Presiden Joko Widodo memimpin rapat kabinet terbatas mengenai percepatan penanganan dampak pandemi Covid-19 di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (29/6). | ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Tajuk

Sekali Lagi Soal Reshuffle

Kita tentu berharap teguran keras Presiden kepada menterinya ini didengar dan dilaksanakan.

Isu reshuffle diredam. Ya! Sepekan setelah Istana Negara merilis video yang memperlihatkan Presiden Joko Widodo memarahi menteri-menterinya, kemarin Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan tak perlu lagi meributkan reshuffle. Mengapa?

Momen Presiden Jokowi menegur keras sejumlah menterinya itu pun terjadi pada pertengahan Juni. Presiden ketika itu mengatakan, "Saya lihat bapak ibu dan saudara-saudara masih ada yang melihat ini sebagai sebuah masih normal. Berbahaya sekali! Kerja masih biasa-biasa saja. Ini kerjanya memang harus ekstra luar biasa, extraordinary! ... Perasaan ini tolong sama! Kita harus sama perasaannya. Kalau ada yang berbeda satu saja, sudah...bahaya!"

Presiden melanjutkan, "Jadi, tindakan-tindakan kita, kebijakan-kebijakan kita, keputusan-keputusan kita, suasana adalah harus suasana krisis! Jangan kebijakan yang biasa-biasa saja. Menganggap ini sebuah kenormalan. Apa-apaan ini! Mestinya suasana itu ada semuanya. Jangan memakai suasana yang standar pada suasana krisis..."

 
Setelah pidato ini, suasana politik sepekan terakhir memang terasa agak memanas. Sejumlah skenario reshuffle mulai keluar, utamanya di media sosial. 
 
 

Presiden menambahkan, "Saya lihat masih banyak kita ini yang biasa-biasa saja! Saya jengkelnya di situ! Ini apa nggak punya perasaan? Suasana ini krisis!"

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi juga menyinggung soal belanja kementerian yang lamban. Ia ingin agar belanja kementerian dipercepat agar aktivitas ekonomi di masyarakat berjalan di tengah pandemi Covid-19.

Kemudian Presiden mengkritik menteri-menterinya, "Saya harus ngomong apa adanya: Nggak ada progres, yang signifikan, nggak ada!"

"Langkah apa pun yang extraordinary ini akan saya lakukan. Untuk 267 juta rakyat kita. Untuk negara. Bisa saja membubarkan lembaga... Bisa saja reshuffle... Udah kepikiran ke mana-mana saya!"

Setelah pidato ini, suasana politik sepekan terakhir memang terasa agak memanas. Sejumlah skenario reshuffle mulai keluar, utamanya di media sosial. Para pengamat politik termasuk surveyor politik juga memanfaatkan situasi dengan menghitung-hitung kemungkinan menteri yang digeser atau diganti. Mengacu pada sentimen publik ataupun pengamatan kinerja.

Kita tentu berharap teguran keras Presiden kepada menterinya ini didengar dan dilaksanakan. Situasi riilnya memang demikian adanya. Kementerian dan lembaga masih terbelit birokrasi untuk menghabiskan anggarannya. Padahal, dalam situasi krisis seperti ini, dorongan belanja ekonomi dari pemerintah menjadi jantung utama.

Inilah yang menjadi pembahasan khusus Menteri Sekretaris Negara Pratikno kemarin. Pratikno mengeklaim teguran Presiden itu manjur. Karena setelah ditayangkan di publik, serapan anggaran kementerian dan lembaga meningkat. Meskipun begitu, Pratikno tidak menyebut perinci sejauh mana pengucuran belanja kementerian lembaga itu berjalan dan efeknya seperti apa.

 
Presiden Jokowi memiliki rekam jejak reshuffle yang kurang efektif. Pada periode pertamanya, sejumlah menteri yang dianggap publik berkinerja baik, malah dicopot. 
 
 

Ini kemudian dialihkan Pratikno untuk meredam isu reshuffle dengan menegaskan, "Jadi kalau progres yang bagus ngapain direshuffle, gitu! Intinya begitu. Tentu saja dengan progres yang bagus ini isu reshuffle tidak relevan." Pratikno kemudian makin menegaskan bahwa jangan lagi menyebut isu reshuffle karena progres kinerja kabinet sudah berjalan baik.

Presiden Jokowi memiliki rekam jejak reshuffle yang kurang efektif. Pada periode pertamanya, sejumlah menteri yang dianggap publik berkinerja baik, malah dicopot. Presiden tidak mencopot menteri dari partainya, PDI Perjuangan, meskipun kinerja menteri tersebut sudah diamini berbagai pihak di bawah standar. Presiden kemudian memasukkan menteri yang ternyata amat pro impor. Begitu seterusnya.

Inti dari sebuah reshuffle adalah untuk kinerja pemerintahan yang lebih baik, efektif dan efisien. Utamanya, dalam kondisi krisis ini. Publik memahami reshuffle sebagai bukan semata masalah kinerja, melainkan juga politik kepentingan. Namun, justru di titik inilah kita mengingatkan pemerintah. Teguran Presiden kepada menterinya itu berbasis kinerja dalam situasi krisis. Demikianlah harusnya pilihan reshuffle nanti kalau tetap dilakukan. Sesuai dengan apa yang keluar dari mulut Presiden: Berbasis kinerja. Bukan justru politik kepentingan di belakangnya. Atau dengan beragam opini tak jelas dan tak cerdas yang digiring di medsos. Rakyat akan menilai keputusan itu.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat