Penumpang kereta rel listrik (KRL) menunggu kereta di Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Selasa (9/6/2020). Mereka kembali bekerja setelah dua bulan lebih terlockdown di rumah. | MUHAMMAD ADIMAJA/ANTARA FOTO

Opini

Lockdown Nabi Yunus dan Optimisme Membangkitkan Perekonomian

Lockdown Nabi Yunus menginspirasi kita untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi pascapandemi covid-19.

Dr Yulizar Djamaluddin Sanrego

Anggota Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) 

Dosen Universitas Darussalam Gontor

 

Pandemi Covid-19 telah berdampak secara masif kepada hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat. Krisis yang berawal dari kesehatan menjelma dan bereskalasi menjadi krisis ekonomi dan sosial.  Musibah ini telah sepenuhnya mengubah lanskap ekonomi dan sosial. Dalam skala individu, menjadikan manusia ibarat menghadapi kematian karena ruang mobilitas dan geraknya (individual mobility) menjadi terbatas. Aktivitas atau ekspresi manusia tidak lagi bebas dilakukan kecuali “ter-lockdown” di dalam rumah.

Terjadi beberapa pergeseran perilaku masyarakat sehari-hari dalam segala hal, termasuk cara berekonomi mengubah pola konsumsi masyarakat. Harta atau aset kekayaan menjadi tidak dimanfaatkan dengan optimal. Kemampuan daya beli (purchasing power) masyarakat untuk mengkonsumsi atau mendapatkan fasilitas sekunder atau tersier menjadi tumpul. 

BPS mencatat konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 2,84 persen year on year (yoy) di kuartal I/2020, turun dari pertumbuhan Indonesia dikuartal I-2019 yoy yang mencapai 5,02 persen. Terjadi “pengereman mendadak”, di mana pola konsumsi masyarakat pada masa pandemi ini lebih terkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs), perlengkapan rumah tangga dan produk kesehatan sebagai langkah preventif agar terhindar dari virus ini.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Accenture Covid-19 Consumer Research melaporkan bahwa wabah ini telah mendorong konsumen keluar dari rutinitas normal mereka dan mempercepat tiga tren jangka panjang: 1. Fokus yang semakin meningkat pada isu kesehatan, dimana gaya hidup sehat (healthy lifestyle) menjadi pilihan; 2. Peningkatan dalam skala prioritas konsumsi, dimana konsumen mengutamakan kebutuhan dasar dengan menghindari perilaku konsumsi pangan yang mubazir (food waste) dan concern terhadap isu keberlanjutan; 3. Terciptanya cinta terhadap produk lokal, dimana konsumen cenderung untuk berbelanja produk lokal termasuk cara mereka berbelanja yang mendukung toko komunitas. Intinya, konsumen akan menata ulang prioritas mereka berdasarkan kebutuhan terpenting untuk bertahan hidup

Dari perspektif kebijakan (makro), shock yang berdampak pada perilaku aggregat mestinya dijadikan sebagai pelajaran atau dasar evaluasi untuk melakukan review apakah ada gap dalam kebijakan yang sedang atau akan dilakukan oleh pemerintah. Meminjam istilah Chief Economist Business Sweden, Sellgren, bahwa ini adalah periode extraordinary yang menempatkan segala aspek kehidupan untuk diuji sehingga memerlukan pendekatan-pendekatan baru sebagai jawaban. 

Dari perspektif agama, setiap kondisi apapun bisa dipahami sebagai suatu ujian dan bagaimana menyikapinya dengan arif sebagai dasar pembelajaran. Dalam konteks perilaku konsumsi, paling tidak ada dua pilihan sebagai bentuk penyikapan setelah masa pandemi ini sebagaimana disarikan dari sebuah buku yang berjudul Affluenza: When too Much is Never Enough (Hamilton & Denniss, 2005). 

Pertama, tetap dalam kenormalan, meski saat ini kita berada dalam perilaku yang tidak normal, cenderung memperturutkan keinginan tidak terkontrol (oniomania), dan berkarakter demonstratif atau emosional. 

Kedua, menatap new normal yang sesungguhnya setelah mendapatkan hikmah dari “ketidakberdayaan” selama masa pandemi, khususnya ketika ter-lockdown di rumah. Juga menata ulang cara berkonsumsi dengan merujuk kepada pedoman hidup Alquran dan Sunnah. 

Sebagai insan beragama, pilihan kita tentunya jatuh pada yang kedua sesuai dengan arahan pedoman hidup Alquran dan Sunnah. Dalam QS 2:155 Allah SWT mengingatkan: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan  kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

 

 

Cobaan bisa dalam bentuk yang baik (hasanah) atau buruk (sayyiah).  Cobaan itu akan berbuah pahala (jaza) manakala seseorang bisa menghadapi cobaan tersebut dengan tetap konsisten (istiqamah) menjalankan hukum Allah SWT dan Rasul-Nya (shabar). 

 

Al-Qurthubi dalam tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran 
 

Penyikapan positif Nabi Yunus selama “ter-lockdown” di perut ikan paus bisa dijadikan ibrah atau pelajaran sebagaimana dikisahkan dalam QS 21:87-88 dan QS 37:139-144. Al-Qurthubi menjelaskan amarah/hawa nafsu (ghadab) telah membuat Nabi Yunus diuji dalam perut ikan paus.  Ujian dari Allah SWT berupa ketidakberdayaan dan kegelapan yang dihadapi selama di dalam itu menjadi sarana baginya untuk evaluasi diri bahwa memperturutkan kemarahan atau hawa nafsu adalah sesuatu yang tidak baik dan harus diubah. 

Pada gilirannya, Nabi Yunus mengakui ada yang salah dengan perilaku yang selama ini dilakukan. Dengan begitu, dia mendapatkan kesempatan dari Allah SWT untuk keluar dari belenggu kegelapan ikan paus dan hawa nafsu. Kemudian menjadikannya sebagai pribadi yang lebih siap dan optimistis setelah ujian tersebut.

Perasaan amarah Nabi Yunus relevan dengan perilaku konsumsi yang tidak normal (oniomania), karena disebabkan irasionalitas manusia dalam cara mereka berkonsumsi. Membiarkan pemenuhan kepuasan subjektif yang dipengaruhi oleh nafsu tidak rasional.  Tidak rasional dalam parameter atau ukuran Alquran dan Sunnah. 

Tidaklah haram mencari harta untuk kehidupan di dunia. Namun, menggunakannya untuk konsumsi atau investasi di akhirat mesti menjadi prioritas utama setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Hal tersebut sesuai dengan pesan Allah SWT dalam QS 28:77: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi….”

Pesan yang sama telah diajarkan juga Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Kelak di hari akhirat manusia akan berkata, inilah harta bendaku! Padahal tidak ada harta benda yang diperolehnya di dunia kecuali tiga hal, apa yang ia makan akan keluar dari tubuhnya menjadi kotoran, apa yang ia pakai akan menjadi rusak, dan apa yang dia sedekahkan akan menjadi kebaikan kekal baginya” (HR. Muslim)

Tren jangka panjang perilaku konsumsi sebagaimana diprediksi Accenture Covid-19 Consumer Research mestinya menjadi tren gaya hidup dan new normal yang sesungguhnya bagi seorang Muslim. Termasuk tren menyisihkan pendapatannya untuk konsumsi abadi di kehidupan akhirat kelak. 

New normal yang mengedepankan dimensi agama akan membuat batin sendiri semakin tenang. Mata hati menjadi jernih menatap visi ke depan. Juga menjadikan lingkungan sekitar tergerak dan termotivasi untuk berempati kepada sesama, memperhatikan kaum dhuafa sehingga mereka diberdayakan dan mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Dengan begitu, semua pihak akan sama-sama bersyukur kepada Allah, menjalani kehidupan dengan penuh makna, dan menghindari perilaku merusak alam sekitar.

Inilah normal baru yang tidak dinilai sebatas upaya responsif atau penyesuaian sementara terhadap adanya pandemi, tetapi dalam cara berkonsumsi dengan pengertian yang betul-betul mencerminkan prinsip-prinsip Alquran dan Sunnah. Wallahu a’lam.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat