Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menyampaikan program =di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Jumat (24/1). | Aprillio Akbar/ANTARA FOTO

Tajuk

Evaluasi Program Organisasi Penggerak

Kemendikbud harus segera menjelaskan masalah pemilihan organisasi serta pembagian dan alokasi dana POP ini secara transparan.

 

Dunia pendidikan nasional dikejutkan dengan mundurnya dua ormas Islam terbesar di Tanah Air, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dari Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada Rabu (22/7). Kemarin, sikap yang sama, yakni mundur dari program serupa juga ditempuh oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

POP merupakan salah satu program Kemendikbud dalam peningkatan kualitas guru dan sumber daya manusia di sektor pendidikan. Dalam program ini, Kemendikbud melibatkan organisasi-organisasi masyarakat ataupun individu, yang mempunyai kapasitas untuk meningkatkan kualitas para guru melalui berbagai pelatihan. Dana yang dialokasikan untuk program ini mencapai Rp 567 miliar.

Muhammadiyah dan NU memilih mundur dengan alasan akuntabilitas POP Kemendikbud itu tak jelas. Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Kasiyarno, menilai kriteria pemilihan organisasi penggerak Kemendikbud tidak jelas. Sebab, Kemendikbud tidak membedakan antara lembaga CSR dan lembaga yang sepatutnya mendapatkan bantuan dari pemerintah.

Masuknya Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation yang merupakan yayasan sayap korporasi sebagai mitra Kemendikbud dalam POP mendapat sorotan. Kedua entitas ini masuk kategori ‘Gajah’ yang bisa mendapatkan hibah hingga Rp 20 miliar per tahun.  Muhammadiyah merasa tidak sepatutnya diperbandingkan dengan organisasi masyarakat yang sebagian baru muncul beberapa tahun terakhir dan tiba-tiba masuk POP.

 
Kemendikbud harus segera menjelaskan masalah pemilihan organisasi serta pembagian dan alokasi dana POP ini secara transparan.
 
 

Sementara itu, Ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif NU, KH Arifin Junaidi, menyatakan sejak awal sudah melihat keanehan dalam program ini. Pihaknya juga menilai, banyak sekali organisasi/yayasan yang tidak jelas ditetapkan sebagai penerima POP.

PGRI pun menilai, anggaran POP yang nilainya lebih dari setengah triliun rupiah itu lebih bermanfaat apabila digunakan untuk membantu siswa, guru atau honorer, penyediaan infrastruktur di daerah, khususnya di daerah 3T, demi menunjang pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena pandemi Covid-19.

Keputusan Muhammadiyah, NU, dan PGRI yang mundur dari POP tentu sangat wajar dan bisa dipahami. Kemendikbud seharusnya memberi perhatian khusus kepada organisasi kemasyarakatan yang telah berkiprah di dunia pendidikan. Sejak Indonesia belum merdeka, Muhammadiyah, NU, dan ormas Islam lainnya telah berkontribusi besar dalam mencerdaskan anak-anak bangsa melalui sekolah, madrasah, pesantren, hingga perguruan tinggi. 

Bahkan, Muhammadiyah menyebut, memiliki 30 ribu satuan pendidikan yang tersebar di seluruh Tanah Air. Karena itu, tak tepat apabila Kemendikbud membandingkan ormas-ormas yang telah berkiprah selama satu abad lebih dengan organisasi yang baru muncul. Wajar jika ormas Islam merasa diperlakukan secara tak adil.

Kemendikbud harus segera menjelaskan masalah pemilihan organisasi serta pembagian dan alokasi dana POP ini secara transparan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim harus segera tampil ke publik untuk menjelaskan masalah ini. Masalah ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Jelaskan masalah ini secara terang-benderang. Publik berhak tahu.

 
Insiden ini juga harus menjadi momentum bagi Kemendikbud untuk mengevaluasi Program Organisasi Penggerak.
 
 

Selain itu, sudah seharusnya pula Mendikbud Nadiem Makarim segera bersilaturahim dengan ormas Islam, seperti Muhammadiyah, NU, dan ormas lainnya yang memiliki peran penting dalam bidang pendidikan. Kunjungan Mendikbud Nadiem ke ormas-ormas itu sangat strategis untuk menjelaskan secara langsung program yang dipertanyakan tersebut. Komunikasi publik yang baik adalah kunci untuk meredam kegaduhan.

Insiden ini juga harus menjadi momentum bagi Kemendikbud untuk mengevaluasi Program Organisasi Penggerak. Program ini harus dilakukan secara transparan dan terbuka bagi seluruh masyarakat. Apalagi, nilai dana yang dikucurkan sangat fantastis, yakni lebih dari setengah triliun rupiah.

Publik juga tentu berharap agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengawasi penggunaan dana tersebut secara ketat. Di tengah kondisi keuangan negara yang menipis, sudah seharusnya setiap rupiah uang rakyat yang ada dalam APBN dirasakan manfaatnya oleh rakyat.  

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat