Jamaah dengan jumlah terbatas melaksanakan shalat dengan menjaga jarak di Masjidil Haram, Makkah, Selasa (5/5). | Saudi Press Agency/Handout via Reuters

Opini

Haji (Batal) Masa Pandemi

Akibat wabah korona, jamaah haji tahun ini harus ikhlas dan rela karena keberangkatannya jadi tertunda.

OMAN FATHURAHMAN, Guru Besar Filologi FAH UIN Jakarta dan Staf Ahli Menteri Agama

Menjelang Ramadhan, penulis menemui 34 staf Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag yang menjalani karantina 14 hari di asrama haji Pondok Gede. Mereka kembali dari Saudi setelah lebih dari sebulan ‘wara-wiri’ menyiapkan kontrak layanan haji tahun 2020.

Karantina adalah konsekuensi protokol kesehatan yang diterapkan bagi siapa pun yang keluar masuk Indonesia saat pandemi Covid-19. Sebelumnya, mereka menjalani karantina serupa di Saudi, yang lebih tegas menerapkan protokol kesehatan daripada Indonesia.

Saat itu, penulis iseng bertanya mengenai kemungkinan penyelenggaraan haji tahun ini. Penulis ingin mengetahui bagaimana feeling mereka yang menyaksikan dari dekat dampak pandemi di Haramayn. “Berat, mungkin batal!” Salah seorang menjawab dengan raut sedih.

Penulis merinding karena tidak pernah membayangkan ritual sakral yang dianggap puncak spiritualitas oleh setiap Muslim itu ditiadakan.

Pikiran langsung melayang, terbayang kerabat di kampung halaman yang sudah bertahun-tahun menabung serta menunggu jadwal keberangkatan. Bagi mereka, haji adalah satu kesempatan terbaik untuk dekat dengan Tuhan, bercengkerama di ‘halaman’ rumah-Nya.

Penulis lalu bergumam, pemerintah harus bisa mengusahakan agar haji bisa tetap diselenggarakan. Namun faktanya, Selasa (2/6/2020) pagi, Menteri Agama Fachrul Razi mengumumkan pembatalan keberangkatan jamaah haji tahun 1441 H/2020 M.

Situasi pandemi yang belum mereda di Saudi dan negeri sendiri, ditambah belum dibukanya kembali kelanjutan kontrak layanan haji, menjadi faktor eksternal yang mengakibatkan Kemenag tidak lagi memiliki waktu cukup untuk melakukan berbagai persiapan.

Bayangan raut wajah sedih para calon jamaah haji kembali melintas berkelebat mengganggu pikiran. Penulis sungguh berempati!

 
Masalahnya, kerumitan penyelenggaraan haji pada masa pandemi Covid-19 bertambah lagi. Haji adalah ibadah massal dan komunal. 
 
 

Kerumitan haji

Ritual haji memang berbeda dengan ibadah lainnya. Eric Tagliacozzo (2013), sejarawan Asia Tenggara terkemuka, menyebutnya sebagai the longest journey, perjalanan terjauh penuh petualangan dengan berbagai kesulitan sesuai masing-masing zaman.

Namun, tantangan apa pun yang dihadapi, tak ada ceritanya seorang Muslim surut jika sudah berniat haji. Dulu, untuk sampai di Tanah Haram, mereka rela mengarungi lautan, melawan perompak, atau menghindari badai dan ombak.

Masalahnya, kerumitan penyelenggaraan haji pada masa pandemi Covid-19 bertambah lagi. Haji adalah ibadah massal dan komunal. 

Jaga jarak (physical distancing) yang diniscayakan untuk mencegah penyebaran virus berbahaya itu, mustahil diterapkan. Terutama, pada lima hari puncak haji, saat hampir tiga juta orang berdesakan di tempat yang sama di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Sebagian mereka juga mahram bagi lainnya sehingga tidak mungkin dipisahkan.

Mungkin, hanya anjuran mencuci tangan dengan sabun, di antara protokol kesehatan yang sejalan dengan kesempurnaan haji. Masker wajah atau hand sanitizer berbahan alkohol oleh sebagian kalangan diyakini  bisa merusak kesempurnaan ibadah haji jika digunakan.

 
Alhasil, akibat wabah korona, jamaah haji tahun ini harus ikhlas dan rela karena keberangkatannya jadi tertunda. Kita percaya, ini tentu sudah kehendak-Nya.
 
 

Dari segi sisa waktu, penyelenggaraan haji juga nyaris mustahil dilakukan. Kloter pertama jamaah haji Indonesia dijadwalkan berangkat pada 26 Juni, dan keesokan harinya rangkaian ibadah dimulai dengan arbain di Masjid Nabawi.

Mengasumsikan karantina kedatangan diberlakukan 14 hari sebelum memulai ibadah, jamaah haji Indonesia harusnya sudah tiba di Madinah pada 13 Juni. Itu artinya, pada 30 Mei mereka sudah harus menjalani karantina keberangkatan sebelum masuk asrama.

Padahal untuk itu, jamaah haji harus sudah punya jadwal penerbangan (slot time), kepastian layanan akomodasi, dan tentunya visa haji. Hingga 2 Juni, berbagai layanan kontrak haji belum dibuka Saudi, sistem e-hajj pun masih ‘digembok’ rapat.

Alhasil, akibat wabah korona, jamaah haji tahun ini harus ikhlas dan rela karena keberangkatannya jadi tertunda. Kita percaya, ini tentu sudah kehendak-Nya.

Belajar dari sejarah

Mesir adalah negara Islam pertama yang mengumumkan pembatalan haji musim pandemi. Pada akhir Maret 2020, Kementerian Wakaf Mesir tegas meminta warganya menunda niat haji tahun ini. Sebab, anggaran negara untuk haji sepenuhnya dialihkan untuk misi kemanusiaan, yakni penanganan Covid-19. 

Sikap tegas bangsa ‘Piramida’ ini bukan tanpa alasan. Memori kolektif mereka mencatat dengan baik pengalaman kelam pada 1347-1348.

Saat itu, nyaris 40 persen penduduk Mesir menjadi korban wabah mematikan selama pandemi the Black Death. Sumber-sumber Arab mengonfirmasi, ritual haji yang dilaksanakan pada masa pandemi dapat berubah menjadi ‘kuburan massal’.

Sejarawan Badruddin Mahmud al-‘Ayni (w. 1451) dalam karyanya, ‘Iqd al-juman fi Tarikh ahl al-zaman misalnya, melaporkan, penyebaran wabah di Makkah pada musim haji 749 H/1348-1349 M yang menyebabkan sejumlah besar jamaah haji bergelimpangan.

Hal sama disampaikan Ibn Abi Hajalah dalam karyanya, Daf’ al-niqmah fi al-salah ‘ala al-Nabi (Dols 1977: 63).

 
Rentetan tragedi kemanusiaan akibat penyelenggaraan haji pada masa pandemi itu banyak dicatat sejarah dengan “tinta merah”.
 
 

Pengalaman saat pandemi kolera abad ke-19 juga menunjukkan, rute perjalanan ibadah haji ke dan dari Makkah/Madinah menjadi klaster penyebaran wabah yang amat mengerikan hingga korban berjatuhan (Tagliacozzo, Hajj in the Time of Cholera, 2013).

Pada 1865, sebanyak 15 ribu jamaah haji meninggal akibat kolera. Terdekat, pada November 2009, WHO mencatat, korban sebanyak  17 ribu jamaah haji akibat flu A H1N1. Laporan sebuah klinik di Makkah menyebut, 77 dari 3.087 (2,5 persen) pasien positif H1N1.

Saat itu, negara-negara Islam, seperti Mesir, Oman, dan Iran kompak memberi peringatan keras (Shahul H. Ebrahim dkk, Pandemic H1N1 and the 2009 Hajj, 2009).

Rentetan tragedi kemanusiaan akibat penyelenggaraan haji pada masa pandemi itu banyak dicatat sejarah dengan “tinta merah”.

Marcelin Carbonell, dokter berkebangsaan Prancis yang terlibat langsung penanganan jamaah haji di Hijaz awal abad ke-20, dalam memoarnya (2001). Dia mengisahkan suasana mencekam akibat kerumunan jamaah saat pandemi wabah kolera, yang diperparah dengan lingkungan yang kotor.

Bangsa Indonesia sebetulnya sangat rasional. Hukum dasar haji memang wajib, tapi bisa berubah jika ada alasan lain yang masuk akal.

Pada 20 April 1946, Hadratusy Syekh KH Hasjim Asy’ari menyampaikan orasi radio, berangkat haji tahun itu hukumnya haram karena kemerdekaan bangsa sedang terancam direbut kembali penjajah Belanda dan perjalanannya tidak aman (Goksoy, 1998).

Fatwa tegas tokoh NU ini juga menjadi pijakan Menag Fathurrahman Kafrawi untuk mengeluarkan Maklumat Kementerian Agama Nomor 4/1947 tentang Penghentian Ibadah Haji di Masa Perang. Sejarah adalah cermin, tempat kita bisa melihat masa lalu para pendahulu.

Pembatalan keberangkatan jamaah haji tahun ini, mungkin akan dicatat sejarah sebagai hal menyedihkan. Namun, potret sejarah bisa saja lebih kelam ketika jamaah tetap diberangkatkan, tetapi menimbulkan ribuan korban. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat