Warga Palestina melemparkan batu ke arah pasukan Israel dalam aksi unjuk rasa menentang pendudukan di Nablus, 11 September lalu. | EPA-EFE/ALAA BADARNEH

Tajuk

Sejarah Kelam

Jika normalisasi tak membawa keadilan bagi rakyat Palestina, jelas itu sejarah kelam.

Diawali oleh Uni Emirat Arab (UEA), disusul Bahrain, yang memulai babak baru dalam relasinya dengan Israel. UEA dan Bahrain meresmikan hubungan penuh diplomatik dengan Israel yang diteken di Gedung Putih, Amerika Serikat, Selasa (15/9) waktu setempat.

Presiden AS Donald Trump menjadi tuan rumah seremoni penandatanganan normalisasi hubungan diplomatik tersebut. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tampak diapit Menlu Bahrain Abdullatif Al Zayani, Donald Trump, dan Menlu UEA Sheikh Abdullah bin Zayed al-Nahyan.

Sebelum seremoni, Trump bertemu Netanyahu di Oval Office. Trump menyebut, setidaknya ada lima negara lain yang bakal mengikuti UEA dan Bahrain. Mereka segera bersepakat dengan Israel. Salah satu yang disebut, Arab Saudi.

Trump menyatakan, Saudi akan menormalisasi hubungan dengan Israel pada waktu yang tepat. Sinyal normalisasi UEA dengan Israel ditandai penerbangan langsung Tel Aviv-Abu Dhabi, akhir Agustus lalu.

 

 
Perdamaian semacam apa yang diinginkan dari normalisasi hubungan diplomatik Israel-UEA-Bahrain ini? Perdamaian bagi siapa tercapainya kesepakatan ini?
 
 

 

Pesawat El Al Israel melakukan penerbangan bersejarah selama tiga jam membawa pejabat Israel dan AS. Penerbangan ini membawa pesan penting jika melihat rute yang dilalui. Melintasi wilayah udara Saudi, yang biasanya diblokir bagi lalu lintas udara Israel.

Setelah pesawat mendarat di Abu Dhabi, salah satu penumpang pesawat, menantu Donald Trump yang juga penasihat senior, Jared Kushner, menyebut kesepakatan UEA-Israel sebagai terobosan bersejarah.

Trump menamakan kesepakatan normalisasi hubungan Israel-UEA dan Bahrain sebagai fajar Timur Tengah baru. Normalisasi menandai wajah baru Timur Tengah. Netanyahu mengistilahkannya, titik balik sejarah sebagai fajar baru perdamaian.

Tentu definisi perdamaian ini bisa beragam makna. Perdamaian semacam apa yang diinginkan dari normalisasi hubungan diplomatik Israel-UEA-Bahrain ini? Perdamaian bagi siapa tercapainya kesepakatan ini?

Bagaimana nasib rakyat Palestina sebagai korban penjajahan Israel pada era modern? Apakah normalisasi ini mempercepat pendirian negara Palestina yang merdeka dan berdaulat?

Di jazirah Arab, UEA memang punya peran penting. Kekuatan ekonomi dan kedekatan politiknya dengan AS membuat 'penaklukan' UEA oleh Israel merupakan pijakan penting dalam penguasaan geopolitik wilayah Teluk.

 
Bahrain merupakan titik penting dalam perang pengaruh melawan Iran. Di Bahrain terdapat pangkalan Angkatan Laut AS yang berfungsi sebagai landasan peluncuran bagi serangan darat dan laut dari ancaman militer Iran.
 
 

Bagaimana dengan Bahrain? Negara berpenduduk 1,6 juta jiwa berdasarkan sensus pada 2018 itu, tampak tidak begitu penting. Namun, lompatan jauh tidak mungkin terjadi bila tidak ada langkah kecil sebelumnya.

Bahrain merupakan titik penting dalam perang pengaruh melawan Iran. Di Bahrain terdapat pangkalan Angkatan Laut AS yang berfungsi sebagai landasan peluncuran bagi serangan darat dan laut dari ancaman militer Iran.

"Manama hanyalah terminal dari rute normalisasi Israel yang mengarah ke tujuan akhir, yakni Riyadh," demikian harian Israel, Haaretz, menuliskan latar belakang normalisasi dengan Bahrain.

Ketika musim semi Arab pada 2011 menyebar ke Bahrain, Kerajaan Saudi mendukung penuh pemerintahan yang berkuasa saat ini. Saudi punya peran mempertahankan Bahrain sebagai titik 'perlindungan' dari ancaman Iran.

Hal ini mengingat lebih dari separuh warga Bahrain adalah penganut Syiah yang didukung Iran. Apakah Saudi menjadi incaran berikutnya dari normalisasi Israel? Trump sudah memberikan isyarat meski politik merupakan hal dinamis. Bisa terjadi, bisa gagal.

Terlepas dari itu semua, apa pun nama kesepakatan dalam meredam konflik Israel-Palestina haruslah mengacu pada kepentingan rakyat Palestina. Normalisasi yang dilobi Israel dengan dukungan AS, tak bermakna jika warga Gaza masih hidup teralienasi.

Hidup di wilayah seluas 365 km persegi atau seukuran jarak Jakarta-Bogor, tapi dihuni hampir dua juta jiwa, dengan keterbatasan pasokan makanan dan perlengkapan keseharian lainnya, menjadikan mereka hidup dalam penjara raksasa.

Apakah normalisasi ini berbuah kebebasan warga Palestina untuk menjalankan ibadah di Masjidil Aqsa? Apakah luas wilayah Palestina tidak menyempit dengan masifnya pembangunan permukiman-permukiman Yahudi pascanormalisasi?

Ironisnya, komunitas internasional membisu terhadap fakta-fakta penderitaan rakyat Palestina. Warga dunia seakan tutup mata melihat kejahatan kemanusiaan yang vulgar. Jika kesepakatan normalisasi tak membawa keadilan bagi rakyat Palestina, jelas itu sejarah kelam bagi nilai-nilai kemanusiaan yang universal. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat