Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) melakukan aksi Kamisan di depan Istana Merdeka Jakarta, Kamis (25/7/2019). Dalam aksinya yang ke-594 itu mereka menuntut penuntasan sejumlah kasus pelanggaran HAM, seperti pada peristiwa Kerusuhan | ANTARA FOTO

Kisah Dalam Negeri

Doa dan Bunga di Hari Peristiwa Kudatuli

PDIP menilai, tragedi Kudatuli mengajarkan inti dari kekuatan moral politik.

Doa-doa dipanjatkan, bunga-bunga ditabur, pada Senin (27/7) di Kantor DPP PDIP, Jakarta. Ritual seperti ini tiap tahun selalu diulang. Tepat di tanggal yang sama saat peristiwa berdarah kerusuhan 27 Juli atau dikenal dengan peristiwa Kudatuli pada 1996 silam. 

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kritiyanto menuturkan, tragedi Kudatuli menjadi peristiwa kelam yang akan selalu diingat sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). "Pemerintah Orde Baru selalu memilih jalan kekuasaan terhadap rakyatnya sendiri. Serangan tersebut tidak hanya menyerang simbol kedaulatan partai politik yang sah, namun juga membunuh demokrasi. Kekuasaan dihadirkan dalam watak otoriter penuh tindakan anarkistis," kata Hasto dalam keterangannya, Senin (27/7).

Meski kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang dipimpin Megawati Soekarnoputri saat itu luluh lantak, tutur Hasto, sejarah mencatat, energi perjuangan tidaklah surut. "Apa yang dilakukan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri dengan memilih jalur hukum di tengah kuatnya pengaruh kekuasaan yang mengendalikan seluruh aparat penegak hukum sangatlah menarik," ujarnya.

Hasto menambahkan, tidak hanya langkah itu menunjukkan keyakinan politik yang kuat, tetapi juga mampu menggalang kekuatan demokrasi arus bawah. Momentumnya ketika seorang hakim di Riau yang bernama Tobing mengabulkan gugatan Ibu Megawati. “Di sinilah hati nurani mengalahkan tirani," tegas Hasto.

PDIP menilai, tragedi Kudatuli mengajarkan inti dari kekuatan moral politik. Pilihan jalur hukum saat itu memperkuat moral pejuang demokrasi. Kudatuli menjadi benih perjalanan reformasi di mana kekuatan rakyat menyatu dan mampu mengalahkan tirani. 

photo
Sejumlah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menyalakan sejumlah lilin membentuk angka 27 saat renungan Refleksi Peristiwa Kerusuhan Dua Tujuh Juli (Kudatuli) di kompleks Tugu Pahlawan Surabaya, Jatim. - (ANTARA)

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP Bambang DH mengaku, peristiwa Kudatuli adalah salah satu peristiwa terkelam dalam sejarah demokrasi Indonesia. Orde Baru di bawah Soeharto kala itu dinilainya mengekang kebebasan demokrasi rakyat Indonesia.

“Tragedi 27 Juli contoh praktik kekuasaan yang frustasi menghadapi arus bawah. Kekerasan selalu dianggap menjadi solusi bagi kekuasaan. Dalam alam demokrasi yang menjunjung tinggi penghargaan terhadap HAM, praktik seperti ini tidak boleh terjadi lagi,” ujar Bambang di Surabaya, Senin (27/7).

Ia menambahkan, peristiwa Kudatuli harus diketahui dan dipahami semua generasi bangsa, terutama kalangan milenial. Tragedi ini bukan sekadar perjuangan pro-Megawati, tapi juga perjuangan semua lapisan masyarakat yang sudah jengah dengan kediktatoran Orde Baru saat itu. “Ini harus menjadi pelajaran bagi kita saat ini dan generasi-generasi mendatang. Jangan pernah alat negara digunakan sebagai alat kekuasaan,” ujarnya.

Bambang mendesak pemerintah segera menuntaskan kasus pelanggaran berat ini. Jalan panjang memang ditempuh PDIP untuk menjernihkan peristiwa ini. Sebab, hingga kini, para pelaku penyerbuan masih bebas berkeliaran. Bahkan, menurutnya, terkesan dilindungi oleh hukum.

“Kudatuli adalah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang harus dituntaskan penyelidikannya. Harus diadili sesuai dengan ketentuan UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pangadilan HAM,” kata Bambang.

Bambang menjelaskan, saat Komnas HAM dipimpin mantan Menteri Agama Munawir Sjadzali, diungkap data peristiwa Kudatuli memakan korban lima orang tewas, 149 luka-luka, dan 23 orang hilang. Menurutnya, banyak pihak yang terlibat dan saat ini masih bebas menghirup udara segar.

“Meski hingga saat ini belum juga ada angin segar penuntasan kasus Kudatuli, kami percaya masih ada niat baik dari Komnas HAM dan negara untuk menuntaskan kasus ini juga,” ujarnya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat