Tersangka kasus Eksploitasi secara Ekonomi dan atau Seksual terhadap anak dibawah umur dihadirkandi Halaman Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (9/7). | Republika/Thoudy Badai

Tajuk

Lindungi Anak-Anak Kita

Jangan beri ruang predator seksual beraksi di negeri ini.

Kita dikejutkan dengan tewasnya tersangka pencabulan 305 anak di dalam sel tahanan. Tersangka adalah seorang warga negara asing (WNA) asal Prancis bernama Francois Abello Camille (FAC).

Kasus ini luput dari perhatian kita semua. Padahal, korbannya sungguh dahsyat, diduga ada 305 orang. Mungkin karena perhatian kita saat ini lebih tercurah pada masalah pandemi Covid-19 sehingga tak menyadari ada kasus besar ini. Pihak kepolisian sejak awal juga tidak menjadikan kasus ini sebagai temuan yang luar biasa.

Jika benar korban mencapai 305 orang, barangkali ini adalah kasus pencabulan anak terbesar di Tanah Air. Sayangnya, upaya untuk mengungkap kasus tersebut terputus bersamaan dengan tewasnya tersangka.

Tersangka FAC (65 tahun) meninggal dunia pada Ahad (12//7) malam, setelah ditemukan tergantung di sel tahanannya, Rutan Polda Metro Jaya. Saat tersangka meninggal, polisi baru mengidentifikasi 19 orang anak yang menjadi korban pencabulan FAC.

 
Indonesia sudah dinyatakan darurat kekerasan seksual terhadap anak, tapi kasus-kasus pelecehan dan pencabulan anak tidak menurun.
 
 

Dengan tewasnya FAC, korban-korban lain akan sulit diidentifikasi. Selama ini polisi mendasarkan jumlah korban itu dari foto 305 anak di dalam laptop tersangka.

Padahal, identifikasi korban ini juga penting untuk penanganan korban. Jangan sampai korban mengalami trauma dan berdampak buruk pada kejiwaannya. Banyak kasus, korban pencabulan menjadi predator seksual pada masa dewasanya.

Kita menyayangkan tersangka tewas sebelum mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kasusnya jelas tidak bisa diungkap tuntas, mengingatkan kita pada kasus pencabulan anak-anak di sebuah sekolah internasional beberapa tahun lalu. Dalam kasus tersebut, kendati ada tersangka, kasusnya tidak pernah benar-benar tuntas.

Pelajaran yang kita ambil dalam kasus ini, pertama, masih banyak kasus pencabulan terhadap anak. Indonesia sudah dinyatakan darurat kekerasan seksual terhadap anak, tapi kasus-kasus pelecehan dan pencabulan anak tidak menurun.

Kedua, predator seksual beraksi dengan berbagai cara, baik langsung maupun melalui internet. Menurut keterangan polisi, dalam kasus FAC, tersangka tersebut beraksi dengan cara child sex groomer, yakni pendekatan emosional dan bujuk rayu tersangka.  Caranya, anak dirayu agar lebih dekat secara emosional kemudian dilakukan tindakan eksploitasi seksual.

Dalam kasus FAC, korban ditawari untuk jadi foto model, kemudian diajak ke hotel, didandani supaya terlihat menarik. Aksi itu diakhiri dengan menyetubuhi korban.

Ketiga, kasus-kasus besar pencabulan terutama yang melibatkan warga negara asing, banyak yang tidak tuntas. Dengan begitu, sulit bagi kita untuk menarik kesimpulan atau pelajaran agar kasus-kasus tersebut tak terulang kemudian hari.

Kasus-kasus pencabulan anak kemungkinan masih banyak terjadi sepanjang kita tidak bisa menuntaskan kasus-kasus yang pernah ada. Kita tentu tidak mau anak-anak kita dapat menjadi korban pencabulan seksual para predator seks. Karena itu, penyelesaian kasus-kasus secara adil, transparan, dan tuntas adalah keharusan.

Lindungi anak-anak kita dari kejahatan seksual. Jangan beri ruang predator seksual beraksi di negeri ini.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat