Kotak suara | Pixabay

Inovasi

Media Sosial dalam Pertarungan Pilpres AS 

Perang kampanye di media sosial pada tahun ini akan menjadi isu yang kian krusial.

Kesuksesan Barack Obama berkampanye di Facebook, telah memberi arti baru dalam eksistensi media sosial. Kini, media sosial tak bisa dipisahkan dari berbagai peristiwa politik besar yang terjadi di berbagai belahan dunia. 

Menjelang datangnya pemilihan presiden AS yang akan digelar kurang dari 100 hari lagi, media sosial telah menjadi target kampanye iklan daring oleh presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan rivalnya Joe Biden. 

Mereka sama-sama menghujani media sosial dengan berbagai pesan kampanye untuk disampaikan kepada masyarakat AS. Profesor komunikasi politik Louisiana State University, Kathleen Searles mengatakan, memasang iklan-iklan di media sosial merupakan cara yang murah dan efektif bagi para calon presiden untuk menggalang dukungan. 

Dikutip dari Fortune, Biden telah menghabiskan ribuan dolar untuk beriklan di Facebook untuk menyampaikan berbagai pesannya. Dalam lusinan iklan di platform, dia meminta para pendukung untuk menandatangani petisi yang menyerukan kepada Facebook agar menghapus pernyataan yang tidak akurat. Khususnya, dari pihak Trump.

Mengusung kampanye #MoveFastFixIt, Biden memperingatkan Facebook karena tidak cukup melindungi pengguna dari campur tangan asing atau dari hujan kebohongan. Terutama yang disebarkan oleh Trump tentang pemungutan suara melalui surat. 

Kampanye ini baru berjalan bulan lalu dan telah menghabiskan hampir 10 ribu dolar AS. “Kami bisa berbohong pada Anda, tetapi kami tidak akan melakukannya,” kata salah satu iklan Biden. 

Dalam pesan kampanyenya, Biden juga mengungkapkan, Trump dan pendukungnya dari Partai Republik, telah menghabiskan jutaan dolar AS untuk iklan Facebook seperti ini, untuk menyebarkan informasi yang berbahaya. 

Menurut Searless, langkah yang diambil Biden ini berupaya memanfaatkan kemarahan masyarakat AS terhadap Trump dan pemanfaatan platform media sosial. “Kami tahu kemarahan bisa sangat memotivasi,” ujarnya. 

Sedangkan menurut Emerson Brooking dari Atlantic Council’s Digital Forensic Reasearch Lab, perang kampanye di media sosial pada tahun ini akan menjadi isu yang kian krusial. “Saat ini, media sosial menjadi isu penting dalam sebuah kampanye,” ujarnya.

Mulai Terapkan Sensor

photo
Logo berbagai media sosial - (Imagine China)

Apabila Biden mengerahkan fokusnya pada Facebook, Trump justru membidik Twitter dan terkadang Snapchat. Ia pun berkampanye dengan menjalankan iklan daring yang menuduh kedua perusahaan itu ‘mengganggu’ proses pemilihan.

Twitter menjadi target kampanye Trump setelah perusahaan besutan Jack Dorsey ini meluncurkan cek fakta pertamanya terkait cuitan yang tidak akurat pada akhir Mei lalu. Sejak saat itu, Twitter telah menerapkan label serupa ke lima cuitan Trump lainnya. 

Termasuk dua cuitan Trump yang menyebut adanya surat suara ‘curang’ dan memperkirakan ‘kotak suara akan dicuri’ jika pemungutan suara tidak dilakukan secara langsung.

Trump pun menanggapi langkah Twitter dengan menandatangani perintah eksekutif yang sebagian besar menantang Section 230 dari Communications Decency Act. Undang-Undang tersebut memberikan perlindungan dari tuntutan hukum untuk perusahaan internet yang telah berfungsi sebagai tempat untuk menyampaikan kebebasan berpendapat. 

“Sungguh tidak masuk akal  Silicon Valley, benteng keanekaragaman dan liberalisme, takut akan keragaman intelektual dan suara-suara konservatif,” kata wakil sekertaris pers Trump, Ken Farnaso dalam sebuah pernyataan.

Sejak Trump mengambil langkah ini, para pemimpin Republik pun bergabung menentang Twitter. Bulan ini, perwakilan AS untuk Ohio, Jim Jordan menuntut Twitter untuk memberikan transparansi mengenai bagaimana platform ini menjalankan fungsi fact check-nya.

Kemarahan yang sama juga disampaikan Senator Republik Ted Cruz. Ia bergabung dengan puluhan media konservatif, staf Trump, dan politikus untuk melakukan kampanye dua hari pada bulan lalu, mendesak pengikut Twitter untuk meninggalkan Twitter dan bergabung dengan Parler.

Facebook bisa menyusul berseteru dengan Gedung Putih apabila platform milik Mark Zuckerberg ini benar-benar memberlakukan rencananya untuk menyensor konten-konten yang berbau disinformasi. 

Brooking menjelaskan, sensor di media sosial akan menjadi masalah kampanye yang sangat kuat. “Akan ada insetif dari sejumlah orang yang mencalonkan diri pada 2020, untuk mencoba mengundang semakin banyak moderasi media sosial karena mereka melihatnya sebagai aksi politik yang kuat,” ujarnya.

Sejak pemilihan presiden terakhir, Facebook dan Twitter telah melarang penyebarluasan disinformasi terkait pemungutan suara. Kedua platform ini juga telah berjanji akan mengidentifikasi dan menutup jaringan akun tidak autentik yang dijalankan bot yang berada di dalam negeri atau asing.

Sebelum pemilihan tahun ini, Twitter juga telah secara tegas melarang iklan politik berseliweran di platformnya. Keputusan tersebut disampaikan oleh juru bicara perusahaan pada AP

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat