Pegawai melakukan transaksi gadai emas dengan nasabah di Kantor Mandiri Syariah, Kuningan, Jakarta, Senin (4/5/2020) | Dhemas Reviyanto/ANTARA FOTO

Opini

Merger Bank Syariah

Meski keempat bank hampir seluruh sahamnya dimiliki pemerintah, kenyataannya memiliki corak budaya internal berbeda.

IMAM T SAPTONO, Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia

Wacana merger bank-bank syariah dan unit usaha syariah (UUS) yang sahamnya dimiliki negara menjadi topik menarik diperbincangkan belakangan ini. Februari 2021, melalui merger ini menjelma satu bank syariah BUMN yang lebih besar.

Dengan asumsi, berdasarkan posisi per 30 maret 2020, total aset Bank Syariah Mandiri hampir Rp 115 triliun, BNI Syariah Rp 51 triliun, BRI Syariah Rp 42 triliun, dan UUS BTN Syariah Rp 29 triliun, terwujud bank syariah BUMN hasil merger beraset Rp 237 triliun dan total modal sekitar Rp 20 triliun. Terkesan cukup besar dan fantastis, benarkah demikian?

Prakiraan di atas menempatkan bank BUMN syariah hasil merger (selanjutnya kita sebut BSHM), sebagai bank terbesar ke-7 di Indonesia, berada satu tingkat di bawah Bank CIMB dan di atas Bank Panin (cateris paribus berdasarkan data per Maret 2020).

Itu angka yang cukup menjanjikan, di tengah lesunya  pertumbuhan industri perbankan dan cenderung melambat dalam tiga tahun terakhir. Bahkan, berita rencana merger mengerek harga saham BRIS dari Rp 300/lembar ke Rp 475/lembar, naik 58 persen dalam satu bulan terakhir.

Ini cukup beralasan, mengingat dari keempat bank BUMN itu, hanya BRIS yang tercatat di bursa, membuat BRIS berpeluang besar menjadi survival company dalam proses merger tersebut meskipun bukan yang terbesar.

Biasanya, merger dilakukan dengan tujuan, pertama, mendapatkan skala ekonomi lebih besar sehingga diperoleh keuntungan dari operasi ekonomi yang lebih efisien.

Kedua, diperoleh sinergi dari sisi fitur dan inovasi produk, jaringan yang lebih luas, sistem TI dan sumber daya lainnya yang bisa menghasilkan angka pertumbuhan lebih besar daripada sebelumnya.

Ketiga, keuntungan pajak, jika ada salah satu unit usaha yang memiliki akumulasi kerugian signifikan, alasan ini tidak relevan karena pemilik sahamnya pemerintah.

Keempat, menaikkan nilai perusahaan karena prospek ke depan yang dianggap lebih cerah. Ini relevan bila pemegang saham berencana menjual saham atau mengundang investor strategis untuk masuk. Dan kelima, meningkatkan kemampuan berkompetisi.

 
Meski keempat bank yang dimaksud hampir seluruh sahamnya dimiliki pemerintah, kenyataannya memiliki corak budaya internal berbeda.
 
 

Apa yang diungkap Harvard Business Review dalam artikel yang dipublikasi pada Juni 2016 menarik disimak. Lembaga ini menyebutkan, 70-90 persen merger dan akuisisi gagal. Tentu untuk menghindari kegagalan serupa, perlu dipelajari faktor penyebabnya, yakni pertama adanya ketidakjelasan arah dalam proses integrasi.

Kedua, mislead dalam menghitung nilai investasi dari hasil penyatuan kinerja keuangan. Ketiga, perkembangan faktor eksternal seperti kondisi ekonomi yang justru menjadi semakin tidak kondusif pascamerger.

Sementara itu, keempat, hambatan integrasi budaya dan perbedaan pola kepemimpinan. Meski keempat bank yang dimaksud hampir seluruh sahamnya dimiliki pemerintah, kenyataannya memiliki corak budaya internal berbeda.

Pengalaman penulis selama enam tahun sebagai direksi di salah satu bank tersebut, melihat dan merasakan perbedaan itu. Faktor berikutnya, pola kepemimpinan, ini sangat berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan.

Faktor kelima, shareholder engagement, yang akan lebih kuat, karena tiba-tiba pemerintah via Kementerian BUMN serasa memiliki bank baru yang besar, yang semula tidak tampak di radar mereka karena selain kecil, juga di bawah bayang-bayang bank induknya yang besar.

Di sisi lain, ada ekses merger yang harus dihadapi, di antaranya penutupan sejumlah kantor cabang karena terjadi tumpang tindih cakupan wilayah dan target pasar, tumpang tindih fungsi dan pelaksana organisasi, keduanya berdampak pada pengurangan jumlah karyawan.

Lantas adakah cara selain merger guna meningkatkan kinerja bank syariah? Tentu ada. Langkah utama yang perlu diubah adalah paradigma, bank syariah adalah beyond banking concept yang berbeda dengan definisi bank saat ini.

Bank syariah bukanlah produk, melainkan sistem yang terintegrasi dengan subsistem ekonomi Islam yang lain, seperti zakat, wakaf, bahkan sistem keuangan negara dan pastinya sangat powerful dalam menopang perekonomian umat dari kacamata Islam.

 
Peningkatan kemampuan bankir syariah sebagai beyond bankers dengan pengetahuan dan ghirah syariah mumpuni. 
 
 

Maka itu, yang perlu disiapkan sesungguhnya adalah membenahi level of playing field serta treatment-nya atau batasan baru industrinya sesuai fitrahnya, yaitu sesuai tujuan syariah, yakni prinsip yang mendasari berdirinya bank syariah itu sendiri.

Lalu, apa yang harus dilakukan? Pertama, perbarui aspek regulasi mencakup fatwa dan aturan/definisi bisnis bank syariah agar dikembangkan, sebagai lembaga pengumpul zakat wakaf, nazir wakaf uang, bank investasi, dan lain-lain.

Kedua, peningkatan kemampuan bankir syariah sebagai beyond bankers dengan pengetahuan dan ghirah syariah mumpuni. Ketiga, engagement pemilik, khususnya kesediaan pemilik menggunakan KPI maqoshid syariah dalam menilai kinerja manajemennya.

Keempat, literasi umat khususnya nasabah, sebagai bagian peran bank syariah dalam menjalankan misi dakwahnya. Jika paradigma hijrah dipahami utuh seluruh nasabah, akan terbentuk sistem perbankan yang kuat, solid, dan tidak rentan bila terjadi guncangan ekonomi. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat