Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno (tengah) mewakili para purnawirawan menolak RUU HIP, beberapa waktu lalu. | Republika/Putra M. Akbar

Tajuk

Jika Bisa Dicabut, Mengapa Harus Ditunda?

Publik tentu berharap DPR segera menentukan sikap. DPR harus mendengarkan suara dan aspirasi publik.

 

Sepekan terakhir ini, fokus bangsa Indonesia yang tengah menghadapi pandemi Covid-19, sekaligus memasuki masa transisi kenormalan baru agak terpecah. Disahkannya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menjadi RUU inisiatif DPR pada Rapat Paripurna ke-15, Jumat 12 Mei lalu membuat tensi politik nasional menghangat.

RUU HIP menuai penolakan dari berbagai kalangan. Pekan lalu, Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri mendesak agar DPR mencabut RUU HIP dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Forum ini juga meminta pemerintah untuk menolak RUU HIP. Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri Mayor Jenderal TNI (Purn) Soekarno menyebut, ada upaya menyusupkan ideologi-ideologi tertentu dalam rancangan regulasi tersebut.

Tak dimasukkannya Tap MPRS XXV/1966 sebagai konsideran mengundang kecurigaan para purnawirawan. Tap MPRS yang keluar pada masa Orde Baru itu mengamanatkan pembubaran PKI serta melarang penyebaran ajaran komunisme. Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri khawatir keberadaan RUU HIP akan menimbulkan tumpang-tindih serta kekacauan dalam sistem ketatanegaraan ataupun pemerintahan.

 
Penolakan yang tak kalah keras terhadap RUU HIP juga datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta ormas Islam di Tanah Air.
 
 

Kemarin, para purnawirawan yang terdiri atas Pembina FOKO Jenderal TNI (Purn) Tri Sutrisno, Ketua Pepabri Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar, Ketua Umum PPAL Laksamana TNI (Pur) Ade Supandi, Ketua Umum Kehormatan LVRI Letjen TNI (Purn) Rais Abin, Ketua Umum LVRI Mayjen TNI (Purn) Saiful Sulun, Ketua Umum PPAU, Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto, dan sejumlah purnawirawan lainnya mendatangi kantor menko polhukam. Mereka mempertanyakan tentang RUU HIP. 

Penolakan yang tak kalah keras terhadap RUU HIP juga datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta ormas Islam di Tanah Air. Wakil Ketua Umum MUI, KH Muhyiddin Junaidi menyatakan, MUI menolak semua isi RUU HIP. MUI menilai, RUU tersebut tidak dibutuhkan untuk dibahas saat bangsa, negara, dan masyarakat menghadapi pandemi virus korona atau Covid-19.

Menurut Kiai Junaidi, para pakar sudah mengkaji RUU HIP kemudian mengatakan, RUU tersebut ngawur. Sebanyak 80 persen isi RUU HIP kontradiksi dan 20 persen agak benar. Maka itu, MUI tidak hanya menolak tidak dimasukkannya Tap MPRS Nomor XXV/ 1966 ke dalam RUU HIP. "Tapi MUI menolak seluruh isi RUU HIP itu karena satu sama lain saling kontradiksi dan secara tidak langsung mendegradasi Pancasila itu sendiri," katanya menegaskan.

PP Muhammadiyah juga telah membentuk tim pakar untuk mengkaji RUU HIP tersebut. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyatakan, berdasarkan kajian tahap pertama tim PP Muhammadiyah, materi RUU HIP banyak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan sejumlah undang-undang, terutama UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Sikap yang sama juga dinyatakan PBNU. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) meminta DPR tak lagi melanjutkan pembahasan RUU HIP. NU menilai, pembahasan RUU HIP tak memiliki urgensi. Derasnya penolakan membuat pemerintah pada Selasa (16/6) memutuskan untuk menunda pembahasan RUU HIP. 

 
Publik tentu berharap DPR segera menentukan sikap. DPR harus mendengarkan suara dan aspirasi publik. 
 
 

Namun, sikap pemerintah itu juga menuai kritikan. MUI dan ormas Islam meminta agar RUU HIP itu tak sekadar ditunda pembahasannya, tapi juga harus dicabut dari Prolegnas.

Sikap sejumlah fraksi di DPR pun berubah. Sejumlah fraksi juga menginginkan agar RUU HIP tersebut dicabut dan pembahasannya tak dilanjutkan. 

Publik tentu berharap DPR segera menentukan sikap. DPR harus mendengarkan suara dan aspirasi publik. Maka itu, opsi mencabut dan tak melanjutkan pembahasan RUU HIP adalah pilihan terbaik. Jika bisa dicabut, mengapa harus ditunda?

Saat ini, bangsa Indonesia sedang mengalami masa kritis akibat pandemi Covid-19. Saat ini angka penularan virus korona terus meningkat, pada saat yang sama pemerintah juga menggulirkan kebijakan kenormalan baru. Agar keduanya bisa berjalan dengan baik, seluruh elemen bangsa harus menyatukan energi dan fokus. Jangan sampai, bangsa ini terpecah oleh RUU HIP. Dan akhirnya, kita abai pada ancaman Covid-19. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat