Warga Palestina melaksanakan shalat di sela aksi unjuk rasa menentang aneksasi di Tepi Barat, Jumat (26/6). | EPA-EFE/ALAA BADARNEH

Opini

Solusi Dua Negara 

Proses multilateral berdasarkan solusi dua negara harus segera dihidupkan kembali.

AHMAD SALEH BAWAZIR, Kabag Dukungan Strategis Program Dalam Negeri, Setjen, Kemenlu

PURNA CITA NUGRAHA, Kasubdit II Timur Tengah, Kemenlu

Tepat 1 Juli 2020, menandai babak baru ketegangan Israel-Palestina. Di tengah seruan gencatan senjata global oleh sekjen PBB saat pandemi Covid-19, Israel kembali bertindak provokatif dengan rencana aneksasi 1 Juli 2020. 

Pada Mei lalu, Israel mengumumkan rencana aneksasi 30 persen wilayah Palestina di Lembah Jordan dan beberapa wilayah pendudukan yang dihuni penduduk pendatang asal Israel (settlers) tepat pada 1 Juli 2020. 

Kebijakan pemerintahan koalisi Benjamin Netanyahu dan Benny Gantz itu menjadi titik kulminasi koalisi Israel dan AS di bawah Donald Trump. Sejak Trump menjadi presiden AS, Palestina mengalami tekanan dahsyat politik, ekonomi, dan keamanan dari AS-Israel. 

Pertama, AS mengubah posisinya secara drastis atas Resolusi DK PBB Nomor 2.334 yang disahkan Desember 2016, dengan 14 dukungan dan satu “abstain”, yaitu AS. Ini resolusi pertama mengenai Palestina yang berhasil disahkan DK PBB sejak Resolusi 1.869 Tahun 2009. 

 
AS bersikeras memindahkan kedutaannya pada 14 Mei 2018, bertepatan dengan perayaan deklarasi kemerdekaan Israel ke-70.
 
 

Ini pun resolusi pertama yang menentang pendudukan Israel sejak Resolusi 465 Tahun 1980. 

Kedua, “kado tahun pertama” pemerintahan Trump bagi Israel adalah pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan pemindahan Kedubes AS di Tel Aviv ke Yerusalem pada 6 Desember 2017. Mayoritas negara di dunia menentang keputusan ini.

Namun, AS bersikeras memindahkan kedutaannya pada 14 Mei 2018, bertepatan dengan perayaan deklarasi kemerdekaan Israel ke-70. Sebelum keputusan Trump, tak ada satu negara pun yang memiliki kedubes di Yerusalem. 

Kebijakan ini mengabaikan Resolusi DK PBB 478 Tahun 1980 yang menentang Jerusalem Law yang menyatakan sepihak Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memerintahkan negara anggota PBB memindahkan perwakilan diplomatiknya dari Yerusalem. 

Ketiga, pada 2017, pemerintahan Trump memotong bantuan keuangan AS untuk UNRWA (Badan PBB untuk pengungsi Palestina) sebesar 300 juta dolar AS dari total 364 juta dolar AS. UNRWA menangani kebutuhan dasar 5,6 juta pengungsi Palestina. 

Keempat, pada November 2019, Pemerintah AS mengumumkan, pendudukan Israel di Palestina tak melanggar hukum internasional. Keputusan ini mengubah drastis posisi AS selama 40 tahun dan mengganggu konsensus internasional atas isu ini. 

Kelima, rencana perdamaian AS awal tahun ini, the deal of the century (DoC), mencoba menggiring pengakuan atas sebagian besar daerah pendudukan ilegal menjadi milik Israel, menolak hak kembali pengungsi Palestina, mengakui Yerusalem jadi ibu kota penuh Israel.

Keenam, penghentian sepihak oleh Israel Temporary International Presence in Hebron (TIPH), 31 Januari 2019. TIPH ini, tim gabungan beberapa negara untuk menjamin keamanan dan perlindungan bagi warga Palestina di Hebron.  

 
Solusi dua negara tak hanya membagi wilayah menjadi dua negara, seperti DoC usulan AS, tetapi memastikan kepentingan Palestina terakomodasi. 
 
 

Rencana aneksasi formal 1 Juli 2020 merupakan manifestasi nyata atas aneksasi Israel secara de facto sejak 1967 dan 1980. Okupasi Israel terhadap wilayah Palestina bersifat permanen dan tak ada niat sejak awal bagi Israel mengakhiri pendudukannya. 

Untuk itu, banyak yang menyebutnya sebagai creeping annexation atau “aneksasi senyap”. Sekjen PBB Antonio Guterres meminta Israel membatalkan rencana aneksasi tersebut atas dasar pelanggaran serius terhadap hukum internasional. 

Solusi dua negara

Solusi dua negara tak hanya membagi wilayah menjadi dua negara, seperti DoC usulan AS, tetapi memastikan kepentingan Palestina terakomodasi. Salah satu yang diabaikan DoC adalah batas wilayah yang disepakati internasional, sebelum okupasi Israel pada 1967. 

DoC juga tidak mempertimbangkan status Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. Ini syarat mutlak solusi dua negara. Tidak terdapat satu kata pun mengenai “okupasi” di dokumen DoC AS. DoC juga tidak mengakui hak pengungsi palestina untuk kembali. 

 
Proses multilateral berdasarkan solusi dua negara dan parameter internasional harus segera dihidupkan kembali. 
 
 

Sebagai negara berdaulat, DoC harusnya mempertimbangkan tanggung jawab Palestina atas keamanannya dan memiliki angkatan bersenjata sendiri. DoC berupaya menawarkan versi lain solusi dua negara dengan mengabaikan parameter internasional. 

Banyak negara menyadari hal itu dan akhirnya menolak. Di sisi lain, kecaman atau penolakan UE, OKI, Liga Arab, dan berbagai negara secara unilateral tak mampu menghambat aneksasi oleh Israel. Tak ada cara selain menunjukkan penolakan kolektif. 

PBB harus mempertahankan tatanan yang dibangun selama 75 tahun sejak Perang Dunia II usai. 

Langkah konkretnya, menerapkan instruksi Resolusi DK PBB 2334 (2016) yang memerintahkan negara anggota PBB membedakan interaksi antara Israel dan wilayah pendudukan sejak 1967. UE dan banyak negara secara konsisten menerapkan hal ini. 

Untuk negara yang memiliki hubungan dengan Israel, khususnya perdagangan dan investasi, ini cara efektif menekan Israel agar menjalankan kewajiban internasionalnya. 

Awal 2020, Kantor HAM di Jenewa menerbitkan daftar 110 perusahaan terkait wilayah pendudukan ilegal Israel. Daftar ini bisa menjadi referensi negara yang ingin membedakan interaksi ekonominya sesuai Resolusi 2.334. 

Proses multilateral berdasarkan solusi dua negara dan parameter internasional harus segera dihidupkan kembali. Hanya dengan ini Palestina dan Israel duduk sejajar dan membahas permasalahannya dengan penuh keterbukaan dan proses yang adil. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat