Suasana jual beli di salah satu pasar, beberapa waktu lalu | Dok EPA

Kabar Utama

Jalan Terjal Menjauhi Resesi Ekonomi

Jalan menjauhi resesi ekonomi masih sangat terjal dan rumit.

OLEH AGUNG P VAZZA

Sekitar enam atau tujuh bulan lalu, pandemi Covid-19, boleh jadi tidak masuk radar risiko perekonomian global maupun regional. Sekitar tiga bulan lalu, setelah pandemi merebak, sempat muncul harapan pandemi bisa dengan cepat ditangani. Kini, pandemi benar-benar menyita perhatian seluruh dunia.

Pembatasan kegiatan dan aktivitas sosial ekonomi belum benar-benar mampu menghentikan pandemi. Pemangku kebijakan di hampir seluruh dunia sudah pula mengeluarkan stimulus dengan angka fantastis demi menahan pandemi sekaligus menyelamatkan perekonomian. 

Pandemi tetap belum tertahan. Perekonomian global dan regional memasuki paruh kedua 2020 dengan bayang-bayang mengerikan; resesi ekonomi. Bayang-bayang itu menjadi semakin nyata ketika sejumlah negara perekonomian maju, resmi, secara teknis mengalami resesi, dengan indikasi umum pertumbuhan ekonomi terkontraksi besar dalam dua kuartal berturut-turut.

Singapura, pertengahan Juli lalu, resmi menyatakan resesi. Secara tahunan pada Kuartal II 2020 terjadi kontraksi -12,6 persen. Secara kuartalan, terkontraksi sampai -41,2 persen. Sedangkan pada kuartal I 2020, secara tahunan terkontraksi -0,3 persen dan secara kuartalan mencapai -3,3 persen. Resesi Singapura disebut-sebut merupakan resesi terburuk, bahkan sejak menjadi sebuah negara pada 1965.

Sekitar sebulan sebelumnya, Jepang sudah lebih dulu masuk resesi. Lalu, menjelang akhir Juli lalu, giliran Korea Selatan menyusul. Perekonomian terbesar keempat di Asia itu dalam kurun April-Juni, pertumbuhannya terkontraksi -2,9 persen, secara tahunan. Sebelumnya, dalam Kuartal I juga terkontraksi -1,3 persen. Korea pun masuk jurang resesi pertama dalam dua dekade terakhir. Di belahan dunia lain, Jerman dikabarkan sudah pula memasuki resesi.

photo
Prakiraan Pertumbuhan PDB Riil - (OECD Economic Outlook June 2020)

Bagaimana dengan Indonesia? Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sepanjang kuartal I 2020 masih tumbuh positif, pada posisi 2,97 persen. Sedangkan pertumbuhan Kuartal II hampir pasti mengalami kontraksi ke zona negatif, diperkirakan di kisaran -3,5 persen sampai 5,1 persen.

Jika pada kuartal III kontraksi kembali terjadi, maka Indonesia, secara teknis, memasuki masa resesi. Risiko ini jelas tidak bisa diabaikan. Pasalnya, meski Indonesia sudah melonggarkan pembatasan kegiatan sosial ekonomi, namun belum sepenuhnya pulih sehingga masih terbuka peluang kontraksi pertumbuhan kembali terjadi.

Pemerintahan dan penentu kebijakan banyak negara di dunia pastinya berusaha keras dan sangat berhati-hati melonggarkan pembatasan untuk mencegah meluasnya pandemi sekaligus menghindari resesi. Namun, harapan untuk bisa secepatnya memulihkan perekonomian pada 2021, seperti diperkirakan banyak lembaga global, agaknya mulai memudar.

Meski ada pelonggaran pembatasan, namun aktivitas perekonomian masih sangat rapuh, termasuk ancaman atau risiko pengangguran. "Pemulihan yang sebenarnya adalah ketika kita kembali ke posisi awal sebelum krisis. Kita masih sangat jauh dari itu," ungkap Kepala Ekonom Bank Dunia, Carmen Reinhart, dilansir Bloomberg.

Ketidakpastian

Gambaran tersebut rasanya cukup mengindikasikan perekonomian global, juga Asia, masih dipenuhi ketidakpastian. Dalam situasi dan kondisi seperti itu, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), meski beberapa perekonomian besar di kawasan sudah memasuki resesi, namun negara-negara di Asia masih relatif cukup kuat untuk bisa keluar dari krisis.

Lembaga ini membuat dua skenario perkiraan pertumbuhan PDB sejumlah negara di beberapa kawasan. Skenario pertama, merupakan skenario pandemi bisa ditangani tanpa menimbulkan pandemi gelombang kedua (second wave). Skenario kedua, pelonggaran menimbulkan second wave.

Kedua skenario itu mencerminkan seberapa berat dampak pandemi terhadap pertumbuhan PDB. Salah satu argumen yang diungkapkan menyangkut optimisme kebangkitan di Asia antara lain besarnya populasi dan tingginya adopsi teknologi. Faktor-faktor tersebut dinilai menjadi salah satu daya tarik dalam prospek investasi jangka panjang dari kawasan lain.

Hanya saja, disebutkan pula, negara-negara yang masih sangat bergantung pada ekspor, terutama ke Barat, masih cukup rentan lantaran munculnya babak baru perseteruan Amerika Serikat (AS) dan Cina. Dalam kondisi ini, negara-negara di kawasan diprediksi bakal lebih mencari model-model baru penguatan jaringan suplai regional atau bahkan lokal.

 
Pemulihan yang sebenarnya adalah kembali ke posisi sebelum krisis. Kita masih sangat jauh dari itu.
CARMEN REINHART, Kepala Ekonom Bank Dunia
 

 

Skenario dan prediksi tersebut mungkin saja memunculkan setitik optimisme. Tapi, tetap saja, kekhawatiran atas besarnya ketidakpastian, menjadikan pelaku ekonomi seperti berjalan dalam gelap. Joerg Wuttke, Presiden Kamar Dagang Uni Eropa (UE) di Cina, malah memprediksi ketidakpastian itu berlanjutkan sampai beberapa tahun ke depan.

"Proses pemulihan ekonomi mungkin bukan berbentuk V, bukan juga W, tapi lebih seperti mata gergaji, naik, turun, dan cukup menyakitkan," jelasnya. Kalau pun pandemi bisa diatasi secepatnya sesuai harapan, konflik geopolitik dan geoekonomi dua raksasa ekonomi dunia bakal memicu ketidakpastian.

Kalau pun ada satu-satunya kepastian, maka itu adalah perekonomian yang masih sangat sakit. Seluruh penentu kebijakan di Asia masih berupaya keras menghentikan penyebaran dan pandemi Covid-19. Bersamaan dengan itu, disibukkan pula dengan antisipasi dan mitigasi imbas pandemi terhadap perekonomian. Sebagian pembatasan sosial ekonomi memang sudah dilonggarkan, tapi pembatasan tetap pula diberlakukan.

Akibatnya, sebagian besar aktivitas ekonomi pun tetap terbatas. Selama vaksin belum ditemukan, pandemi berlanjut, dan belanja konsumsi melambat, sehingga banyak perusahaan mempertimbangkan kembali rencana investasi dan ekspansi. Maka, belanja pemerintah menjadi andalan.

 
Proses pemulihan ekonomi diprediksi seperti mata gergaji; naik, turun, dan menyakitkan.
JOERG WUTTKE, Presiden Kamar Dagang Uni Eropa di Cina
 

 

Sejumlah paket stimulus diluncurkan dengan tetap mengutamakan dukungan langsung pada sektor kesehatan. Stimulus tentu juga menopang sektor-sektor perekonomian yang terimbas, termasuk usaha kecil dan menengah. Bank-bank sentral di kawasan sudah pula mengeluarkan amunisinya berupa pemangkasan suku bunga, memperkuat likuditas, sampai quantitative easing.

Namun, kebijakan fiskal diprediksi memainkan peran lebih besar untuk meredam imbas penyebaran virus terhadap perekonomian. Langkah cepat memitigasi dampak ekonomi pandemi, termasuk melalui stimulus fiskal, jelas sebuah keharusan. Tapi, tentu saja, kemampuan fiskal pun sangat terbatas.

Di sisi moneter, bank-bank sentral diramalkan masih akan memilih opsi memangkas suku bunga. Pasalnya, pelonggaran defisit fiskal diperkirakan tak cukup cepat berdampak. Bank-bank sentral pun boleh jadi tak memainkan kekuatan penuh saat memangkas suku bunga, mengingat suku bunga saat ini dinilai sudah cukup rendah.

Penurunan lebih lanjut bisa saja tak berdampak signifikan terhadap kesulitan perekonomian. Mungkin, perlu pula menghindari agar tidak terlalu sering menggunakan suku bunga untuk memperbaiki sesuatu yang belum bisa dipecahkan. Ketika suatu saat nanti suku bunga dinaikkan kembali, meski secara bertahap, tak mustahil pula memicu masalah baru.

Upaya negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, menyeimbangkan langkah menghindari keruntuhan total perekonomian sekaligus mencegah gelombang baru pandemi, pastinya bukan perkara sederhana. Penentu kebijakan sudah mengeluarkan beragam stimulus dan jaring pengaman sosial.

Selain itu, agaknya perlu pula memperhatikan secara seksama mesin-mesin ekonomi yang mungkin bisa dihidupkan sehingga roda perekonomian bertahap kembali bergulir. Sebut saja misalnya industri dan ekonomi digital, yang dinilai berpeluang besar menjadi mesin baru pendorong pertumbuhan ekonomi.

 
Industri dan ekonomi digital dinilai berpeluang besar menjadi mesin baru pendorong pertumbuhan ekonomi.
 
 

 

Begitu pula korporasi dan dunia usaha. Pelonggaran memungkinkan dunia usaha beroperasi dalam kenormalan baru. Tinggal bagaimana kontribusi publik mencegah meluasnya pandemi, sesederhana kedisplinan memakai masker, menjaga jarak (menghindari kerumunan), dan mencuci tangan.

Tak ada satupun pemerintahan mampu memberi bantuan tunai untuk mencukupi kebutuhan setiap orang dalam pembatasan. Sebagian negara sudah memasuki resesi, dan banyak negara lain seperti sedang menunggu giliran. Pelonggaran aktivitas sosial ekonomi secara bertahap memang sudah dilakukan. Tapi jalan menuju pemulihan ekonomi, atau setidaknya menjauhi resesi, masih sangat terjal dan rumit.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat