan berjilbab dan tampak aneh karena datang ke lokasi hiburan. Setelah menjelaskan ia seorang guru dan datang untuk mengajar siswa yang tinggal di situ, sekuriti pun mengizinkannya.

Ada banyak pengalaman. Ia jadi tahu, siswanya banyak dari golongan miskin, juga tak semua anak tinggal di lingkungan yang mudah untuk belajar secara tenang. Mengunjungi siswanya menjadi ziarah yang memperkaya batin. Menggugah diri untuk lebih semangat mendidik.

Komitmen

Paul Gorski (2018) dalam buku Reaching and Teaching Students in Poverty: Strategies for Erasing the Opportunity Gap menyebut, pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin memerlukan pendekatan khusus.

Salah satu konsep yang harus diperhatikan, komitmen kepada keadilan dan distribusi yang fair terhadap akses dan kesempatan.

 
Mereka yang masih termarginalkan perlu mendapatkan perhatian intensif, karena bukankah pendidikan adalah hak setiap anak bangsa? 
 
 

Pertanyaan yang kemudian harus diajukan, apakah anak-anak miskin memiliki akses memadai, biaya tambahan untuk belajar, guru-guru terbaik, dan lingkungan ramah bagi perkembangan mereka? Jika belum, pemerintah harus mengupayakannya.

Di garda terdepan, otoritas sekolah melalui guru harus memberikan perhatian ekstra bagi anak-anak keluarga miskin. Ikhtiar guru memberikan perhatian lebih dengan mengunjungi, bertanya apa yang mereka butuhkan merupakan upaya mengurangi kesenjangan.

Komitmen guru penting, tetapi upaya struktural oleh otoritas pendidikan, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Pendidikan di provinsi ataupun kabupaten/kota menjadi sangat penting.

Perhatian terhadap siswa yang memiliki gawai dengan pemberian kuota, belum cukup menunjukkan keberpihakan kepada mereka yang marginal. Selama ini, fokus kebijakan melalui perbaikan program pembelajaran jarak jauh.

Namun, bagi yang tidak terakses, perhatian dari pemerintah masih relatif minim. Mereka yang masih termarginalkan perlu mendapatkan perhatian intensif, karena bukankah pendidikan adalah hak setiap anak bangsa? 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat