Barong diarak keliling kampung didampingi petugas kesehatan pada ritual adat Barong Ider Bumi di Desa Adat Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (25/5). Tradisi suku Osing yang dilaksanakan setiap hari ke dua dihari Raya Idul Fitri ini guna mengusir page | BUDI CANDRA SETYA/ANTARA FOTO

Kisah Dalam Negeri

Melihat Kembali Pandemi pada Masa Lalu

Saat itu, kurangnya dokter juga jadi penyebab korban pandemi influenza meningkat.

OLEH WILDA FIZRIYANI

Pandemi bukan kali pertama terjadi di dunia. Pada masa lalu, kondisi yang hampir mirip dengan pandemi Covid-19 sudah pernah terjadi. Sejarawan Universitas Indonesia Tri Wahyuning M Irsyam mengatakan, kondisi pandemi Covid-19 mirip dengan kondisi saat terjadi wabah flu spanyol pada 1918.

Petugas pemerintah kolonial rutin berkeliling menggunakan mobil untuk menyosialisasikan bahwa penyakit itu mematikan, lebih baik di rumah saja, memakai masker, dan menjaga kebersihan," kata Tri dalam acara bincang-bincang Satuan Tugas Penanganan Covid-19 yang disiarkan melalui kanal Youtube BNPB Indonesia dari Gedung Graha BNPB, Jakarta, Sabtu (1/8).

Tri mengatakan, hal itu dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda karena tidak semua orang pada saat itu bisa membaca koran dan mendapatkan informasi yang benar. Pemerintah kolonial menggunakan cara-cara sosialisasi secara langsung agar masyarakat pendudukan tidak menganggap remeh dan tetap waspada terhadap flu spanyol yang sedang mewabah.

Tri mengatakan, pada masa awal flu spanyol terjadi, hampir tidak ada yang siap baik pemerintah negara-negara di dunia maupun masyarakatnya. Ketidaksiapan itu terlihat dari penanganan yang lamban. Ketika wabah penyakit itu mulai terjadi, dan beberapa orang mulai memperlihatkan gejala-gejala tertentu, para petinggi sejumlah negara seolah-olah abai dengan fenomena yang terjadi di masyarakat.

Begitu pula dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ketika sudah ada laporan dari daerah melalui telegram yang menyatakan sudah ada banyak korban, di antaranya dari Bali dan Banyuwangi, laporan itu tertahan di lembaga yang secara administratif setara dengan sekretariat negara selama berbulan-bulan. "Karena tidak mendapat tanggapan, pemerintah kolonial di daerah akhirnya menjadi panik dan menyerahkan kepada masyarakat agar bertindak sendiri," katanya. 

Selain Flu Spanyol, wabah pes juga pernah terjadi di Hindia Belanda pada awal abad XX. Sejarawan publik dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas Indonesia Kresno Brahmantyo menyebut, kala itu, wabah ini menjadi salah satu pendorong munculnya nasionalisme di kalangan pribumi. "Ada peran dokter Jawa, salah satunya Tjipto Mangunkusumo yang memang sudah turun ke lapangan sejak terjadi wabah pes," kata dia.

Bukan hanya wabah pes, flu spanyol juga menjadi salah satu pendorong nasionalisme. Sebab, saat wabah-wabah itu terjadi, dokter-dokter dan tenaga kesehatan Belanda tidak mau bersentuhan, bahkan cenderung tidak peduli dengan warga pribumi. Sikap dokter dan tenaga kesehatan Belanda itu membuat kesal para dokter Jawa, yang juga ikut memengaruhi sikap para calon dokter pribumi yang sedang bersekolah di Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA).

Melalui mahasiswa-mahasiswa STOVIA itulah kemudian berdiri perkumpulan nasionalis Budi Utomo pada 20 Mei 1908, yang tanggal pendiriannya kemudian ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. "Sikap dokter dan tenaga kesehatan Belanda yang tidak mau bersentuhan dengan warga pribumi itu kemudian memunculkan mantri-mantri pribumi," tutur Kresno.

photo
Warga menggelar selamatan di petilasan buyut Cili di Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur, Ahad (29/3). Ritual selamatan warga di petilasan buyut Cili itu, menjadi tradisi sebagian warga suku Osing untuk mengungkapkan rasa syukur dan meminta agar terhindar dari pagebluk (wabah). - (ANTARA FOTO)

Ketika flu spanyol juga melanda Hindia Belanda, para mantri pribumi bersama mahasiswa-mahasiswa STOVIA aktif menyosialisasikan protokol kesehatan kepada masyarakat. Protokol kesehatan saat itu hampir sama dengan pandemi Covid-19 saat ini, yaitu tetap tinggal di rumah dan beristirahat. Menurut Kresno, pemerintah kolonial Hindia Belanda juga melibatkan para dalang untuk menyosialisasikan protokol kesehatan kepada masyarakat melalui pergelaran wayang.

Peneliti sejarah wabah, Syefri Lewis, menjelaskan, pandemi influenza tiba di Hindia Belanda pada Juli 1918.

Saat itu, keberadaan influenza juga sempat dibantah pemerintah. Padahal, pada awal 1918, Konsulat Jenderal (Konjen) Belanda di Hong Kong dan Singapura sudah mengingatkan pandemi tersebut.

"Mereka (pemerintah kolonial Hindia Belanda--Red) menilai influenza enggak mungkin masuk Indonesia, tapi ternyata Juli masuk langsung banyak meninggal dunia," kata Syefri. Setelah mengetahui keberadaan pandemi, pemerintah mulai membagikan masker pada November 1919. Hal ini penting dilakukan karena influenza telah menyebabkan 1,5 juta jiwa meninggal dunia. Namun, berdasarkan data suatu lembaga pada 2013, jumlah korban dapat mencapai 4,3 juta.

Saat itu, masalah kurangnya dokter juga menjadi penyebab meningkatnya jumlah korban influenza. Perbandingannya, satu dokter setidaknya harus mengobati 15 ribu pasien. Lebih parahnya lagi, dokter Belanda hanya mau melayani pasien Eropa dan warga bumiputra serta Cina yang kaya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat