Terdakwa kasus dugaan suap penyaluran pembiayaan skema bantuan pemerintah melalui Kemenpora kepada KONI, Miftahul Ulum (kiri) bersama penasehat hukum mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/3). | ANTARAFOTO

Nasional

Kejakgung Periksa 46 Orang Terkait Hibah KONI

Pemeriksaan terkait kesaksian adanya suap Rp 7 miliar ke Kejakgung dan Rp 3 miliar ke BPK.

JAKARTA — Direktorat Pidana Khusus (Dirpidsus) Kejaksaan Agung (Kejakgung) melengkapi pemeriksaan saksi-saksi  dalam penyidikaan dugaan korupsi dana hibah pemerintah kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) 2017. Pada Jumat (29/5) proses penyidikan perkara yang juga melibatkan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) itu, kembali memeriksa sebanyak 46 orang saksi.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Hari Setiyono mengatakan, sampai pemeriksaan Jumat (29/5), sudah setotal 210 orang yang diperiksa. “Pemeriksaan itu di luar pemeriksaan awal (2019). Semuanya sebagai saksi,” ujar dia dalam keterangan resmi yang diterima wartawan di Jakarta, pada Jumat (29/5).

Sebanyak 210 orang saksi yang diperiksa itu, dilakukan sejak Rabu (27/5). Para terperiksa, kata Hari merupakan para pengurus KONI Pusat 2015-2019. Beberapa nama yang ikut diperiksa, juga sejumlah orang yang kembali menjabat di KONI Pusat 2019-2024. Penyidik, kata Hari memeriksa anggota kepengurusan KONI tersebut, menyangkut soal penggunaan dana hibah Kemenpora ke KONI 2017.

“Semua saksi merupakan pejabat KONI Pusat yang diduga menerima honorium kegiatan pengawasan dan pendampingan,” terang Hari menambahkan. Penyidik meyakini honorium tersebut, bersumber anggaran dari dana hibah pemerintah kepada KONI. Namun pemberian honorium itu, diyakini penyidik tak sesuai peruntukannya, dan diduga mengendap ke sejumlah nama yang tak berhak. 

photo
Terdakwa kasus dugaan suap penyaluran pembiayaan skema bantuan pemerintah melalui Kemenpora kepada KONI, Miftahul Ulum (kiri) bersama penasihat hukum mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (2/3) - (ANTARAFOTO)

“Diduga uang tersebut tidak sampai kepada yang berhak, atau tidak sampai kepada nama-nama yang tertera dalam laporan pertanggungjawaban keuangan,” terang Hari menjelaskan. 

Hari meyakinkan, pemeriksaan ratusan saksi tersebut, membantah terdakwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Miftahul Ulum. Saat menjadi saksi terdakwa KPK Imam Nahrawi, di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) pekan lalu, Miftahul menyatakan adanya suap senilai Rp 7 miliar ke Kejaksaan Agung dan Rp 3 miliar ke  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2018. Suap tersebut diberikan agar kasus dana hibah disetop penyidikannya.

Direktur Pendidikan (Dirdik) Pidsus Kejakgung Febrie Adriansyah kepada Republika, menjelaskan, penyidikan lanjutan dugaan korupsi dana hibah KONI belum menemukan tersangka. Tapi Febrie menjanjikan, akan menemukan tersangka dalam waktu dekat. “Tersangka belum ada. Dalam dua pekan ini-lah nanti kita majukan tahapannya (penyidikannya),” ujar Febrie.

Febrie tak memungkiri penyidikan lanjutan dugaan korupsi dana hibah, terkait dengan pengakuan Miftahul Ulum. Namun Febrie menjelaskan, fokus penyidikan kali ini, bukan untuk mengungkap pengakuan dugaan suap ke Kejakgung, pun BPK. Melainkan kata dia, fokus pada dugaan korupsi penggunaan dana hibah. “Kita duga dana bantuan pemerintah kepada KONI tahun 2017 itu, ada dugaannya (korupsi) di situ,” kata Febrie melanjutkan. 

Sebetulnya, penyidikan dugaan korupsi dana hibah Kemenpora ke KONI 2017, pernah dilakukan Kejakgung pada 2018 saat Direktorat Pidana Khusus (Dirpidsus) dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Toegarisman. Akan tetapi, kasus tersebut terhenti. Pada Maret 2020, setelah Adi Toegarsiman pensiun, Dirpidsus Kejakgung kembali menerbitkan surat perintah penyidikan baru untuk membongkar dugaan korupsi dana hibah tersebut.

photo
Terdakwa kasus dugaan suap terkait pengurusan proposal dana hibah KONI dan gratifikasi, Imam Nahrawi (kedua kiri) menyimak keterangan saksi dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (21/2/2020) - (PUSPA PERWITASARI/ANTARAFOTO)

Dalam persidangan

Sebelumnya, Miftahul Ulum yang merupakan Asisten Pribadi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi mengakui menerima uang dari mantan Bendahara Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Johnny E Awuy. Ulum juga mengungkap aliran uang ke pejabat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kejaksaan Agung (Kejakgung).

"Dulu dalam BAP (Berita Acara Pemeriksa) saudara mengelak, sekarang saudara mengakui menerima ATM dari Jhony, kenapa dulu saudara mengelak?" tanya Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Prasetya dalam persidangan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (15/5).

"Karena waktu itu kejadiannya Pak Jhony memang memberikan saya ATM, lalu saya akui di persidangan ini, saya berniat untuk berkata jujur," jawab Ulum, di Gedung KPK.

Ulum menjadi saksi untuk terdakwa mantan Menpora, Imam Nahrawi yang didakwa menerima suap sebesar Rp 11,5 miliar dan gratifikasi Rp8,648 miliar dari sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI. Dalam dakwaan, Bendahara KONI Johnny E Awuy disebutkan mengirimkan Rp 10 miliar.

Sesuai arahan Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, uang Rp9 miliar diserahkan kepada Imam melalui Miftahul Ulum. Yaitu, sebesar Rp3 miliar diberikan Johnny kepada Arief Susanto selaku suruhan Ulum di Kantor KONI Pusat; Rp3 miliar dalam bentuk 71.400 dolar AS dan 189.000 dolar Singapura diberikan Ending melalui Atam kepada Ulum di Lapangan Golf Senayan; dan Rp3 miliar dimasukkan ke amplop-amplop diberikan Ending ke Ulum di lapangan bulu tangkis Kemenpora RI.

Tujuan pemberian suap itu adalah agar Kemenpora mencairkan proposal pengawasan dan pendampingan sejumlah Rp51,592 miliar, sehingga cair Rp30 miliar. "Di BAP 53 huruf c, saudara mengatakan 'saya tetap di sini enggak papa yang penting dia lolos, saya akan mengakui uang yang belasan juta, saya akui yang 10 juta, 20 juta yang gede-gede enggak akan saya akui, di luar itu enggak saya akui, yang penting dia lolos', kalimat yang anda maksud siapa?" tanya jaksa Agus.

"Dia itu karena yang bermasalah KONI dan Kemenpora, dia itu sebenarnya ada Pak Menteri, ada Kejaksaan Agung, ada BPK, ada tiga orang ini yang perlu dilindungi waktu itu," jawab Ulum.

"Maksud saudara biar kasus ini sampai Pak Mulyana saja?" tanya jaksa Agus.

"Ya memang begitu, karena urusan BPK dan Kejaksaan Agung di Pak Mulyana dan KONI," jawab Ulum.

"Jangan sampai Pak Menteri?" tanya jaksa Agus.

"Ya, karena ada temuan di sana yang harus segera diselesaikan, Kejaksaan Agung sekian, BPK sekian dalam rangka pemenuhan penyelesaian perkara," jawab Ulum.

"Saudara saksi saudara saksi saudara saksi detail ya, untuk BPK berapa?" tanya hakim Rosmina.

"Untuk BPK Rp 3 miliar, Kejaksaan Agung Rp 7 miliar yang mulia, karena mereka bercerita permasalahan ini tidak ditanggapi Sesmenpora kemudian meminta tolong untuk disampaikan ke Pak Menteri, saya kemudian mengenalkan seseorang ke Lina meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan itu dulu," jawab Ulum.

"Saudara saksi tolong detail, seseorang itu kabur, siapa sebut saja namanya," kata hakim Rosmina.

"Saya meminjamkan uang atas nama saya mengatasnamakan Lilik dan Lina untuk meminjam uang Rp 7 miliar untuk mencukupi kebutuhan Kejaksaan Agung kemudian Rp3 miliar untuk BPK, itu yang harus dibuka," jawab Ulum.

Menurut Ulum, pihak KONI dan Kemenpora sudah punya kesepakatan untuk memberikan sejumlah uang ke BPK dan Kejaksaan Agung untuk mengatasi sejumlah panggilan ke KONI oleh Kejaksaan Agung.

"Yang menyelesaikan dari Kemenpora itu salah satu Asdep Internasional di Kejaksaan Agung yang biasa berhubungan dengan orang kejaksaan itu, lalu ada juga Yusuf atau Yunus, kalau yang ke Kejaksaan Agung juga ada Ferry Kono yang sekarang jadi Sekretaris KOI (Komite Olimpiade Indonesia)," jawab Ulum.

Menurut Ulum, ia membantu mencarikan uang Rp 3 miliar - Rp 5 miliar dari kebutuhan Rp 7 miliar-Rp 9 miliar.

"Karena permasalahan itulah, KONI meminta proposal pengawasan dan pendampingan itu," ujar Ulum.

Ulum pun menyebutkan uang tersebut diberikan ke beberapa oknum di BPK dan Kejaksaan Agung. "BPK untuk inisial AQ yang terima 3 miliar itu, Achsanul Qosasi, kalau Kejaksaan Agung ke Andi Togarisman, setelah itu KONI tidak lagi dipanggil oleh Kejagung," ujar Ulum.

Dalam sidang sebelumnya terungkap bahwa BPK menemukan sejumlah anggaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Kemenpora, KONI maupun cabang olahraga lainnya terkait dana Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima).

Temuan BPK ada anggaran Satlak Prima tidak sesuai peruntukan, misalnya akomodasi yang nilainya beda dengan jumlah dicairkan, lalu penggunaan nutrisi dan seterusnya, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sesmenpora Gatot S Dewa Broto mengetahui kondisi tersebut dari anggota BPK Achsanul Qosasi yang memaparkan audit internal tersebut pada Agustus 2019.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat