Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman (tengah) mengikuti sidang sebagai saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (4/6). | M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO

Nasional

'Masiku Bawa Foto Tokoh Partai'

Arief justru menjelaskan Harun Masiku yang membawa beberapa foto

 

JAKARTA -- Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kembali menggelar persidangan lanjutan mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan pada Kamis (4/6). Dalam persidangan kali ini, saksi yang dihadirkan adalah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman.

Arief mengungkapkan, tersangka kasus dugaan suap penetapan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR Fraksi PDIP Harun Masiku pernah menyambangi dirinya di kantor KPU pada September 2019. Harun, kata Arief, membawa foto tokoh nasional dan pimpinan partai politik.

Awalnya, Jaksa Kresno Anto Wibowo menanyakan ke Arief apakah Harun membawa sejumlah dokumen saat menemui dirinya. Kepada Jaksa, Arief justru menjelaskan Harun yang membawa beberapa foto. "Ya, seingat saya dia membawa keputusan Mahkamah Agung, surat DPP PDIP dan beberapa foto dia tunjukkan ke saya," kata Arief di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (4/6).

"Foto apa itu?" tanya Jaksa Kresno Anto Wibowo.

"Foto dia dengan orang-orang yang mungkin dekat dengan dia," jawabnya.

"Siapa orang dekat itu? Istri? Anak?" tanya Jaksa lagi.

 
photo
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman (kiri) mengikuti sidang sebagai saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (4/6/2020). Sidang yang beragendakan mendengarkan keterangan saksi tersebut terkait sejumlah keputusan yang dilakukan secara kolektif kolegial dalam pengangkatan anggota pengganti antar waktu (PAW) Harun Masiku dalam dugaan suap terhadap terdakwa mantan anggota KPU, Wahyu Setiawan - (M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO)

"Enggak. Ada lah, tokoh-tokoh besar, pimpinan partai, foto pejabat. Tapi, kan karena itu pertemuan informal, saya tidak mencatat, mendokumentasikan apa pun," kata Arief. Tak puas mendengar penjelasan Arief, Jaksa menanyakan siapa saja nama tokoh yang ada di dalam foto tersebut. Namun, Arief tidak menyebut nama para tokoh tersebut.  

Kepada Jaksa, Arief mengaku bersikap biasa saja dan tidak merasa mengalami penekanan atas Harun yang menunjukkan foto sejumlah tokoh nasional dan pimpinan parpol. "Saya enggak menanggapi, saya biasa saja. Dokumen yang dia serahkan itu tidak dimasukkan secara resmi. Dan, itu saya letakkan saja," ujar dia.

Arief mengungkapkan, pertemuan antara dia dan Harun pun berlangsung secara spontan dan tidak ada janji bertemu. Saat bertemu pun, Harun ditemani seorang pria. Namun, Arief mengaku tak mengenal pria tersebut. 

Saat itu, lanjut Arief, Harun membawa surat putusan Mahkamah Agung (MA) dan surat DPP PDIP mengenai permintaan yang bersangkutan untuk ditetapkan sebagai caleg DPR terpilih menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Sementara, Harun tidak memenuhi syarat sebagaimana peraturan perundang-undangan.

photo
Komisioner KPU Hasyim Asyari bersiap mengikuti sidang sebagai saksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (4/6). - (M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO)

"Saya tidak bisa pastikan dia bersama siapa. Tapi, dia datang berdua, tapi waktunya saya agak lupa. Yang jelas setelah penetapan perolehan suara. Jadi, sudah ketahuan posisinya. Cuma setelah perolehan suara itu kemudian ada sengketa ke MK sampai proses sengketa selesai, kemudian kita menetapkan perolehan kursi dan calon terpilih," kata Arief menerangkan.

Harun Masiku kini masih menjadi buron setelah KPK gagal membawanya dalam operasi tangkap tangan awal tahun lalu. Pelarian Harun juga sempat kontroversial karena terdapat berbagai kejanggalan, seperti informasi tidak benar yang menyebut dia berada di luar negeri saat penangkapan.

Dalam persidangan itu terungkap pula Wahyu pernah menjabat sebagai koordinator wilayah (korwil) Provinsi Papua Barat yang bertugas untuk memudahkan kerja koordinasi dengan KPU daerah. Awalnya, Jaksa menanyakan hal tersebut karena Wahyu diduga juga telah menerima gratifikasi dari Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan.

"Pak Wahyu dulu korwil di Papua Barat. Selain bagian berdasarkan pembagian kerja, itu untuk memudahkan koordinasi masing-masing anggota menjadi Korwil," ungkap Arief.

Arief menerangkan, tidak ada ketentuan khusus untuk menjadikan putra-putri daerah sebagai anggota KPUD. Namun, kata Arief, hal tersebut biasanya menjadi pertimbangan dalam proses seleksi. "Tidak ada ketentuan harus dari mana (asal daerah)," ungkapnya. Wahyu, kata Arief, sering kali melaporkan tahapan proses seleksi KPUD Papua Barat sebagai bentuk pertanggungjawaban masing-masing korwil. 

Dalam perkara ini, Wahyu didakwa menerima suap sebesar Rp 600 juta dari Kader PDIP Saeful Bahri dan Harun Masiku. Suap tersebut berkaitan dengan upaya agar Harun terpilih menjadi anggota DPR menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Selain itu, Wahyu juga didakwa menerima gratifikasi sejumlah Rp 500 juta dari Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan. Uang itu diserahkan melalui perantara Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Payapo. 

photo
Mantan Staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Saeful Bahri berjalan saat tiba untuk menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (21/2). - (Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO)

Sebelumnya majelis Tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 1 tahun 8 bulan (20 bulan) penjara kepada kader PDIP Saeful Bahri. Mantan staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tersebut juga dijatuhi denda Rp 150 juta subsider 4 bulan kurungan. "Menyatakan, terdakwa Saeful Bahri telah terbukti secara sah yang meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut," ujar Hakim Ketua Panji Surono di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (28/5).

Dalam putusannya, Saeful Bahri selaku kader PDIP terbukti menyuap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan melalui mantan anggota Bawaslu yang juga kader PDIP Agustiani Tio Fridelina. Putusan ini lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum KPK. Diketahui, Saeful dituntut 2 tahun 6 bulan penjara denda Rp 150 juta subsider 6 bulan kurungan oleh jaksa.

Hal yang memberatkan putusan karena Saeful Bahri dianggap tidak membantu program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu, terdakwa sebagai kader partai tidak mencontohkan yang baik. Sedangkan, hal yang meringankan, Saeful dianggap berlaku sopan dalam persidangan, memiliki keluarga, dan belum pernah dihukum.

 Jaksa Penuntut pada KPK juga mendakwa Mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan menerima suap sebesar  57.350 dollar Singapura atau setara Rp 600 juta. Dalam dakwaan disebutkan suap diterima Wahyu melalui Saeful Bahri dan mantan calon anggota legislatif (caleg) PDIP Harun Masiku.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat