Aksi menentang penjajahan Palestina di Tel Aviv, pekan lalu. | EPA/ABIR SULTAN

Tajuk

Perampasan Palestina

Keberhasilan aneksasi sebagian wilayah Tepi Barat bisa menjadi preseden bagi pencaplokan wilayah lain.

Pelan tapi pasti, Israel berupaya memperluas wilayahnya secara ilegal. Secara bertahap pula, negara Zionis itu menggerogoti wilayah sah Palestina. Pencaplokan negara atas negara lain pun perlahan terjadi. Penjajahan dalam arti sebenarnya sedang berlangsung pada era modern.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan itu ketika mengumumkan rencana pencaplokan sepertiga wilayah Palestina di Tepi Barat, yang akan dilakukan dalam beberapa pekan mendatang. Saat ini pemetaan wilayah yang akan dirampas masih dimatangkan. Ada yang menyebut bahwa 1 Juli adalah waktu eksekusi pencaplokan tersebut.

Apalagi, Netanyahu memastikan sebagai bagian dari rencana aneksasi itu, tak akan menyetujui pembentukan negara Palestina. Memantapkan sinyalemen bahwa memang tak ada niat baik dari negara Zionis itu untuk hidup berdampingan secara damai dengan rakyat Palestina, sebagaimana amanat Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. 

 
Gim Netanyahu ini sama saja dengan membakar jerami di ladang ilalang yang kering. Sama saja dengan menyalakan api di aliran bensin. Sama saja dengan mendeklarasikan perang! 
 
 

Padahal, rencana pencaplokan jelas-jelas merupakan pelanggaran batas wilayah yang sah. Sepertiga wilayah yang akan dirampas, di antaranya meliputi sebagian wilayah Kota Hebron, Tepi Barat bagian selatan, termasuk Masjid Ibrahimi. Masjid tersebut terdaftar sebagai situs Warisan Dunia UNESCO sejak 2017. Di sinilah Nabi Ibrahim dimakamkan.

Daerah yang akan dicaplok Israel disebutkan 'hanya' sepertiga wilayah Palestina di Tepi Barat. Namun, wilayah tersebut memiliki nilai bersejarah bagi semua agama samawi: Islam, Kristen, dan Yahudi. Oleh karena itu, langkah Netanyahu ini merupakan pertaruhan bagi masa depan Israel.

Tidak bisa dipastikan motivasi Netanyahu yang ngotot dengan pencaplokan ini. Namun, jika itu barter politik atas keterpilihannya kembali sebagai perdana menteri, tentu itu adalah pertaruhan yang membahayakan. Pencaplokan itu sebagai janji-janji kampanye Netanyahu kepada kelompok Yahudi garis keras yang mendukungnya, jelas adalah janji yang salah alamat.

Gim Netanyahu ini sama saja dengan membakar jerami di ladang ilalang yang kering. Sama saja dengan menyalakan api di aliran bensin. Sama saja dengan mendeklarasikan perang! 

Aneksasi wilayah tentunya juga menyertakan penduduk yang tinggal di dalamnya. Apakah penduduk di wilayah yang dicaplok itu jika sebelumnya berkewarganegaraan Palestina, nantinya diberikan pilihan berganti warga negara menjadi Israel atau opsi pindah ke wilayah lain?

Dalam konteks ini, Israel sama artinya dengan menerapkan kebijakan Apartheid. Kebijakan sistem pemerintahan yang membedakan kewarganegaraan berdasarkan ras. Sistem yang pernah diterapkan pemerintahan kulit putih Afrika Selatan pada awal abad ke-20 hingga 1990-an. Namun, kebijakan yang rasis ini telah diakhiri dan oleh PBB diharamkan yang diadopsi dalam Resolusi Majelis Umum PBB.

Akankah Israel menerapkannya pada era modern dan teknologi serbadigital ini? Akankah Israel meneruskan rencana aneksasinya yang rasis itu demi ambisi politik Netanyahu?

Palestina dan semua warga dunia yang cinta damai serta mengakui hak kebebasan berbangsa, semestinya menolak rencana penjajahan Israel tersebut. Ancaman Perdana Menteri Palestina, Mohammad Shtayyeh, untuk mendeklarasikan kemerdekaan atas seluruh Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan Yerusalem sebagai ibu kota harus didukung penuh komunitas internasional.

 
Keberhasilan aneksasi sebagian wilayah Tepi Barat bisa menjadi preseden bagi pencaplokan wilayah-wilayah lain. Bukan tidak mungkin, Israel tergoda memperluas hingga wilayah tetangga.
 
 

Tak ada alasan bagi warga dunia untuk tak mendukung Palestina yang merdeka dan berdaulat di tanah mereka sendiri. Aneksasi terhadap Palestina adalah pencaplokan hak asasi manusia. Padahal, kebebasan hak asasi dijamin komunitas internasional.

Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional mesti menolak rencana kriminal aneksasi rasis Zionis Yahudi tersebut. Membuka jalur-jalur komunikasi dan diplomasi yang tersendat bisa dilakukan Indonesia. Negara yang memiliki jalur politik luar negeri bebas aktif dan berprinsip bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Mewujudkan Palestina yang merdeka dan berdaulat adalah hak bangsa Palestina.

Langkah Indonesia yang telah mengirim lebih dari 30 surat kepada 30 negara sahabat untuk menolak rencana aneksasi Israel patut diapresiasi. Selain alasan ilegal dan bertentangan dengan berbagai resolusi, baik PBB maupun hukum internasional, aneksasi jelas mengancam stabilitas keamanan kawasan.

Keberhasilan aneksasi sebagian wilayah Tepi Barat bisa menjadi preseden bagi pencaplokan wilayah-wilayah lain. Bukan tidak mungkin, Israel tergoda memperluas hingga wilayah tetangga: perbatasan utara Mesir, utara Saudi, barat Yordania. Jika itu terjadi, kawasan Timur Tengah bisa membara.

Kita berharap ada solusi damai dalam sengketa Israel-Palestina. Sikap adil dan konsisten dari komunitas internasional dalam memperjuangkan prinsip kemerdekaan adalah hak segala bangsa sangat dinanti rakyat Palestina, juga bangsa-bangsa lain yang mengalami nasib serupa.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat