Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Chief Executive National Capital Authority Canberra Sally Barnes (kanan) melihat pusat kota Canberra dari Mount Ainslie, Canberra, Australia, Ahad (9/2). | Desca Lidya Natalia/ANTARA FOTO

Opini

Strategi Ekspor Sambut IA-CEPA

Perjanjian IA-CEPA akan mulai berlaku efektif per 5 Juli 2020.

ELY NURHAYATI, Dosen FEB Universitas Yarsi, Alumnus Magang INDEF

Pemberlakuan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Australia (IA-CEPA) tinggal menghitung hari. Perjanjian tersebut akan mulai berlaku efektif per 5 Juli 2020.

Meski baru berlaku tahun ini, sejatinya perjanjian tersebut mulai diinisiasi sejak 15 tahun lalu, yaitu pada 4 April 2005 di Australia melalui Joint Declaration on Comprehensive Partnership, yang merupakan kesepakatan antara presiden RI dan perdana menteri Australia.

Sayangnya, sejak perjanjian tersebut diinisiasi hingga menjelang perjanjian berlaku efektif tahun ini, defisit neraca perdagangan Indonesia-Australia justru semakin melebar.

Berdasarkan data UN-Comtrade dan BPS, selama kurun waktu 14  tahun, yaitu sejak 2005 hingga 2019, impor Indonesia dari Australia melonjak hingga 114,8 persen. Sedangkan ekspor Indonesia ke Australia hanya naik  3,2 persen selama kurun waktu yang sama.

 

 
Pasalnya, riset tersebut menemukan, ternyata masyarakat Australia lebih suka menggunakan produk dalam negeri dibandingkan produk impor.
 
 

 

Perbedaan signifikan ini menunjukkan, ketimpangan penerimaan manfaat dari aktivitas perdagangan bilateral kedua negara. Pada 2005, neraca perdagangan Indonesia-Australia defisit 339,5 juta dolar AS, sementara pada 2019 defisit melonjak hingga 3,2 miliar dolar AS.

Dan selama delapan tahun berturut-turut sejak 2012 hingga 2019, neraca perdagangan Indonesia-Australia selalu defisit. Melebarnya defisit neraca perdagangan mengindikasikan, selama 15 tahun menuju IA-CEPA berlaku efektif, Indonesia tidak banyak melakukan persiapan.

Pada akhir 2019, The Australian Made Campaign memublikasikan hasil risetnya tentang perilaku konsumen Australia. Hasil riset tersebut cukup mampu menjelaskan salah satu alasan defisitnya neraca perdagangan Indonesia-Australia.

Ini sekaligus meramalkan proyeksi perdagangan Indonesia-Australia setelah berlakunya IA-CEPA. Pasalnya, riset tersebut menemukan, ternyata masyarakat Australia lebih suka menggunakan produk dalam negeri dibandingkan produk impor.

The Australian Made Campaign menyebutkan, alasan masyarakat Australia menggunakan produk lokal bukan hanya karena faktor kualitas lebih baik, melainkan juga ingin mendukung pengembangan bisnis lokal dan penciptaan lapangan kerja di dalam negeri.

 
Tingginya pendapatan per kapita mendukung perilaku konsumsi masyarakat Australia. 
 
 

Motif tersebut pulalah yang melatarbelakangi preferensi konsumen Australia terhadap produk lokal, meski harganya lebih mahal dibandingkan produk impor. Perilaku ini tidak terlalu mengejutkan karena pendapatan per kapita Australia memang cukup tinggi. Yakni, sebesar 55.305,84 dolar AS pada 2019, menurut data dari CIEC. 

Tingginya pendapatan per kapita mendukung perilaku konsumsi masyarakat Australia. Berbeda dengan masyarakat Indonesia yang lebih gemar mengonsumsi produk dengan harga terjangkau. 

Sebab, pendapatan per kapitanya cenderung lebih rendah, yaitu hanya sebesar  4.193,11 dolar AS. Karena itu, Indonesia cenderung lebih rentan terhadap produk impor yang memiliki harga terjangkau, termasuk produk impor dari Australia.

Melihat hal ini maka mendobrak fanatisme masyarakat Australia pada produk lokal negaranya, tentu menjadi tantangan besar bagi Indonesia dalam menghadapi IA-CEPA.

Alih-alih dapat mengambil lebih banyak manfaat dari perjanjian IA-CEPA, pemberlakuan perjanjian tersebut di tengah ketidaksiapan Indonesia justru dapat menjadi risiko pelebaran defisit neraca perdagangan.

Ke depannya, Indonesia perlu melakukan pemetaan kebutuhan konsumen Australia, terutama kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri sehingga produk Indonesia mampu menembus pasar Australia.

 
Selain itu, Indonesia perlu memetakan jenis produk impor apa saja, yang masih menjadi preferensi sebagian masyarakat Australia.
 
 

Dalam melakukan pemetaan ini, Indonesia juga perlu mempertimbangkan kemungkinan perubahan perilaku konsumen yang disebabkan oleh mewabahnya pandemi Covid-19 di Australia.

Selain itu, Indonesia perlu memetakan jenis produk impor apa saja, yang masih menjadi preferensi sebagian masyarakat Australia.

Menurut riset The Australian Made Campaign, jenis produk impor yang masih dipilih 50 persen dari konsumen Australia, di antaranya produk peralatan memasak, alat makan, pakaian, perhiasan, tas, dan aksesori.

Catatan selanjutnya, mengingat preferensi konsumen Australia yang lebih memilih produk lokal sehingga menyebabkan barang konsumsi dari Indonesia mengalami kesulitan memasuki pasar Australia. Maka itu, akan lebih baik bila Indonesia memprioritaskan ekspor barang setengah jadi untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan di Australia.

Selama Indonesia belum mampu mendobrak perilaku konsumsi masyarakat Australia, akan lebih baik bila Indonesia menjadikan bahan setengah jadi sebagai salah satu komoditas unggulan ekspor, serta memilih sektor industri pengolahan sebagai sasaran ekspornya.

Strategi-strategi tersebut diharapkan, dapat membantu Indonesia dalam mengambil keuntungan dari diberlakukannya IA-CEPA. Dengan demikian, defisit neraca perdagangan perlahan dapat berubah menjadi surplus neraca perdagangan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat