Pengunjuk rasa melontarkan gas air mata kembali ke arah petugas kepolisian dalam aksi unjuk rasa di Atlanta, Georgia, AS. | AP Photo/John Bazemore

Tajuk

Persamaan Hak

Hal terpenting, gerakan menentang rasialisme di tengah pandemi Covid-19 sekarang ini tak berhenti sebatas aksi massa.

Aksi massa meletup kembali di AS. Di Atlanta, pada Sabtu (13/6), massa menutup jalan bebas hambatan dan membakar restoran Wendy’s. Kobaran api berlangsung selama lebih dari 45 menit hingga berhasil dipadamkan petugas pemadam kebakaran.

Ditembak matinya Rayshard Brooks (27 tahun), warga berkulit hitam, pada Jumat (12/6) malam waktu setempat menjadi pemicu aksi massa ini. Ia ditembak setelah berupaya melepaskan diri dari penangkapan polisi.

Kematian Brooks kian membakar serangkaian aksi massa yang sebelumnya berkobar di seantero negeri. Demonstrasi besar-besaran muncul setelah kematian George Floyd, warga AS keturunan Afrika pada 25 Mei lalu, di tangan polisi Minneapolis.

Solidaritas atas kematian Floyd kemudian menyeberang melampui AS hingga negar-negara Eropa. Massa berkumpul untuk menentang kematian Floyd dan menyerukan persamaan hak. Para bintang olahraga, selebritas, juga miliarder pun turut serta.

Mereka mendukung gerakan Black Lives Matter, yang menentang rasialisme dan diskriminasi sistemik warga kulit hitam. Bahkan, hal-hal yang berbau rasialis seperti patung-patung tokoh ternama yang dianggap terkait rasialisme dirobohkan.

Hal menarik terlihat di Kedubes AS di Seoul, Korea Selatan, Sabtu (13/6). Mereka memasang spanduk dengan posisi meninggi berlatar hitam bertuliskan Black Lives Matter warna putih dan hitam. “Ini menunjukkan dukungan kami menentang ketidakadilan rasial.”

Pihak kedubes juga mendukung aksi massa damai warga AS menuntut perubahan positif. Kita berharap, sikap Kedubes AS di Seoul menjadi cerminan kebijakan AS di bawah pimpinan Presiden Donald Trump.

Artinya, pemerintahan Trump tak menganggap remeh soal rasilisme ini. Apalagi, selama ini AS kerap mendorong negara-negara lain menghormati HAM dan kebebasan beragama. Tentu tak ada artinya jika di dalam negeri AS sendiri tak bisa menuntaskan soal rasialisme.

Hal terpenting, gerakan menentang rasialisme di tengah pandemi Covid-19 sekarang ini tak berhenti sebatas aksi massa, kemudian tenggelam begitu saja. Harus ada konsistensi dan napas panjang semua pihak menghapus rasialisme.

Kita juga mengapresiasi langkah 54 negara Afrika, yang diwakili Burkina  Faso, Jumat (12/6) lalu yang mendesak agar Dewan HAM PBB, di Jenewa, Swiss, membahas persoalan diskriminasi ras ini. Semoga dalam pertemuan pekan depan isu ini dibahas.

Tentu negara-negara lain perlu mendukung agar persoalan ini menjadi bahasan utama. Ini bakal menjadi kontribusi dalam upaya menangani dan menghapuskan rasialisme dan mewujudkan persamaan hak bagi semua manusia, apa pun ras, warna kulit, dan agamanya.

Di sisi lain, perlu gerakan sistematis agar tak ada lagi diskriminasi baik berdasarkan ras, warna kulit, maupun agama. Gerakan sosial, lembaga internasional, dan pemerintahan negara di dunia mendesak untuk memiliki kesadaran menghapus ketidakadilan ini.

Jika ini terus terjadi, ketidakadilan dalam akses pekerjaan, hukum, dan juga perlakuan dalam keseharian akan terus terjadi. Jangan sampai, hal semacam ini dibiarkan dan menjadi kelaziman dalam kehidupan keseharian kita.  

Selain rasialisme, kita juga masih melihat Islamofobia, rasa takut dan tindakan tak adil kepada Muslim. Di Barat, yang selama ini berkhotbah soal persamaan hak dan HAM, masih juga muncul Islamofobia. Pada masa kini, mestinya rasialisme dan Islamofobia sirna.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat