Pelajar mengerjakan tugas sekolah di rumahnya di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (30/3). | ARNAS PADDA/ANTARA FOTO

Opini

Sekolah di Rumah

Terdapat esensi pendidikan yang terabaikan selama pembelajaran daring dari rumah.

SYAMSUL ARIFIN, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan al Islam-Kemuhammadiyahan, Universitas Muhammadiyah Malang

Anak saya yang bersekolah di madrasah tsanawiyah, setingkat SMP, sudah empat bulan belajar di rumah setelah Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi. Tidak hanya siswa di sekolah anak saya yang terdampak, tetapi juga sekitar 30 juta siswa lainnya di Tanah Air.

Ditambah, sekitar tujuh juta mahasiswa di 4.000-an kampus. Belajar di rumah adalah keharusan guna membatasi penyebaran Covid-19.   Namun belakangan ini, beberapa kalangan dan wilayah tertentu bersiap-siap memasuki fase transisi menuju kenormalan baru. Meski demikian, di wilayah itu masih banyak yang terkonfirmasi positif terpapar wabah Covid-19.

Berkaca dari pengalaman bulan-bulan sebelumnya, pendidikan tidak bisa dikecualikan sebagai institusi yang tak terdampak Covid-19. Setidaknya, ada dua dampak yang mulai dirasakan dan membebani pengelola lembaga pendidikan.

 
Namun, yang perlu diperhatikan, peralihan pembelajaran dari kelas konvensional ke daring merupakan langkah darurat yang tidak bisa dipertahankan dalam durasi panjang. 
 
 

Pertama, dampak secara ekonomi. Beberapa lembaga pendidikan, terutama yang dikelola swasta, mulai mengalami gangguan aliran uang tunai karena tergerusnya sumber pendapatan yang sebagian besar berasal dari siswa dan mahasiswa.

Masih terkait dampak ekonomi, beberapa lembaga pendidikan terutama pendidikan tinggi, mulai rentan dengan tuntutan mahasiswa yang mendesakkan pengurangan pembayaran karena kegiatan pembelajaran dialihkan ke daring.

Dampak kedua, keberlanjutan kegiatan pembelajaran luring atau tatap muka. Kegiatan pembelajaran memang masih bisa dilaksanakan, tetapi tentu saja disertai penurunan atau setidaknya relaksasi pada semua standar pelaksanaan pendidikan.

Kegiatan pembelajaran tetap bisa dilanjutkan dilaksanakan dengan cara mengalihkan dari pembelajaran secara luring ke daring.  Namun, ini dilakukan tiba-tiba, by accident, bukan by design, akibatnya beberapa risiko yang timbul terlupakan.

Misalnya, tak semua siswa atau mahasiswa terlibat aktif belajar daring karena terbatasnya kuota internet dan persoalan jaringan, terutama yang di pedesaan. Dengan sedikit mengabaikan dua dampak di atas, pendidikan relatif mudah dipindah ke rumah dengan cara daring.

Darurat dan temporer

Namun, yang perlu diperhatikan, peralihan pembelajaran dari kelas konvensional ke daring merupakan langkah darurat yang tidak bisa dipertahankan dalam durasi panjang. Mengingat, terdapat esensi pendidikan yang terabaikan selama pembelajaran daring.

Kendati memiliki beberapa keunggulan sehingga bisa dijadikan solusi di tengah badai Covid-19, misalnya jarak bisa “dilipat” dan untuk platform tertentu bisa diselenggarakan secara tunda, pembelajaran daring menyimpan sejumlah kelemahan.

Di antaranya, tidak bisa optimal dalam memfasilitasi terwujudnya salah satu aspek penting penting pendidikan, yaitu pembentukan sikap, lebih-lebih untuk level tinggi seperti yang disebut dalam teori klasik pendidikan dari Benjamin S Bloom dengan characterization.

Characterization bermakna, internalisasi nilai-nilai menjadi pola hidup.  Proses pendidikan hingga mencapai tahapan itu pada domain sikap, tidak cukup melalui transfer pengetahuan yang bisa difasilitasi dengan pembelajaran daring, tetapi masih membutuhkan dua hal lagi.

Kedua hal itu adalah lingkungan berbasis nilai dan kurikulum yang hidup (living curriculum) yang melekat pada pendidik.

Ketika pembelajaran beralih dari luring ke daring karena dipaksa oleh Covid-19, lalu rumah menjadi pilihan utama tempat pendidikan sebagai bagian dari work from home, rumah seperti mendapatkan lagi momentum klasiknya, sebagai sentra utama pendidikan.

Ketika rumah menjadi sekolah, orang tua, lebih-lebih di hadapan pelajar di jenjang pendidikan dasar dan menengah, seharusnya berperan, yang dalam literatur sosiologi agama disebut the primary models bagi pembentukan karakter.

 
Kendati pembelajaran daring dirancang sedemikian canggih, manusia tetap membutuhkan perjumpaan secara fisik.
 
 

Di rumah, orang tua sejatinya living curriculum. Tanpa memberikan penjelasan konseptual, filosofis, dan teoretis tentang nilai pembentuk karakter, anak cukup melihat dan menginternalisasikan yang dilakukan orang tua.

Dengan interaksi yang lebih intens dan intim selama Covid-19, sikap seperti peduli terhadap kesehatan dan dampak yang ditimbulkan Covid-19, bisa terbentuk. Maka itu, anak akan memiliki karakter peduli dan welas asih kepada sesama.

Namun, rumah tetap memiliki keterbatasan sebagai ruang pendidikan karakter. Kendati bagi keluarga menengah koneksi internet tidak ada masalah, pembelajaran daring selama Covid-19 akan menghadapi titik jenuh jika berlangsung lama.

Penyebabnya, kejenuhan pihak yang terlibat pembelajaran daring. Kendati pembelajaran daring dirancang sedemikian canggih, manusia tetap membutuhkan perjumpaan secara fisik.

Jadi, pendidikan, lebih-lebih yang berorientasi pada pembentukan karakter, membutuhkan ruang yang lebih alamiah, bukan sekadar ruang virtual, yakni nilai bisa disaksikan secara langsung melalui perilaku setiap orang dalam ruang alamiah pendidikan.

Pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 hanyalah sementara. Mudah-mudahan, pandemi Covid-19 segera berakhir. Dengan demikian, pendidikan bisa segera kembali ke ruang dan aktivitasnya yang lebih alamiah. 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat